Safira - Perjumpaan Kedua

1725 Words
"Pakde tunggu di mobil saja, saya cuma sebentar kok. Paling tiga puluh menit lagi kembali," kataku setelah mobil yang mengantarkan aku ke kosan menepi. "Iya Mbak, satu jam juga nggak apa-apa. Paling Non Ami juga masih belum bangun," katanya. Segera kubuka pintu mobil dan keluar. Setelah itu, aku bergegas pergi menuju kosan. Berjalan cepat seperti ini, mengingatkanku saat skripsi kemarin. Jarak kampus dan kosan yang lumayan dekat, membuatku bolak balik dengan berjalan kaki. Yah, aku tidak punya kendaraan, jadi memang sengaja mencari indekos yang dekat kampus dan murah tentunya. Nah, saat janjian Konsul dengan dosen pembimbing, seringnya beliau lupa. Jadi udah nunggu lama, eh beliaunya nggak ada di ruangan. Pas dikonfirmasi, ternyata beliau sedang perjalanan ke luar negeri untuk seminar, hadeeh. Akhirnya reschedule. Atau kadang-kadang beliau langsung minta aku datang saat itu juga ke kampus, otomatis, ya tergesa-gesa seperti inilah jadinya. Namun aku bersyukur, dosen pembimbingku orangnya baik-baik. Jadi aku sangat puas dengan nilai skripsi yang kudapatkan, A+. Yaps, benar-benar nilai sempurna untuk sebuah perjuangan selama enam bulan, sejak pengajuan proosal, dan ganti judul yang entah sudah berapa kali. Tidak kusangka, sekarang setelah lulus, malah tidak bisa mengajar sesuai mata pelajaran yang aku ampu. Fiuh. Inilah hidup, kata Ibu. Kadang apa yang kita inginkan belum tercapai, harapan tidak selaras dengan kenyataan. Namun bagaimana pun juga kita harus tetap bersyukur, karena bisa jadi hidup yang kita keluhkan adalah impian yang orang lain idamkan. Nasihat Ibu selalu menguatkanku. Terutama pada saat-saat sulit seperti sekarang ini. Entahlah, kapan aku bisa pulang untuk menjenguk beliau. Sementara uang untuk hidup di sini pun pas-pasan. Setelah aku mendapat gaji pertama nanti, akan kupersembahkan untuk Ibu, walau tidak seberapa. Tikungan terakhir sebelum sampai tujuan sudah kulewati. Kosan yang baru kutempati sebulan itu sudah kelihatan. Dari arah yang berlawanan, terlihat mbak-mbak yang membukakan pintu untukku kemarin malam. Dia tergesa masuk kosan duluan, sebelum aku sempat menyapanya. Ah, sudahlah. Lain waktu mungkin bisa ngobrol lagi dengannya. Aku pun bergegas pergi ke lantai dua, tempat kamarku berada. Segera saja aku membersihkan diri, mengganti baju dan shalat. Tidak ketinggalan aku membawa baju ganti cadangan, siapa tahu baju ini ketumpahan kopi atau apalah ketika di rumah Ami. Tanpa sempat merebahkan diri, tenyata waktu satu jam yang diberikan Pak Dewo sudah berakhir. Aku pun tergesa pergi dan kembali ke mobil yang diparkir di pinggir jalan. Rupanya beliau tidak ada di dalam, begitu aku sampai. Segera saja kutelepon Pakde. "Halo, Pak de di.mana? Aku sudah balik ke mobil," kataku begitu telepon diangkat. "Oh, iya Mbak. Saya di seberang jalan, di warung kopi," katanya. Aku segera mengalihkan pandangan ke seberang jalan. "Oh, yaudah Pak. Saya tunggu di sini." Setelah itu kututup telepon. Di seberang jalan memang terdapat deretan ruko tempat orang berjualan, termasuk warung - warung. Nah, belaiu pasti ada di salah satu warung yang juga menjadi tempat aku membeli makan setiap hari itu. "Dor!" teriak seseorang sembari memegang punggungku. Aku yang terkejut spontan menoleh. "Ya Allah, Nia! Ngagetin Aja," sungutku. "Hehehehe, maaf. Mbak Fira ngapain di sini? Mau beli makan?" tanyanya. Gadis itu terlihat masih rapi, berarti baru pulang dari kampus. "Eh, nggak. Aku sudah makan tadi, anu itu mau pergi," jawabku. "Ke mana?" tanyanya lagi. "Ada urusan," jawabku sekenanya. Saat itu aku tidak menyadari jika Pak Dewo telah sampai di dekatku, dan beliau mematikan alarm mobil. Suara remote itu cukup.membuat kami berdua kaget. Lantas dari arah belakang, Pakde munculd an menyapa. "Sudah siap, Mbak?" tanyanya, sambil membuka pintu tempat duduk sopir. "Oh, iya Pakde. Sebentar ya," kataku, kemudian beralih pada Nia. "Aku pergi dulu ya," pamitku. "Eh, iya Mbak. Hati-hati di jalan," jawabnya, sebelum aku masuk mobil. Entah kenapa kok rasanya Nia memandnsgku dengan aneh. Akhirnya kuturu kan jendela dan melambaikan tangan padanya dari kabin depan. Nia tidak membalasnya, dan malah berlalu pergo ke seberang jalan. Ah, kenapa tuh anak. Aneh banget. Akhirnya jendela kunaikkan kembali, begitu mobil melaju. * Kami pun sampai di rumah Ami saat hari menjelang sore. Winda yang mendapati aku kembali ke rumah itu, terlihat tidak senang. "Ngapain kembali ke sini?" tanyanya sinis. "Pak Hariz memintaku menemani Ami sampai beliau kembali, malam nanti," jelasku. Begitu mendengar penjelasanku raut wajahnya sedikit berubah. Aku menangkap ada guest kesenangan di sana. "Oh, benarkah? Tuan kembali malam ini, bukan besok pagi?" tanyanya meyakinkan. "Iya, dia bilang begitu siang tadi, saat perjalanan ke bandara," jelasku. "Ya Sudah kalau begitu. Tunggu saja di kamar Ami. Jangan berkeliaran di dalam rumah," katanya sembari berlalu.. Aku masih terdiam di tempat, melihat Mbak Winda yang melanjutkan berjalan menuruni tangga ke lantai bawah. Dia sangat mengenal rumah ini, sudah seperti rumahnya sendiri. Kemudian aku melanjutkan perjalanan ke kamar Ami, setelah dicegat Mbak Winda di balkon. Perlahan memutar handle pintu, aku tidak ingin membangunkan Ami. Namun, ternyata gadis kecil itu tidak ada di kasurnya. "Loh, kemana dia? Amiiiii, amiiii!" panggilku sambil mencarinya di kamar mandi. Ternyata benar, dia ada di sana. "Ami pup?" tanyaku dari balik pintu. "Nggak, Ami mandi," jawabnya. Hah, anak segitu mandi sendiri? Jangan-jangan dia main air lagi. Buru-buru aku buka pintunya, dan benar saja dia sedang berendam di bathtub dengan segala macam mainan di dalamnya. "Astaga Ami? Sejak kapan mandinya?" tanyaku. "Udah lama," jawabnya sambi bermain riang di dalam air. Dia tidak mengindahkan wajahnya yang pucat dan bibirnya yang hampir membiru. "Sudah, ya mandinya," kataku sembari meraih handuk mandi besar yang ada di sana. Gadis itu pun menurut dan berdiri. Aku menyelimutinya dengan handuk itu, dan mengangkat Ami keluar kamar mandi. Selanjutnya segera kucari minyak kayu putih, di sekitar nakas. Tenyata hanya ada minyak telon, cukuplah. Kusiapkan baju yang cukup tertutup, babydoll lengan panjang dan juga clana panjang. Kemudian kukeringkan dia. "Ami jangan lama-lama ya, mandinya," nasihatku. "Nggak lama kok, Bu. Biasanya juga gitu, main dulu, terus mandi sama Nanny," katanya. Otakku sempat berspekulasi, jika Mbak Winda sengaja meninggalkan Ami sendirian di kamar mandi. Bukankah itu sangat berbahaya? Namun, kuyepis semua prasangka, dengan memikirkan kemungkinan lain. Mungkin Mbak Winda gak sengaja, misalnya. Ah. Entahlah. Ami sudah berbaju rapi dan wangi. Kusisir rambutnya yang lurus dan pendek itu. Saat menyisir seperti ini, aku jadi teringat ibu. Beliau selalu menyisir rambutku setiap aku selesai mandi. Kemudian, dielusnya kepalaku dan dia berdoa lirih,"Semoga Safira Khoirunnisa menjadi anak pintar, cantik, shalihah, aamiin." Setelah itu beliau meniupkannya ke puncak kepalaku, sebelum menciumnya. "Semoga, Almira Zahra Sofyan menjadi anak yang cantik, pintar, shalihah, dan tercapai semua cita-cita, bahagia dunia akhirat ya, Nak," bisikku di ubun-ubun nya. "Aamiin." "Bu Pia ngapain?" tanya gadis kecil yang juga sedang menyisir bonekanya itu. "Bu Fira sedang mendoakan Ami," jelasku. "Loh, gitu." Kemudian dia pun mengikuti apa yang sudah kulakukan. "Semoga bebi tantik pintan shaliha, aamiin." Aku pun tertawa melihatnya. Benar-benar ya, anak kecil itu memang suka meniru. Kuelus kepala Ami, dan bergegas mengembalikan sisir ke tempatnya. Saat itulah Mbak Winda masuk kamar. Dia bersama seorang pelayan yang membawa nampan berisi segelas s**u dan mungkin sepiring kebab atau roti lapis. Ah, aku memang suuzon tadi. Ternyata Mbak Winda ke bawah untuk menyiapkan makanan Ami. Astaghfirullah. "Loh, kok sudah cantik," katanya begitu melihat Ami yang sudah rapi bermain di atas tempat tidur. "Mandi Ama Bu Pia," kata Ami polos. "Tumben, biasanya kalau langsung mandi marah-marah. Mintanya mainan dulu sampai puas," kata Mbak Winda. Ami menggeleng. "Mau mandi Ama Bu Pia aja," jawab Ami tanpa dosa. Mendengar penuturan Ami, wajah Mbak Winda yang semringah, mendadak langsung berubah dingin dan menakutkan. Dia menatap tajam ke arahku, sampai akhirnya pelayan itu berpamitan. "Mbak, makanannya Non Ami siap. Saya permisi." "Iya, Mbak. Makasih," jawab Mbak Winda yang kemudian menuju meja. Sepeninggal Mbak Pelayan tadi, Mbak Winda menata sendok, garpu, serta pisau di sisi piring. "Ami, makan dulu ya. Ini kebab mayo kesukaan Ami," bujuknya. Gadis kecil itu terlihat senang dan berteriak. "Holeeeee! Ayo kita makan, Bu Pia!" ajaknya padaku, mengabaikan Mbak Winda. "Ami, bilang terima kasih sama Nanny," ucapku, saat dia sudah menggandeng tanganku. "Oh, iya. Imakasih, Nanny, sudah buatin makanan Ami,"kata gadis kecil itu drngan tulus. Mbak Winda terlihat sedikit terkejut, dan salah tingkah. "I-iya, Non Ami. Sama-sama." "Ayo kita makan Bu Pia!" rengeknya lagi padaku. "Iya, iya," jawabku yang juga ikut menuju meja. "Loh, punya Bu Pia mana, Nanny? Aku maunya makan sama Bu Pia, nggak mau sendili," kata Ami. Rahang Mbak Winda yang baru aja terlihat lebih kendur, jadi mengeras lagi. "Iya, sebentar kuambilkan," jawabnya kaku, lalu pergi dan setengah.membanting pintu. "Ih, Nanny malah!" komentar Ami, yang mungkin maksudnya Nanny marah. "Ga boleh malahan ya, Bu Pia. Nanti cepat tua, kayak Nenek," lanjutnya sambil tertawa riang. Aku menahan senyum. "Memang, Neneknya Ami suka marah?" tanyaku kepo. "Iya, sukanya malahin Papa sama Kakek. Kasian Papa," kata gadis itu polos. "Tapi nggak marah sama Ami, kan?" ujarku sembari tersenyum. Dia menggeleng. "Nenek bilang, nggak malah sama Ami, malah sama Mama Ami," lanjutnya. Jawaban yang sungguh mengejutkan. "Kenapa begitu?" tanyaku. Ami mengangkat bahu. "Tiap pidio ama Mama, Nenek malah. Mama gak pulang-pulang jadinya, tatut ama Nenek." Mendadak hatiku trenyuh melihat Ami menceritakan tentang Mamanya. Ada kerinduan di matanya, yang membuatku merasa sedih. "Tapi Mama Ami kan sayang sama Ami," ujarku mencoba menghibur. Gadis itu tersenyum sambil mengangguk. "He-em. Mama kasih hadiah buat Ami. Banyak. Boneka, mainan, baju, banyak banyaaaaaak sekali," katanya bangga. Aku pun lega mendengarnya. "Tapi Ami pengen Mama pulang. Mama keja telus, keja telus," lanjutnya. Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian seseorang mengetuk pintu. "Masuk!" teriak Ami. Pelayan yang tadi membawakan makanan untuk Ami, kembali membawa nampan. Dia membawakan sepiring kebab yang sama seperti milih Ami, juga segelas jus jeruk. "Ini pesanan dari Mbak Winda. Silakan," katanya sembari meletakkan isi nampannya ke hadapanku. "Makasih, Mbak," kataku. "Sama-sama. Saya permisi dulu, kalau sudah selesai, taruh saja di meja luar kamar, nanti biar saya ambil," katanya ramah. Aku mengangguk. "Makasih Mbak Yayan," kata Ami menirukan. "Sama-sama Nona Ami yang imut," kata pelayan itu sembari tersenyum. Ami pun membalasnya dengan menunjukkan deretan giginya yang kecil. "Namanya siapa, Mi? Mbak Yaya?" tanyaku, setalah pelayan itu pergi. Ia menganggukkan kepalanya sembari mulai mengambil garpu dan pisau. "Mbak Yayan." "Oh." Aku masih terkagum-kagum melihat gadis yang hampir berusia lima tahun itu lihai menggunakan garpu dan pisaunya di atas piring. Kemarin, aku hanya melihat Mai memakai sendok saja. "Kamu kok pintar, pakai itu Mi?" tanyaku. "Nenek yang ngajalin. Katanya halus bisa, bial gak malu-maluin," jawabnya polos. "Waduh, Bu Pia ga bisa. Malu-maluin dong,"timpalku. "Heeh. Bu Pia malu-maluin," jawabnya tanpa dosa. Astaga, tajem juga mulut nih anak. Akhirnya kuangkat kebab itu setelah melapisinya dengan tisu, dan kumakan langsung menggunakan tangan dengan bar-bar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD