Lagi-lagi bulir kristal itu menetes dari mata indah Lily.
Sungguh, ia merasa dunia begitu kejam untuk wanita malang sepertinya.
Pengucapan ikrar pernikahan yang seharusnya ia lakukan bersama pria yang ia cintai, jutru berlangsung bersama sosok pria bagai monster.
Usai semua rangkaian pemberkatan dan lain-lain, akhirnya Ashvin di nyatakan sah sebagai suami dari Lily.
Wajah sang mempelai pria begitu bahagia karena berhasil menjadikan Lily sebagai istrinya. Lain hal dengan sang pengantin wanita, yang nampak sendu, sedih bukan kepalang.
Acara pernikahan yang sangat tertutup itu di gelar di greja, juga yang menjadi saksi adalah para anak buahnya.
Entah bagaimana nantinya Ashvin menunjukkan istri kecilnya itu pada keluarganya.
Apapun tanggapan orang tua dan keluarganya, Ashvin tidak perduli.
"Kamu bahagia?" tanya Ashvin seraya menggenggam tangan mungil Lily. Mereka berjalan menuju mobil untuk segera kembali ke mansion.
Lily hanya bergeming. Ia bahkan berjalan dengan tatapan kosong.
"Jawab, Lily. Apa kamu bahagia?" tanya Ashvin menghentikan langkahnya di saat mereka hampir di depan mobil.
Menoleh ke arah pria yang baru saja ia tahu namanya saat mereka mengucapkan janji suci, Lily tersenyum getir. "Seharusnya aku yang bertanya. Apa kamu bahagia, setelah menghancurkan hidupku?"
"Aku tidak menghancurkan hidupmu." Bantah Ashvin dengan suara tegasnya.
"Lalu? Bagaimana penyampaiannya. Kamu menculikku. Memperkosaku. Dan menikahiku secara paksa. Itu sudah sangat membuat hidupku hancur!"
Ashvin mengetatkan rahangnya. Ia mencengkram tangan mungil Lily dengan erat, bahkan tangan tersebut sudah merah karena cengkramannya yang sangat erat.
Akhirnya Ashvin menarik Lily masuk ke dalam mobil. Ia enggan menimpali ucapan wanita itu saat ini. Ia tidak mau merusak momen kebahagiaan pernikahannya berdebat dengan sang istri.
Di dalam mobil, Lily sedikit bebas.
Hanya sedikit!
Ia duduk tanpa berdempetan dengan Ashvin.
Pria itu menjauh, membiarkan Lily berkutat dengan pemikirannya.
Lily masih memikirkan keadaan pamannya.
Ia kecewa juga khawatir.
Bagaimana bisa Nando memberikannya pada Ashvin?
Padahal, selama ini pria itu begitu menyayanginya. Bahkan ia pernah berpesan pada Lily, untuk mencari pria yang benar-benar membuatnya bahagia.
Mata Lily terpejam, ia membayangkan jika sang paman juga tentu tergiur akan harta yang di berikan Ashvin.
Status baru, sebagai istri dari Ashvin.
Pria yang entah bagaimana sifat aslinya.
Tetap saja di mata Lily seorang pria gila, dan bertekad untuk tetap pergi meraih kebebasan.
Bergelut dalam pemikirannya sendiri, Lily sampai tertidur. Wanita itu mengalami hari yang sangat berat. Ia kelelahan berlari berjam-jam lamanya.
Melihat istrinya tertidur dengan posisi mendongak, Ashvin lekas mendekat untuk menjadi sandaran yang nyaman bagi Lily.
Emosinya sudah reda, ia lekas mendekap tubuh kenyal wanitanya saat ini tertidur.
Ashvin membubuhi kecupan pada punggung tangan Lily, serta telapak tangan. Ia juga membisikkan kata-kata manis, seakan Lily mendengarnya.
"Aku janji, kamu akan menyesal karena mengatakan hal menyakitkan tadi. Kamu akan bahagia bersamaku, Ly."
***
Pukul tengah malam, akhirnya Lily bangun.
Ia merasa jika perutnya sangat lapar. Karena hanya makan berapa sendok saat sebelum pergi ke greja.
Ketika ia melihat sekeliling ruangan, Lily sadar jika ia sudah berada di kamar yang sama. Kamar pertama kali ia di kurung dan di perkosa oleh Ashvin.
Melihat ke bawah pada penampilannya, Lily cukup terkesima. Balutan baju tidur satin berwarna putih, melekat pada tubuh kurusnya.
