18.Waktunya Habis

3006 Words
Iwan POV. Aslinya sih mokal sekali saat aku salah menuduh Neneng kecentilan dengan supir baru untuk divisi HRD. Ternyata menurut pengakuan Neneng, pria itu adalah adik dari temannya dan sudah menikah pula. Orang satu kampung Neneng juga lagi. Hadeh….aku kenapa sih?. Sampai segitunya aku kepo dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Neneng?. “Rumahnya dekat kalo dia tinggal dengan teh Nia. Jadi menurut saya, gak salah juga saya menerima tawarannya untuk pulang bareng. Dan saya tau kok caranya menjaga batasan, karena saya kenal baik istrinya yang juga tetangga di kampung saya. Dia juga gak pernah mampir selain menurunkan saya di depan gerbang kos kosan saya. Saya gak semurahan yang bapak pikir sampai saya mau atau minat pada suami orang. Bapak agak keterlaluan sih kali ini” jadi ngomel Neneng padaku. Aku menghela nafas. Lalu kami diam entah kenapa?. “Udahkan urusan bapak sama saya?, saya mau mandi, mau istirahat. Silahkan bapak pulang. Dan tolong mulai sekarang gak usah lagi campuri urusan saya. Selamat malam pak!!, asalamualaikum” tutupnya lalu begitu saja menutup pintu kamar kos kosannya. Agak kaget sih aku dengan reaksi keras Neneng. Tapi aku pikir lagi wajar dia marah. Gimana pun aku sudah menunduhnya negative. Jadi aku memilih pulang tanpa berusaha minta maaf atau apa pun bentuknya supaya Neneng tidak marah padaku. Lalu akhirnya aku harus menghadapi perubahan sikap Neneng yang mendadak diam dan mengabaikanku, sekalipun kami tidak sengaja berpapasan. Lalu kalo dia harus mengcover tugas Nia, OB yang jadi temannya dan sedang hamil, dia sama sekali tidak menawari makan siang, sekalipun dia layani permintaan makan siang dari staff yang jadi anak buahku. Sampai aku tegur soal ini, saat aku pura pura minta kopi ke pantry, dan Nia sedang izin tidak masuk kerja lagi. “Kamu kok gak tanya soal makan siang sama saya, padahal kamu layani titipan makan siang dari staff saya?” jedaku saat dia menyiapkan kopi yang aku pinta tanpa kata lagi. Aku rasa karena dia tau kopi yang sesuai seleraku. Jadi dia langsung buatkan saja tanpa bertanya lagi. “Teh Nia bilang, bapak udah gak pernah nitip beli makan siang, karena bapak makan siang di luar atau dengan pak Rafiq, abang bapak. Jadi buat apa saya tanya, jadi buang waktu. Nanti bapak pikir saya kerja main main lagi” jawabnya sambil memberikan kopi yang aku pinta dan sudah dia buat. “Gak gitu juga Neng….” sanggahku. “Bapak masih mau minta yang lain gak?, saya masih ada kerjaan” jawabnya mengabaikan jawabanku. Gantian aku menghela nafas dan menatapnya, tapi dia malah melengos menghindari tatapanku. “Saya minta maaf Neng…soal kemarin…” desisku lagi mencoba minta maaf. Dia menghela nafas lagi. “Maaf pak, saya banyak kerjaan” jawabnya lalu beneran beranjak meninggalkanku. Astaga…benar abang iparku bilang, perempuan kalo ngambek suka sekali awet, macam di pakaikan formalin. Kecuali kakak iparku sih, istri abangku. Dia sih jarang lama kalo ngambek, karena dia bilang abangku lucu sekali, jadi dia tidak tahan untuk marah atau ngambek lama lama. Dan ngambeknya Neneng itu membuatnya berubah jutek sekali padaku. Sebelum kejadian padahal Neneng masih suka tersenyum padaku, atau malah tetap menyapaku sekalipun aku mengabaikannya. Rasanya kami seperti anak kecil yang sedang bertengkar karena sesuatu, tapi lalu gengsi untuk baikan. Aku soalnya jadi malas juga untuk berusaha basa basi lagi setelah aku coba saat dia beres beres di ruang divisiku. Pasti menggantikan Nia lagi. Baik benget dia tuh, mau aja cape demi orang lain. “Nia pulang cepat lagi Neng?” tanyaku menjeda dia beres beres meja salah satu staffku. Dia mengangguk dan tetap dengan kesibukannya. “Saya tanya juga, kok kamu cuekin?. Kacang mahal