“Sebenarnya apa maksudmu tadi malam, Tasya?” tanya Bia setengah berbisik ketika keduanya sedang berada di jembatan gantung untuk kegiatan outbond. Tasya hanya diam tanpa memperhatikan Bianca yang berusaha menatap wajahnya.
“Kamu konsentrasi aja ke jembatan ini. Udah goyang-goyang nih!” ujar Tasya kasar.
“Tasya, bukannya kamu udah janji kalau mau simpan rahasia ini?” tanya Bia lagi. Tasya memandangnya galak.
“Bisa bicara sesuai waktu dan tempat gak sih?” tanyanya galak. Bia meraih tangan Tasya yang sedang berpegangan pada tali.
“Hei Bia hati-hati!” peringat Egi cemas. Egi tahu keduanya sedang berdebat.
“Kalau kamu gak mau jatuh dan tenggelam jangan bahas masalah itu di sini!” ujar Tasya.
“Gak! Aku mau tahu siapa yang akan ditolong Kak Egi kalau kita jatuh!” kata Bia sambil menggoncang jembatan kecil itu dengan kencang. Tentu saja hal itu membuat keseimbangan keduanya hilang. Bianca dan Natasya terjatuh dari ketinggian 2 meter. Beruntung keduanya terjatuh di air yang jernih. Egi berteriak cemas begitu pula dengan tentara dan guru yang menyaksikan mereka.
Bia dan Tasya terjatuh ke air. Bia masih bisa berenang dan ditolong oleh Egi yang tampak sangat cemas. Tidak halnya dengan Tasya yang mulai tenggelam. Rupanya dia pingsan karena kepalanya sempat terbentur dasaran kolam. Arga yang ada di tempat itu seketika menolong Tasya yang masih pingsan. Dia memberikan pertolongan pertama pada gadis dingin itu. Petugas kesehatan memeriksa denyut nadinya yang lemah. Sesaat kemudian, Arga membopong Tasya menuju tenda kesehatan.
“Jangan bilang kamu melakukan ini semua karena sengaja, Bia!” bisik Egi sambil menatap Bia yang kedinginan. Bia hanya terdiam dan menutupi kekalutan hatinya.
Mata bulat Bia menatap Tasya yang masih saja terpejam. Sudah setengah jam dia pingsan dan tak kunjung sadar. Bia merasa khawatir melihat keadaan mantan temannya itu. Perlahan rasa bersalah mulai menyerapi hatinya. Niatnya ingin tahu siapa yang dipilih Egi malah berujung pada kemarahan Egi karena tahu Bia melakukan semua itu dengan sengaja. Egi memilih untuk tidak mendampinginya walau teman-teman Bia berusaha menemani Bianca. Tiba-tiba Bianca terkesiap dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut ketika ada beberapa anak masuk ke tenda kesehatan. Dia kembali berpura-pura tidur.
“Kasihan ya, Bia. Kok bisa sih si Tasya sengaja celakain Bia!” sahut seorang anak perempuan. Bia merasa senang karena anak-anak masih mempercayainya dan membenci Tasya.
“Eh denger-denger habis ini Tasya mau disidang. Dia bakalan di-skors kalau ketahuan menyelakakan Bia. Biar tahu rasa tuh anak!” timpal yang lain.
“Jangan gitu dong, saksi mata tadi bilang kalau Bia yang sengaja goyang-goyangin tali supaya mereka jatuh,” pecah suara yang lain. Bia mulai cemas mendengar bisik-bisik mereka.
“Ngapain juga si Bia berbuat gitu?” bela salah satu suara.
“Kayaknya sih buat cari perhatian ke Kak Egi. Kalian tahu gak katanya Kak Egi itu dulu pacarnya Tasya.”
“Ah masa sih?”
“Iya iya, trus direbut Bia gitu. Makanya Tasya benci banget sama Bia.”
“Ah tidak mungkin kan Bia sejahat itu.”
“Ah bisa saja kan… Mana mungkin anak sepopuler Tasya melakukan hal sia-sia seperti itu. Toh, Bia bukan pesaingnya di bidang pelajaran kan?” tanya sebuah suara.
“Eh iya juga ya. Ya udah yuk kita pergi aja.”
“Gak jadi jenguk Bia?”
“Ah biarin aja, dia kan masih tidur.”
Anak-anak yang berbisik itu pergi dari tenda kesehatan. Perkataan mereka menyisakan kecemasan penuh di wajah Bia. Dia khawatir anak-anak mulai tahu rahasia antara Bia dan Tasya. Dia takut kalau mereka berbalik membenci dirinya. Dia takut kalau seluruh sekolah membenci dirinya. Terlebih dia juga takut kalau Egi juga meninggalkannya. Bagaimana jika itu terjadi? Mengapa tak terpikir olehnya.
“Kenapa kamu cemas?” pecah sebuah suara yang berasal dari mulut mungil Tasya yang masih tampak pucat.
“Natasya…kamu…” desah Bia.
“Iya, aku udah denger semua kata-kata anak tadi. Ternyata tanpa aku buka, perlahan semuanya mulai terbuka kan? Gimana rasanya jadi tokoh protagonis? Gimana rasanya bersandiwara?”tanya Tasya sambil mendekati Bia yang tak kuasa menatapnya.
“Asal kamu tahu, aku gakkan pernah lepasin Kak Egi demi kamu,” ujar Bia tanpa menatap Tasya. Tasya tertawa lemah.
“Kamu kira Kak Egi bakalan suka sama perempuan macam kamu? Gak! Kamu cuma manis wajahnya saja, hatimu busuk,” ujar Tasya sambil pergi meninggalkan Bia yang masih saja menunduk mengurai tangisnya.
“Ternyata cewek kayak kamu bisa nangis juga?” tanya sebuah suara sambil mendekati Tasya yang sedang menangis sesenggukan sendirian, di dermaga yang kabarnya angker itu.
“Kuatlah Dek. Kalau tidak kuat, bagi saja bebanmu dengan saya. Kalau kamu berubah pikiran, kamu masih bisa kok jadi anak buah saya,” ujar Arga pelan sambil menyodorinya air mineral.
“Makasih,” sahut Tasya pendek sambil menerima air mineral yang disodori Arga.
“Tuh kan, kamu mulai menerima kebaikan saya. Jadi, mau kan jadi anak buah saya. Mau dong, tidak ada loh yang menolak saya,” pinta Arga sambil menyenggol Tasya pelan. Tasya mendongak dan mulai melukis senyumnya yang kaku.
“Iya. Bapak buah,” ujar Tasya kaku yang membuat Arga terbahak. Dia menyadari kalau Tasya hanyalah seorang gadis yang polos.
Perlahan Tasya menceritakan semua kehidupannya. Kehidupan seorang bintang sekolah yang bersinar dan bintang sekolah yang banyak dibenci. Bintang sekolah yang jatuh cinta pada tetangganya semenjak dia mengenal cinta. Tapi, cinta itu menyakitinya hingga membuatnya sekaku es batu. Arga mendengarkan penuturan Tasya dengan saksama. Dia tahu, Tasya mulai membagi beban hidupnya. Perlahan hatinya yang tertutup mulai terbuka untuk orang lain.
“Kalau Egi macam-macam bilang saja padaku. Tenang saja, dia itu juniorku kok. Usia kami saja terpaut 4 tahun” ujar Arga. Tasya tersenyum samar.
***