"Ck!" Lily berdecak kesal. Karena lagi-lagi pakaiannya sudah di ganti di saat ia tidak sadar.
"Sungguh harga diriku sudah tidak ada lagi." Mengenaskan baginya sendiri.
Lily turun dari kasur, melihat sekeliling ruangan. Dan di sebuah meja bulat, ternyata sudah terhidang makanan yang tampaknya sangat lezat.
Cacing di perutnya mulai berdemo.
Lily juga meneguk air liurnya terasa menginginkan hidangan harum itu.
"Aku harus mengisi tenaga. Setidaknya, kakiku harus di beri kalsium yang tinggi, agar kuat untuk lari." Lily mengambil gelas berisi s**u hangat.
Meneguknya hingga tandas, ia meringis dalam hati. Segelas s**u saja begitu nikmat. Apalagi jika ia memakan makanan itu.
Ia menekan egonya. Hingga Lily menarik kursi untuk duduk dan makan.
Tanpa sadar, jika saat ini Ashvin tengah memantaunya di kamera cctv yang berada di setiap sudut kamar.
***
"Kamu harus memberi dia ruang, Ashvin. Dia masih sangat muda," ucap Zico sang sahabat yang di pekerjakan sebagai asisten merangkap tangan kanan Ashvin.
"Dia pasti punya keinginan yang lain. Dengan cara kamu mengambil alih hidupnya, jelas dia tertekan. Kamu salah mengambil langkah menurutku." Zico mengatakannya tanpa ragu.
Ia cukup terkejut kala mendengar Ashvin memintanya untuk mencari informasi seorang gadis.
Karena selama ini, sahabat sekaligus bosnya itu tidak pernah berurusan dengan gadis manapun.
Apalagi, ketika Ashvin berkata jika ia akan menikahi gadis itu.
Zico sampai bertanya berkali-kali pada Ashvin, ketika ia menyuruhnya untuk mengurus pernikahannya dengan Lily.
Sepanjang nasehat Zico, Ashvin sama sekali tidak menggubrisnya.
Ia justru fokus menatap layar laptopnya menonton Lily yang sedang lahap makan.
Sudut bibirnya tersenyum. Setidaknya, wanita itu mau makan agar tetap sehat.
"Buat dia suka sama kamu, Ash. Jangan buat di semakin membenci kamu. Cukup dengam cara menikahinya secara paksa ini, hal terakhir yang kamu lakukan. Selebihnya, buat dia terpukau dan jatuh cinta sama kamu."
Ashvin menoleh menatap wajah Zico. "Kamu sudah banyak bicara. Sekarang pergilah."
Zico melotot tak percaya. "Kamu ini–"
"Aku mau menikmati malam pengantinku. Sekarang pergilah!" tandas Ashvin lagi.
Mau tidak mau, Zico keluar dari ruangan pria itu. Karena memang ini sudah larut malam, ia perlu istirahat untuk besok kembali bekerja keras.
Kepergian Zico juga di susul oleh Ashvin. Ia naik ke lantai tiga menggunakan lift dari ruang kerjanya.
TING!
Tidak sampai dua menit, Ashvin tiba di kamarnya. Lift terbuka, langsung menampakkan Lily yang masih duduk menghadap makanan lainnya.
"Uhukk!" Lily tersedak, kaget saat melihat Ashvin yang keluar dari pintu besi itu. Ia sama sekali tidak menyangka jika di dalam kamar itu terdapat lift.
Ashvin mendekat karena istrinya batuk tak berhenti. Ia mengusap punggung Lily, memberikannya air minum.
Merasa baikan, Lily mengangguk, juga menyingkirkan tangan Ashvin.
"Sudah makannya?" tanya Ashvin saat Lily berdiri dan pergi ke arah ranjang.
Wanita itu tidak berkenan menjawab apapun. Sehingga Ashvin mengikuti langkah sang istri dari belakang.
"Aku mau bicara." Tiba-tiba Lily berhenti dan membalik badannya.
Ashvin yang juga berhenti, memberi jarak mereka sangat dekat. Lily bersitatap drngan d**a bidang pria itu yang terbalut kaos hitam.
Karena tinggi Ashvin yang menjulang, Lily mendongakkan pandangannya.
"Kamu mau bicara denganku?" ulang Ashvin.
Lily mengangguk. Ia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Ia baru kali ini menatap jelas wajah Ashvin. Ternyara iris mata pria itu sangatlah indah.
Tanpa sadar Lily memuji Ashvin.
"Bicaralah." Ashvin menunggu kelanjutan Lily.
Wanita itu duduk di pinggir kasur berusaha untuk tidak emosi dalam menghadapi Ashvin.
"Sampai kapan pernikahan ini?" ujar Lily tanpa menatap Ashvin.
"Maksudnya?" Ashvin mendudukkan tubuhnya di sebelah Lily, merasa kurang paham arti dari ucapan istrinya.
"Iya, sampai kapan pernikahan ini? Kira-kira sampai kapan kamu bisa melepaskan aku? Bosan denganku."
Ashvin menyipitkan matanya. "Pembicaraan macam apa ini?"
"Aku ingin kejelasan. Aku tidak tau apa hal yang pasti atas perbuatan kamu ini. Intinya, aku tidak mau pernikahan ini bertahun-tahun. Aku juga ingin hidup tenang, dan bahagia."
Di tarik lengan Lily agar menghadapnya, Ashvin sudah memasang wajah sangarnya. "Pernikahan kita akan selamanya, Lily!"
Lily mengerjap cepat. "A-apa?"
"Kamu pikir aku hanya bermain-main menikahi kamu? Tentu tidak. Aku bersungguh-sungguh. Aku mencintaimu."
DEG!
DEG!
DEG!
Lily segera menyingkir. Menatap wajah Ashvin lama-lama sungguh tidak bagus untuknya. Bisa-bisa ia terbuai akan ketampanan pria itu.
"Itu omong kosong. Bagaimana bisa orang jatuh cinta tiba-tiba. Kenal tidak, segala tidak. Kamu hanya penasaran denganku."
"Terserah apa katamu, yang jelas itulah perasaanku. Aku tidak main-main dengan hubungan ini. Aku hanya ingin kamu menjadi milikku. Selamanya."
Ashvin tidak menunjukkan keraguan di setiap ucapannya.
"Aku tidak mencintaimu. Dan tidak akan pernah."
Kata-kata Lily berhasil menaikkan darah Ashvin. Pria itu lekas mendorong tubuh Lily sampai terjerembah ke atas kasur.
"Lepas!" Lily merontah saat kedua tangannya di cekal.
Ashvin tetaplah Ashvin. Ia mencium bibir Lily penuh nafsu.
Tahu apa yang akan di lakukan Ashvin pada tubuhnya lagi, Lily benar-benar semakin membenci pria itu.
Ashvin semakin liar, tangannya tak segan-segan meremas bongkahan d**a Lily yang memang tak memakai bra. Dari balutan gaun tidur satin tersebut, Ashvin meremas dan menekan p****g Lily.
"Stop ...." Lily berusaha menghentikan Ashvin, meski sepertinya tidak akan pernah berhasil.
Tubuhnya sudah di tindih oleh Ashvin, pria itu dengan menggebu-gebu mencumbu tubuh Lily. Mengabaikan rintihan memohon untuk berhenti.
Ashvin menegakkan tubuhnya, menarik bagian leher gaun tidur hingga robekan terjadi pada kain tipis itu.
SREKKK!!!
Buah d**a Lily kini tampak tanpa penghalang lagi. Dan pada saat Ashvin hendak kembali menunduk, di saat itu Lily bergerak mengayunkan tangannya.
PLAK!!!
Wajah Ashvin terlrmpar ke arah samping. Kali ini tamparan Lily membekas di wajah putihnya.
Ia menatap Lily yang saat ini menangis dalam keadaan acak-acakan karenanya.
"Seperti ini yang katamu mencintaiku?!" berang Lily bersamaan dengan tangis pilunya.
Ashvin segera turun dari tubuh sang istri. Ia menyugar rambutnya merasa menyesal. "Maaf."
Lily mengabaikan permintaan maaf Ashvin. Ia berdiri untuk menjauh dari pria itu.
"Buka pintunya!" teriak Lily karena tahu jika pintu tersebut di kunci oleh Ashvin.
"Kamu mau kemama?" Ashvin tidak akan membiarkan Lily pergi.
"BUKA!"
Ashvin tetap menggeleng. "Biar aku yang pergi. Kamu tetap di sini."
Pria itu benar-benar pergi meninggalkan Lily.
Lily terduduk di lantai menendang-nendangkan kakinya, juga memukuli tubuhnya sendiri.
"AKU BENCI! AKU MEMBENCIMU ASHVIN!" Menangis mearung, ia sungguh frustasi.
"Hnn .... kenapa .... Kenapa harus aku ...."