TITI POV
Pemakaman bibi baru saja kulaksanakan seminggu lalu, dan aku lega karenanya. Nah, jangan mengira aku itu ratu tega! Andai kalian tahu betapa kejam perlakuan bibi padaku, mungkin kalian bisa memaklumiku.
Dia suka menyiksaku dan menyuruhku bekerja keras seakan aku adalah pembokatnya. Aku tinggal bersama Bibi semenjak Papa dan Mamaku meninggal terkena wabah campak di desa kami, ketika itu aku berusia delapan tahun.
Bibi terpaksa memboyongku ke kota karena dia satu-satunya keluargaku. Yeah, aku disekolahkan, sekalian dijadikan pembantunya. Hidupku dari tahun ke tahun hanya berkisar antara sekolah sebagai siswa dan di rumah sebagai pembantu. Itulah drama sedih kehidupanku.
Hingga dua tahun belakangan ini bibiku mulai sakit-sakitan, otomatis aku mendapat tugas tambahan sebagai suster perawatnya. But now.. I'm done! Bye-bye pada kehidupanku sebagai pembantu dan suster! Aku merasa lega dan bebas... yipiiieee!!!
Tapi kelegaanku hanya sesaat, sepertinya hidupku ditakdirkan hanya berkutat untuk melayani orang.
Me... baby sitter?
Aku menatap pria arogan di depanku dengan sebal. Ck! Mentang-mentang lu ganteng jangan seenaknya, Mas! Berani sekali dia berniat mentahbiskanku menjadi baby sitter adiknya!
"Mas nawarin atau maksa kerjaan sih? No way, thanks!" kataku angkuh.
Cowok arogan mesti dihadapi dengan harga diri tinggi! Itu pelajaran PPKN kan?
"Saya tidak memberikan penawaran, itu keharusan buat kamu!" pria itu berkata dingin.
"Cih! Atas dasar apa, Mas Aro? Suami bukan! Pacar bukan! Selingkuhan juga bukan! Enak aja mengatur hidup orang!" sanggahku ngotot.
Dia mengernyitkan dahinya dan menatapku dingin. Lalu menyodorkan dokumen di hadapanku. Aku segera membacanya. Ajegile!! Sialan Bibiku, bukannya meninggalkan harta, kenapa dia justru mewariskan hutang segajah?! Wajahku berubah pias.
"Setelah semua harta dan rumah bibimu disita pun, hutang bibimu masih banyak. Jadi kami mengambil kebijaksanaan untuk mempekerjakanmu sebagai baby sitter adik saya. Gajimu dipotong untuk mencicil hutang bibimu."
Bisa apa aku? Rumah gak ada, harta ludes. Kini ada yang menawarkan tumpangan hidup, meski sebagai baby sitter anak kecil. Toh aku juga pecinta anak kecil. Mungkin gak apalah.
"Tapi Mas Aro, bagaimana dengan kuliah saya?" tanyaku berharap. Ngerti dong maksudku, kali aja bisa dibiayaiin!
"Nama saya Xander Edisson. Bukan Aro!" katanya dingin. Bukannya menjawab kegalauanku, dia justru mempermalahkan panggilanku padanya.
La iyalah. Mas Aro itu panggilan kesebalanku. Dari julukan Mas Arogan yang kupotong asal. Hehehe...
"Jadi Titik, saya tahu kamu tinggal menyelesaikan skripsi kan? Kerjakan saja di rumah saya sambil menjaga adik saya. Konseling dengan dosen bisa melalui email. Nanti saya atur. Ngerti?"
"Iya Mas Aro dan ralat Mas Aro. Nama saya Titi, bukan Titik! Titi gak pakai 'K'. Ngerti, Mas Aro?"
"Nama saya bukan Aro, Titik!"
Sudah tahu! Sudah tahu! Tapi di hatiku kamu tetap Mas Aro! Kita impas kan.
==== >(*~*)
Aku menatap rumah yang bakal kutempati dengan mulut ternganga. Ini rumah apa istana? Besar sekali, Ya Lord! Dari pintu gerbang, kami masih naik mobil selama 15 menit. Bayangin deh betapa luasnya! Jadi inilah penjara emas buatku. Ya penjaralah, berhubung aku gak boleh keluar sama sekali.
"Titik, keluar!" Tahu-tahu Mas Aro berdiri menjulang didepanku hingga menghalangi pandanganku akan rumah indah itu.
Ck! Menganggu saja. Meski kamu ganteng, tapi sungguh menyebalkan, Mas. Jadi gak indah dipandang mata!
"Iya, Mas Aro," sahutku sambil keluar dari mobilnya.
Dia melotot geram padaku, namun bibirnya mengatup erat. Mungkin dia udah bosan meralat bahwa namanya bukan Aro. Hihihi.. Aku mengikutinya masuk kedalam rumah besar itu.
"Mana adik Mas? Moga-moga manis, gak jutek seperti kakaknya," sindirku dengan senyum dikulum.
Mas Aro cuma mendengus dingin. Ih, dasar kulkas hidup! Mungkin kalau air masuk kedalam mulutnya bisa menjadi es saking dinginnya. Saat memasuki ruang keluarga, mendadak Mas Aro menghentikan langkahnya, akibatnya aku yang berjalan di belakangnya menabrak punggungnya.