kali Neng” tegurku mencoba bercanda. Baru dia menghentikan kegiatannya lalu menatapku dengan ekspresi malas. “Bapak gak lihat saya ngangguk?. Kalo saya tanggapi bapak, kapan selesai pekerjaan saya?. Lagian bapak iseng amat ganggu orang kerja. Kalo memang iseng, lamar jadi OB aja kaya saya, jadi bapak tau gimana kerja jadi OB terus di jeda sama bos yang nyebelin macam bapak. Jadi bos macam bapak tuh, kan maunya kerjaan anak buah beres, tapi kok ya anak buah kerja tapi bapak ganggu trus?” responnya. Aku sampai tertawa sekalipun dia bertahan dengan wajah juteknya yang sebenarnya tidak pantas. “Malah ketawa. Nanti aja kalo kerjaan saya gak beres, bapak bilangnya saya kerja main main” keluhnya kemudian. Aku kembali tertawa sampai dia menatapku dengan wajah cemberut. “Okey maaf….silahkan lanjutkan kerjanya Neneng, saya pulang dulu. Semangat ya!!!” kataku kasihan juga karena tau dia harus tetap membersihkan ruangan divisi HRD yang jadi tanggung jawabnya. Rasa kasihan juga yang mendorongku bicara dengan pak Zaenal saat aku melihat kesempatan mengajak pak Zaenal bicara. “Nia memang sudah mengajukan resign pak Iwan, dan saya rasanya akan kehilangan anak buah yang selalu bisa saya andalkan untuk mengcover kebutuhan karyawan OB, supir atau satpam. Gimana pun Nia banyak membantu, karena saya selalu ingat pesan pak Andra, untuk selalu mengutamakan pekerja yang melamar di perusahaan dari rekomendasi karyawan yang sudah bekerja cukup baik di perusahaan. Jadi kalo terjadi apa apa, bisa di mintai bantuan. Dan alhamdulilahnya, selama ini setiap karyawan yang di rekomendasikan Nia, selalu bekerja dengan baik dan tidak buat masalah” jawab pak Zaenal saat aku complen soal Nia yang sering izin dan pekerjaannya di cover Neneng. “Jadi nanti Neneng yang akan terus cover pekerjaan Nia, sampai ada pengganti pak?” jawab dan tanyaku. “Sudah ada gantinya sih, adik ipar Nia juga. Nanti saat Nia benaran berhenti, baru dia akan masuk kantor ini” jawabnya. “Lalu masalah lemburan Neneng amankan pak?, atau soal dia yang cover pekerjaan Nia di jam yang tidak bisa di hitung dari absen gimana?. Misal di jam siang hari?” tanyaku lagi. “Ini sebenarnya yang buat saya pusing sebelumnya. Tentu kasihan Neneng jadi double job, sementara Nia yang akan tetap dapat gaji full….” “Nah maksud saya begitu” potongku. Pak Zaenal tertawa. “Trus gimana hitungannya untuk Neneng?” tanyaku. Pak Zaenal menghela nafas kali ini. “Memang agak susah sih, sampai saya panggil mereka berdua. Tapi memang dasarnya Neneng tau gimana caranya membalas kebaikan Nia yang sudah berhasil membuatnya di terima kerja di kantor ini, jadi Neneng sebenarnya tidak masalah. Neneng juga menolak menerima separuh uang gaji yang Nia terima, jadi saya tidak bisa memaksa. Yang bisa saya usahakan hanya yang berdasarkan kelebihan waktu dari absen pulang, akan saya masukan sebagai lemburan Neneng. Gitu deh pak Iwan, orang kampung dengan pemikiran sederhana macam Neneng dan Nia, jadi orientasinya bukan uang, tapi kekerabatan. Sekalipun mereka tidak bersaudara. Jadi ya sudah sepanjang Neneng tidak protes dengan gaji yang dia terima setiap bulan dengan porsi kerja yang tidak seusai dengan gaji yang dia terima, ya saya hanya bisa tutup mata. Dan saya hanya bisa berusaha segera mencari ganti Nia supaya Neneng tidak harus double tanggung jawab” jawab pak Zaenal. Aku terpaksa mengangguk. “Saya boleh tanya pak Iwan?” tanya pak Zaenal kemudian. “Soal?” jawabku. “Sudah sejak lama sih saya mau tanya. Tapi saya tahan. Ini soal Neneng dan antusias pak Iwan. Pak Iwan suka ya?, cantik sih memang, sederhana dan apa adanya Neneng tuh. Wajar kalo banyak yang suka Neneng” kata pak Zaenal. Aku tertawa menanggapi. “Bukannya pak Iwan sudah punya calon istri?. Hati hati pak, jangan main api. Bisa jadi godaan untuk pak Iwan dan pasangan” katanya lagi. Aku tertawa lagi menanggapi. “Aman pak, hanya respeck pada Neneng karena dia memang rajin kalo kerja. Jadi saya pikir dia harus dapat hak yang seharusnya” alasanku. Pak Zaenal manggut manggut sambil menahan senyum. Dan aku tau kalo dia tidak sepenuhnya percaya alasanku. Itu yang akhirnya buat aku berhenti mengurusi urusan Neneng. Takut orang lain salah faham dengan maksudku. Cukup Neneng yang salah faham dengan maksud perhatian dan kebaikanku. Sampai dia anggap aku cemburu karena aku kepo dengan kehidupannya setelah kami menjaga jarak. Sampai kemudian pengganti Nia akhirnya muncul juga di kantor. Ada kali sehari dua hari Neneng mengajarkan dan menjelaskan job desk pekerjaan OB di kantor ini. Lalu aku semakin jarang melihatnya di ruangan divisi yang aku pimpin. Aku juga coba tidak ambil pusing lagi soal Neneng. Toh menurutku dia sudah tidak harus kerja double lagi, kalo sudah ada pengganti Nia. Dan aku kenal pak Zaenal juga tipe family man yang tidak mungkin ganggu karyawan OB sekalipun OB nya keceh. Tapi ya itu, agak sulit juga untuk benar benar lepas dari sosok Neneng. Kadang aku menemukannya terlihat terlihat sibuk bekerja di ruangan divisi HRD seorang diri tapi aku tidak berani mendekat lagi. Apalagi saat aku dengar laporan pak satpam, padahal aku tidak tanya juga. “Pak Iwan, saya dengar anak buah pak Iwan ada yang coba dekatin Neneng?, benar gak tuh pak?” tanya pak satpam. Aku sampai mengerutkan dahiku. “Siapa?, saya malah gak tau. Lagian kenapa bapak tanya saya?” jawabku. Pak satpam tertawa. Dia memang satpam yang suka aku ajak ngobrol karena orangnya lucu. Sudah babeh babeh juga, dan seingatku dia sebentar lagi pensiun kalo umurnya sudah seumur babehku. Mau 60 tahun gitu. Babehkan nikah muda jadi anak anaknya sudah besar, babeh masih cukup muda. “Ya kemarin kemarinkan saya taunya bapak dekat sama Neneng. Sampai bapak suka antar pulang. Jadi wajar kayanya kalo saya tanya bapak. Apalagi laki yang saya maksud katanya anak buah bapak” jawabnya. Aku gantian tertawa. “Kalo masih bujang dan belum punya pasangan, gak masalah kali juga pak kalo mau sama Neneng. Saya sama Neneng gak ada hubungan apa apa pak, cuma teman kerja” jawabku. “Iya sih. Lupain dah pak. Saya juga lupa siapa, walaupun saya ingat mukanya. Soalnya dia pernah pulang bareng Neneng juga, terus ke parkiran motor bareng. Pasti Neneng di antar pulangkan?” jawab pak satpam. Saat itu tertawa menanggapi, walaupun aku berpikir keras siapa anak buahku yang di maksud pak satpam mendekati Neneng. Semoga bujangan, dan tidak bermaksud mempermainkan Neneng. Aku mau tanya tanya apalagi mencari tahu pun tidak mungkin. Pertama Neneng sudah tidak bawah pengawasanku, karena lapak kerjanya sudah pindah. Aku mau cari tau dari anak buahku juga tidak mungkin. Apalagi sampai aku tanya Neneng, takutnya aku salah terus buat aku malu lagi. Tapi lalu buat aku seperti orang bodoh, kalo selama beberapa hari aku jadi nongkrong di parkiran motor sampai aku pikir jam pulang Neneng sudah selesai dan dia harusnya sudah pulang. Sampai aku bohong pada orang orang yang suka nongkrong di parkiran kalo aku menghindari macet, padahal aku mencari tau siapa anak buahku yang pak satpam bilang mendekati Neneng, sampai mengantarnya pulang segala. Entahlah, kenapa aku sulit sekali untuk berhenti perduli pada Neneng. Padahal, aku tunggu trus selama seminggu kali ya, tidak ada tuh penampakan Neneng di antar lelaki yang akan aku kenali sebagai anak buahku. Boro boro aku lihat Neneng di antar laki, penampakan Neneng di parkiran aja tidak pernah ada. Antara lega dan penarasan. Sampai aku memutuskan untuk konsen pada hubunganku dan Millah yang mulai sering komplen karena aku pulang malam terus. Yakan sekalipun kami jarang bertemu, atau hanya bertemu seminggu sekali, tetap aja pesan dan telpon Millah pasti selalu ada. Entah dia tanya keberadaanku, entah dia sekedar tanya aku sedang apa. Dan pasti aku tanggapi supaya dia tetap tenang dan tidak ngambek. Pening kalo dia ngomel atau nuduh aku macam macam. Tapi lagi lagi, bayangan kemungkinan Neneng di dekati lelaki lalu menggangguku. Gak tau ya, bayangan Neneng pakai daster pendek waktu itu, lalu gimana kalo lelaki itu lalu di persilahkan mampir ke kos kosanya sulit sekali aku enyahkan. Pening rasanya kepalaku. Apalagi kehadiran Millah seperti tidak banyak membantu. “Kenapa sih bang?, aya ngomong abang diam aja, kaya orang ngelamun?” sampai Millah menyadari suntuknya aku. Aku buru buru menggeleng. “Beneran?” tanyanya. Aku mengangguk. “Aya bikin salah ya sama abang?” tanyanya lagi. Aku menghela nafas. “Bisa gak sih kita berduaan aja, terus gak terlalu sering kumpul sama teman teman kamu apa saudara kamu?. Kaya jadi gak kaya orang pacaran” pintaku. Millah tertawa. “Tumben” komennya. Aku menghela nafas. “Itu kali yang buat abang malas ketemu kamu. Soalnya kita jarang berduaan” jawabku. Memang selalu begitu dari dulu. Pacaran kami di mandorin trus, kalo selalu ada saja yang menemani kami berduaan. “Ya udah besok kalo abang ke sini lagi, jangan duduk di depan dah, tapi di ruang tamu” jawab Millah. Aku mengangguk saja sebelum akhirnya pamit pulang. Setelah obrolan itu dengan Millah, mulailah mode pacaranku dengan Millah jadi tidak sehat, kalo anak perawan orang jadi aku sosot trus. Semakin pening sebenarnya kalo aku tetap berusaha menahan diri untuk ingat kalo aku menindih Millah di ruang tamu rumahnya yang memang selalu sepi. Rumahnya besar dan orang tuanya selalu masuk ke bagian dalam rumah dan membiarkan aku dan Millah berduaan sebetahku di rumah Millah. Millah perempuan pasti pasrah aja menerima kelakuan mesumku. Pasti pikirnya aku senang melakukannya, padahal aku lakukan semua itu untuk mengalihkan fokusku pada Neneng. Soalnya sekalipun aku cium sampai aku tindih dan sedot dadanya, yang aku bayangkan tetap Neneng. Sampai kadang aku menutup mataku, tetap aja saat mataku terbuka, lalu aku kecewa. Bukan Neneng tapi Millah. Tapi lalu aku jadi bersyukur kalo hal itu juga yang membuatku selalu berhenti di tengah tengah, bahkan sebelum aku merasa hasratku tuntas tersalurkan. “Kopi Mil” pintaku selalu kalo mulai kepalaku terasa pening. “Sekarang?” tanyanya sambil memperbaiki letak kaosnya yang tadi aku angkat sampai batas dadanya. Aku mengangguk. “Okey” jawabnya nurut sekali. Kadang buat aku jadi kasihan. Mau gimana lagi. Aku merasa benar benar butuh pengalihan dari pikiran kotorku pada Neneng. Kadang aku membenarkan tuduhan Neneng, kalo aku cemburu. Tapi lalu aku sangkal sendiri, dengan berpikir aku punya pacar, Millah, masa iya aku malah cemburu pada gadis lain dan bukan siapa siapa aku. “Bang!!” tegur Millah setelah aku meminum kopi buatannya plus usapan tangannya pada rambutku. “Hm….” jawabku menanggapi lalu menaruh cangkir kopi di meja. “Duit tabungan abang udah cukup belum buat kita nikah?” tanyanya bertahan mengusap rambutku. Bagian ini yang aku lupakan. Separah apa pun Millah dengan perlakukan mesumku atas dirinya, pasti ujungnya menuntut aku nikahi. Apalagi kami cukup lama dengan status pacaran. Dan aku rasakan benar gimana sayangnya Millah padaku. “Babeh udah tanya kapan abang lamar aya. Trus aya pikir udah waktunya kali bang kita nikah. Kok aya takut MBA ya. Abang sih, belakangan kenapa jadi nyosor mulu. Nanti kalo sampai abang khilaf, nanti malah kita malu” katanya lagi. Aku menghela nafas kasar. “Nanti abang cari waktu dulu ya, ngomong sama keluarga abang” jawabku tidak punya jawaban lain. “Beneran?” tanyanya mendadak happy. Aku mengangguk. “Sayang abang” rengeknya lalu memelukku. Sudah waktunya kali ya aku untuk menikahinya. Umurku juga sudah mau kepala 3. “Sabar tapinya kamu, tunggu kabar dari abang. Nanti abang ngomong sekalian sama babeh kamu” jawabku lagi. Bersorak dong Millah. Dianya sabar, tapi babehnya yang malah tidak sabar. Mungkin Millah akhirnya cerita pada babehnya soal kesiapanku menikahnya, jadi aku di tegur juga oleh babehnya di hari hari depan. “Benar elo mau lamar Millah, Wan?” tanyanya memulai. Aku tatap Millah dulu yang bertahan berdiri mengawasiku dan babehnya ngobrol. Lalu aku mengangguk. “Alhamdulilah kalo elo akhirnya punya niat bae sama anak perawan encang” kata babehnya lagi padaku. Aku tertawa pelan seperti Millah yang pastinya happy mendengarnya. “Sekarang gini Wan. Kalo urusan lamaran pasti bakalan di urus babeh sama saudara saudara elo. Encang cuma mau mastiin soal kepastian elo bakalan bangun rumah di tanah bagian Millah dari encang. Elo kan tau Millah anak encang yang bontot, pasti emaknya gak mau jauh jauh dari Millah. Kan tanahnya udah ada, tinggal elo bangun dah kaya punya abang elo si Mamat, Millah soalnya suka banget tuh rumah kaya abang elo si Mamat” katanya. Hadeh…ini bagian berat sih. Memang tanahnya sudah ada. Tapi biaya membangun rumah macam abangku punya tentu bukan perkara mudah. Abangku aja sampai berhutang pada abang iparku, yang cicilannya baru lunas saat Ben berusia 1 tahun. Segitu dia lebih punya banyak uang dari hasil gajinya yanh besar di kantor abang iparku, juga tabungannya. Tidak ada pakai uang babeh atau emakku. Lah aku, uang tabunganku tidak sebanyak abangku dulu sewaktu mau menikah. Rezekiku kan beda dengan saudara saudaraku, jadi mana mungkin aku protes. Memang aku punya jatah kontrakan nantinya dari babeh juga jatah rumah yang di tempati babeh dan emak saat ini. Tapi masa aku jual?. Kalo sesuatu terjadi pada diriku, lalu aku sudah punya keluarga, nanti gimana anak dan istriku bertahan hidup?. Lalu kalo pun aku berhutang pada abang iparku, mau berapa lama aku cicil, kalo uang gajiku pasti di pakai untuk menghidupi keluargaku nanti. Trus aku pikir, apa enaknya sih hidup dengan banyak hutang?. Belum apa apa aku sudah merasa cape, kalo kerja terus, lalu uangnya di pakai untuk mencicil utang. Gimana aku punya keluarga yang mapan secara finasial macam kedua saudaraku yang tidak pernah aku dengar kesulitan keuangan. Trus menurutku lagi, kalo rezeki terlalu di kejar biasanya malah sulit untuk kita dapat. Coba deh kalo kita mencari rezeki dengan mode santai, malah rezeki terasa mudah kita dapat. “Nanti kita omongin lagi dah Cang. Saya udah pikirin kok soal ini. Tapi lebih baik beres dulu urusan nikahan aya sama Millah baru kita ngomongin soal perkara ini” jawabku. “Iya babeh, nikah aja belum, bang Iwan pasti pikirin soal rumah. Babeh tenang aja” bela Millah. “Ya udah dah. Kabarin dah Wan kalo elo udah ngomong sama keluarga elo” jawab babeh Millah. Salah akhirnya kalo aku berpikir, resmi dulu aja nikah dengan Millah baru aku pikirkan soal rumah yang di pinta babehnya Millah. Yakan kalo sudah jadi istriku, bisa apa orang tuanya kalo aku ajak Millah tinggal dengan babeh emakku, atau tinggal di salah satu kontrakan yang jadi bagianku nanti, sampai aku punya cukup uang untuk membeli tanah yang di berikan babehnya Millah, supaya abangku tidak bilang aku menumpang pada mertua. Gengsilah aku jadi lelaki di katai begitu oleh abangku. Kesannya aku tidak bisa usaha. Lalu malah apa yang aku atur dan menurutku baik, malah jadi drama pranikahku dan Millah lalu berujung dengan membuat keluarga besarku menanggung malu. Nanti cerita lagi deh…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD