"Lo mau dilamar beneran emang sama Pak Deni?" kata Rangga ingin memastikan bahwa ucapan Gea mengenai lamaran Deni akan terjadi malam ini. Bukannya berada di rumah, tapi justru Gea berada di luar bersama dengan Rangga. Dia memang agak sedikit ragu dengan lamaran itu. takut jika Deni hanya bermain-main dengan perasaannya dan tidak menepati janjinya setelah pria itu mengatakan bahwa dia akan melamar Gea nanti malam.
Gea yang sedang menikmati jus wortelnya di salah satu kafe di mana dia nongkrong dengan Rangga. "Entah, gue juga nggak tahu. Tapi kemarin malam bokap gue bilang kalau dia harus bawa orang tuanya mengenai lamaran ini. Nggak bisa lamaran sendirian kayak gitu. Kalau dibilang ragu, jujur gue takut kalau dia cuman main-main. Kalau dipikir-pikir orang tua dia punya kampus tempat kita kuliah kan. Jadi agak gimana gitu nanti kalau gue yang jadi korban bullyan mereka,"
"Nggak mungkin g****k. Karena yang janji itu adalah dia. Sedangkan yang punya kampus ini orang tuanya dia. Kalau misalkan dia yang ingkar, otomatis nama dia dan orang tuanya yang jelek. Lagian ya kalau dia ingkar gitu, otomatis dia yang malu. Bukan elo," kata Rangga meyakinkan Gea disaat keraguannya mulai muncul lagi.
Gea memang sedikit ragu jika orang tuanya Deni nanti malam tidak datang.
Drrrrttt
Drrrrttt
Gea mengeluarkan ponselnya begitu dia mendengar getaran ponselnya yang sedikit lebih keras. "Halo, Ma?"
"Gea, kamu di mana sih? Papa sama Mama nungguin kamu lho. Deni telepon kalau dia bilang sebentar lagi orang tuanya bakalan datang juga. Kamu keluyuran gitu. Kamu mau bikin Papa sama Mama malu di depan orang tuanya Deni? Kamu pikir orang tua dia itu kayak kita?"
Gea menepuk jidatnya. "Iya, Ma. Gea pulang sekarang," kata Gea setelah mendapat omelan dari sang mama. Kemudian dia memasukkan ponselnya ke dalam tas lagi dan setelah itu dia meminta kepada Rangga. "Ngga, antarin gue pulang yuk!"
Rangga menggigit sedotannya dan menoleh sesaat. "Katanya orang tua dia memang beneran datang,"
"Nah kan gue bilang juga apa. Kalau dia memang serius sama lo dia bakalan berusaha," kata Rangga memberikan keyakinan lagi pada Gea ada dia percaya dengan orang tua kekasihnya itu. terbilang singkat, akan tetapi dia memang sudah terlanjur sayang dengan Deni jika itu hanya permainan. Mungkin dia akan keluar dari kampus itu karena tidak bisa menahan rasa malunya. "Gue lihat lo di perpustakaan tadi siang,"
"Apaan?"
"Ciuman," kata Rangga sambil tersenyum. "Nggak apa-apa, awal yang baik. Toh kalian juga mau nikah kan. Gue aja yang lakuin hal lebih nggak masalah tuh," Rangga menyeringai dan menarik pipi Gea. "Gue bisa lihat kali kalau dia memang begitu sayang sama lo. Takut banget kehilangan lo. Buktinya dia main lamar gitu aja kan? Apalagi hubungan lo sama dia cuman gue yang tahu,"
"Gue kadang ragu atau gimana gitu, tapi karena udah terlanjur ya dijalani aja. Hehehe, gue udah sayang juga kok sama dia,"
"Iya lah. Bibir lo nggak manis lagi kalau dicium. Buktinya udah pernah sama Pak Deni,"
"Sialan lo," kata Gea sambil berdiri meninggalkan Rangga. "Lo yang bayar!" dia kemudian keluar terlebih dahulu dan memilih untuk menunggu di mobil.
Rangga pun datang hingga pada akhirnya pria itu membukakan pintu untuk Gea. "Duh bentar lagi gue nggak berani keluar sama calon bini orang. Jangan lupa undang gue ya!"
"Pastinya, kalau gue emang jadi sama dia. Ngomong-ngomong gue sama dia ada rencana undang lo doang sih,"
"Daffa sama yang lainnya nggak?" tanya Rangga ketika melajukan mobilnya. "Mereka juga kan teman baik lo,"
"Deni nggak mau. Dia bilang lo aja udah cukup, terlebih karena nanti yang diundang itu dosen yang lain,"
"Hadeeeeh, mampus deh lo kan. Mungkin karena lemas dicium sama Pak Deni lo. Makanya lo itu polos banget, gimana rasanya pas ciuman? Nikah bilang aja nanti kalau lo belum siap untuk ke jenjang berikutnya." Kekeh Rangga.
Gea kemudian menolehkan kepala kepada Rangga. "Maksudnya apaan? Gue nggak ngerti,"
"Diperawani g****k, lo kok polos banget deh. Sama kayak dia. Lo nggak bisa gitu aja nolak kalau dia udah tegang ya. Sakit banget tahu nggak kalau nggak dipuasin, semua sakit, Gea,"
"Masa sih?"
"Buktiin aja nanti kalau lo nikah. Ngomong-ngomong lo mau nikah langsung?"
"Iya, mungkin nanti gue nggak masuk semingguan lah,"
"Yakali lo nggak masuk. Yang ada orang curiga,"
"Gue udah omongin kali sama dia,"
"Memangnya lo mau ke mana?"
"Bulan madu dong,"
Rangga terbahak mendengar. "Hahaha, tai lo. Nggak yakin banget gue kalau lo sama dia bakalan malam pertama di bulan madu lo,"
"Gue juga nggak mau kali Rangga,"
"Gue nggak bisa bayangin lo nangis. Secara ya gue sama dia pernah ngomongin hal begituan kan. Respons dia itu lucu banget. Memang polos,"
"Gue nggak mau karena dia itu pasti bikin gue kesakitan,"
Rangga menoyor bahu kiri Gea. "Cowok itu nalurinya kali yang bimbing dia. Nggak perlu punya pengalaman, Gea. Lagian ya lo rileks aja lagi kalau memang dia minta jatah sama lo. Nggak ada salahnya kan kalau misalnya lo sama dia ngelakuin nanti kalau udah nikah. Gue juga yakin kalau Deni itu takut kehilangan lo. Mana ada sih cowok yang baru kenal terus ngajak nikah gitu. apalagi cowoknya tajir melintir, beli mobil kayak beli permen. Macam bokap gue tuh orang, tapi sayangnya bokap gue nggak suka hambur-hamburin duit. Lagian ya gue lihat dia itu memang baik,"
"Rangga, lo malah ngomongin yang nggak-nggak. Padahal gue lagi serius kalau dia memang sayang sama gue. Mama gue juga semalam ngomong gitu waktu Deni pulang. Dia mikirnya gue hamil tahu nggak,"
"Hahahaha, hamil dari mana? Cowoknya polos banget, nggak ngerti begituan. Beruntung deh lo nikah sama dia. Dia udah tajir, dia juga baik,"
"Banggain aja terus," begitu Gea sadar kalau mereka tiba di rumah. "Gue turun dulu ya. Lo hati-hati kalau balik!"
"Iya nyonya. Gue tahu kok, sebentar lagi lo bakalan jadi istrinya Pak Dosen. Mungkin ini jalan bareng kita Gea, ini yang terakhir,"
"Nggak, Rangga. Gue udah ngomong lo pengecualian,"
"Bukan itu g****k. Tetap aja gue yang nggak enak karena keluar sama istri orang. Jadi gue jaga jarak aja, gue hargai hati suami lo kali. Jadi lo juga harus bisa baca situasi beb," kata Rangga yang kemudian melambaikan tangan kepada Gea.
Pria itu pergi ketika sudah berpamitan kepada Gea.
Gea menarik napas begitu dia masuk ke dalam rumah yang di mana meja makan sudah sangat penuh dengan makan malam yang mungkin juga disediakan untuk orang tuanya.
"Maaa," rengek Gea begitu dia melihat mamanya yang sedang menyediakan masakan lain di atas meja.
"Anak kesayangan Mama kenapa?"
"Deni beneran datang, Ma?"
"Beneran. Papanya yang telepon papa kamu tadi, makanya Mama buru-buru masak tadi,"
Gea menghampiri mamanya dan memeluk perempuan itu. "Ma, kalau Gea nikah beneran gimana?"
"Nggak apa-apa Gea. Lebih baik kamu nikah dibandingkan kamu pacaran terus berlama-lama terus Deni bilang kalau dia nggak mau kalau dia bawa kamu keluar terus," mamanya memegang kedua tangan Gea. "Sayang, mengenai anak. mungkin kalian bisa tunda seperti yang dibilang Deni kemarin. Papa sama Mama percaya kok kalau kalian berdua itu bisa saling mengimbangi satu sama lain ketika menikah nanti mengenai emosi. Deni juga yang dewasa," terlebih orang tuanya Gea juga percaya bahwa Deni memang bisa membimbing dengan baik.
Gea tersenyum, "Ma, aku awalnya ragu sama semua ini,"
"Nggak boleh gitu. orang tuanya juga sering bilang kok ke Mama sama Papa. Kalau mereka lebih baik lihat kamu nikah. Mengenai Kelana, Mama yakin kamu bisa baik sama dia. Mama nggak mau kamu bandingkan kasih sayang kamu nanti sama Kelana. Karena Mama tahu Kelana itu nggak punya siapa-siapa yang menemani dia,"
Gea mengangguk pelan. "Aku usahakan, Ma,"
"Anak Mama pasti bisa kok. Udah ya, kamu nggak usah ragu lagi. Ini bertujuan untuk kamu sama Deni nikah kok. Jadi bukan lamaran mengenai pertunangan. Deni udah bilang lama kok sama orang tuanya kalau dia pengin nikahi kamu,"
"Aku malu, Mama,"
"Udah ah. Mama tahu kalau anak Mama lagi ragu nih sama pernikahannya. Ini wajar kok sayang," kata mamanya yang mencoba meyakinkan juga sama seperti Rangga.
"Ma, Rangga bilang kalau aku nggak bisa lagi keluar sama dia,"
"Ya, itu memang benar kok. Karena kamu juga harus jaga hati suami kamu. Nggak bisa dong kamu keluar sama sahabat kamu sendiri. Sekalipun dia sahabat seperti saudara kamu sendiri, nggak bisa kayak gitu, karena suami kamu juga punya hati sayang," kata mamanya.
Apa yang dikatakan oleh Rangga itu memang benar mengenai Deni nanti yang akan menikahinya.