’’Dih, sakit kepalaku. Ini punggung apa batu sih?” gerutuku sebal. Aku mengusap jenongku. Eh, bukan berarti aku nonong seperti ikan lohan lho.
"Ini Choco, adikku,” cetus Mas Aro datar.
Jadi namanya Choco? Dari panggilannya momonganku terkesan imut dan lucu. Dengan penasaran aku mengintip dari balik punggung lebar Mas Aro. Hanya ada satu cowok yang tengah duduk di pangkuan bapak tua. Aku langsung syok. Dia kah anak asuhku?? Begitu tampannya. Bahkan lebih tampan dari kakaknya yang jutek!
Astaga naga, dia sempurna sekali! Belum pernah aku berjumpa cowok setampan dirinya. Tahu begini, mending aku memilih jadi pacarnya daripada baby sitternya! Eh, emang boleh memilih? Batinku terkagum-kagum.
Bocah ganteng itu menatapku seakan berusaha mengenaliku. Yaelah, tatapan matanya membuatku terbius. Peluk aku sini, Dek. Ih, gemes!
"Choco," spontan aku memanggil bocah itu dengan sepenuh kasih. Ia menatapku bingung sebelum mengalihkan tatapannya pada kakaknya.
"Kak Ander!" sapanya sumringah, lalu berlari menuju kakaknya.
Wajahnya yang cerah terlihat semakin tampan berkilau, membuatku sangat terpesona. Saat Chocho memeluk kakaknya manja, aku termangu menatapnya. Mengapa gaya pelukannya seperti kelakuan anak balita? Tadi aku mengabaikan kenyataan ini gegara saking terpesonanya diriku pada ketampanan hakiki milik bocah ini.
"Gendong, Kakak! Gendong !" rengeknya manja.
"Chocho sudah besar. Mulai sekarang tak ada gendong lagi!" tegas Mas Aro.
Sumpah! Rasanya aku pengin pingsan menyadari hal ini. Jadi dia ini yang harus kuasuh? Bayi besar yang autis ini? Pikirku kalut. Seharusnya sejak awal aku mencurigai keanehannya begitu melihatnya duduk di pangkuan bapak tua itu! Seakan memahami isi pikiranku, Mas Aro berinisiatif menjelaskan.
"Choco berusia 18 tahun tapi kelakuannya seperti anak delapan tahun. Dia bukan autis, dia hanya mengalami keterbelakangan mental. Retardasi mental, atau awam mengenalnya dengan istilah tuna grahita."
Aku membulatkan mata kaget. Mengapa ada cowok setampan dirinya yang bernasib malang seperti ini?! Tuhan pasti sedang bercanda!
"Kamu bertugas menjaganya, menyuapinya makan, memandikannya, menemaninya tidur sambil membacakan dongeng," ucap Mas Aro menginstruksikan apa yang harus kukerjakan.
Harus seperti itukah? Meski mentalnya seperti anak kecil, tapi body Chocho tetap cowok banget! Yaelah, aku ini masih gadis polos tak bernoda. Pacaran aja kagak pernah! Masa aku harus memandikannya segala? Pipiku terasa panas memikirkannya.
"Choco, ini Titik, baby sitter kamu yang baru. Dia akan menggantikan Pak Frans yang sebentar lagi akan pensiun dan balik ke kampungnya,” ucap Mas Aro memperkenalkan diriku pada adiknya.
Choco mengamatiku dengan malu-malu, sedang aku nyengir seperti orang b**o padanya. Canggung atuh menghadapi anak asuh yang fisiknya begtu ganteng tapi mentalnya persis anak kecil, berasa akan pedofilin anak orang. Njir, pikiranku.. plis deh, belum apa-apa mengapa dia berubah laknat seperti ini? Tak sadar aku menjitak kepalaku sendiri.
Sadar, Tik. Eh, kok jadi tertular virus Mas Aro yang suka memanggil namaku Titik! Sekali, dua kali, kujitak kepalaku sendiri. Hingga ada tangan hangat yang menahan tanganku.
"Sakit, Kak Titi. Jangan!" gumam Chocho lirih.
Aku melongo mendengar Chocho memanggil namaku. Dia memanggilnya dengan benar! Astaga, aku sangat terharu dibuatnya. Dia menatapku lembut sambil tersenyum malu-malu. Dimataku dia nampak seperti malaikat.
"Chocho!" pekikku spontan seraya memeluknya sayang.
Tubuh Chocho menegang dalam pelukanku. Dia memandangku aku dengan tatapan bingung. Dia nampak sangat polos hingga membuatku tak tahan ingin lebih menyayanginya.
"Chocho, sayang. Ih, Kak Titi jadi sayang banget," dengan gemas aku mencubit pipinya.
Tiba-tiba Chocho tersenyum sumringah dan balas memelukku.
"Sayang, sayang, Chocho sayang.. sayang Chocho," racaunya berulang-ulang.
Dan itulah perkenalanku dengan sosok istimewa yang nantinya akan mengubah hidupku dengan drastis.
==== >(*~*)
Bersambung