Bagian 2

1109 Words
Beberapa tahun lalu. "Pacar lu nyariin tuh, Ndra!" "Wah, calon bini si Rendra udah datang, makanan apa lagi yang dia bawa?" "Asyiiik! Jangan dianggurin, Ndra!" Lain dengan kawan-kawannya, Rendra sangat membenci situasi ini. Situasi dimana Rendra harus bertemu gadis itu. Gadis yang selalu mengejar-ngejar Rendra, dan membuat Rendra muak atas semuanya. "Bacot lu semua!" Brak Rendra memaki dan menggebrak meja kantin. "Wuiiish, slow, Bro!" ujar salah satu teman Rendra. "Selamat pagi semua, selamat pagi Rendra!" Gadis yang menjadi pembicaraan datang dan bergabung dengan mereka. Gadis itu membawa satu rantang warna-warni yang ia simpan di atas meja kantin. "Rendra, aku bawa sandwich tuna kesukaanmu! Ini resep punya mama kamu, lho! Aku kemarin sengaja belajar bikin ini khusus untuk kamu."  Gadis itu sengaja membuka rantang teratas dan menunjukkan isinya. "Cantik, kan ...! Kalau kalian semua suka, ambil!" tunjuknya pada seluruh teman Rendra. "Wah, ini sih nggak boleh dilewatkan." "Gue ambil satu ya, Mi!" "Thank you, Mia!" Teman-teman Rendra satu per satu mengambil sandwich tuna buatan Mia. Namun tidak dengan Rendra, pria itu memasang wajah juteknya dengan rahang yang mengeras. "Rendra, mama kamu bilang kamu belum sarapan! Ini buat kamu!" Mia menyodorkan satu potong sandwich tuna untuk Rendra. Rendra membuang muka sambil memegang botol air mineral di kedua tangannya. Keempat teman Rendra yang lainnya saling berpandangan, mereka selalu bingung sendiri jika berada di situasi ini. Di satu sisi, mereka kasihan pada Mia pada yang selalu baik karena sering berbagi makanan pada mereka. Di sisi lain, mereka juga kasihan pada Rendra karena sikap agresif Mia yang menunjukkan rasa sukanya. Bahkan tak segan beberapa di antara mereka yang merasa terganggu dengan keagresifan Mia. "Ndra!" panggil Mia. "Kamu masih belum lapar?" tanya Mia dengan nada kecewa. Rendra masih terdiam dan tetap membuang mukanya. Dia tak menganggap jika di sana Mia. "Mau kemana kalian?" tanya Rendra dingin saat menyadari temannya hendak pergi diam-diam. "Ki-kita, mau ..." "Mau bayar makanan di kantin!" "Nah, itu!" "Kita pergi duluan ya, Rendra!" Keempat teman Rendra pergi terlebih dahulu meninggalkan mereka berdua di kantin sekolah. "Ndra! Kamu mau nyusul teman-teman?" tanya Mia sambil melihat teman-teman Rendra yang sudah pergi duluan. "Aku bungkusin beberapa sandwich aja, ya! Lalu kamu bisa pergi nyusul teman kamu." Rendra tak menjawab, sejenak ia terdiam. Lalu pria itu mengembuskan napasnya kasar dan berkata, "Kayaknya gue perlu luruskan sesuatu di sini!" "Lu-luruskan apa, Ndra?" tanya Mia gugup. "Mi! Lu itu bukan nyokap gie! Bukan cewek gue! Juga bu-kan te-man-te-man gue!" Rendra menegaskan beberapa kata terakhir. "Jadi tolong, jangan lu sok akrab kayak gini!" Mia melongo mendapat bentakan dari Rendra. "Aku tau, Ndra! Aku bukan mama kamu! Aku bukan pacar kamu, juga bukan teman kamu!" "Bagus kalau kamu ngerti!" "Aku tidak sok akrab, aku hanya ... hanya ... menjalankan peran sebagai ... eee ... tetanggamu dan saudara sepupumu juga!" Rendra mengembuskan napas kasar. "Susah ya, ngomong sama orang yang otaknya cuma segede otak ikan kayak lu." "Otakku ... normal kok, Ndra!" "Haiish!" Rendra mendesis. "Intinya, jangan kasih makanan apapun buat gue! Lu tuh bukan nyokap gue yang harus nyediain ini." Brak Rendra melempar rantang bagian atas milik Mia hingga isinya berhamburan. "Dan satu lagi, jangan datang ke kampus gue cuma buat nemuin gue! Bikin muak, tau nggak!" Pria itu pun berdiri dan pergi dari hadapan Mia. "Haa ...." Mia menutup mulutnya melihat sandwich yang berhamburan. Gadis itu menjongkok sambil memunguti makanan tersebut di lantai, ujung matanya juga terlihat berair. "Rendra, kalau kamu nggak suka sama aku nggak apa-apa! Tapi ... jangan kamu buang-buang makanan." * Masih dalam kenangan Mia. Sesampainya di rumah Mia. "Kenapa anak Mama cemberut terus hari ini?" tanya seorang wanita paruh baya pada Mia. "Ma, bisa nggak mama sama papa jodohkan saja Mia." "Jodohkan sama siapa? Kamu kan masih kuliah." "Mia capek suka sama Rendra, Ma! Jodohkan saja Mia sama siapapun, asal Mia bisa lupa sama Rendra!" "Mia, jangan seperti ini. Kalau papa kamu dengar nanti dia marah!" ujar Reni -Mama Mia, pada anaknya. "Biarin! Biar papa tau, Mia capek, Ma! Mia nggak pengen suka sama Rendra, tapi perasaan itu ada terus. Dan ... dan ... kayaknya Rendra nggak suka sama Mia," ujar Mia sedih. Reni menatap putrinya sendu, dia jadi ikut bersedih karena melihat Mia seperti itu. "Siapa yang mau dijodohkan, siapa?" Seorang pria paruh baya datang dari arah dapur menuju ke ruang keluarga. Reni tersenyum. "Ini, Pa! Anak gadis kita merajuk karena cintanya bertepuk sebelah tangan." "Ish, papa sama mama, kok, malah godain Mia sih?" ujar Mia makin kesal. "Sayang, menjodohkan kamu dengan anak orang itu nggak mudah! Apalagi kalau anaknya menolak." Herman -papa Mia, membelai rambut anaknya. "Mana mungkin papa memaksa Rendra untuk menikah." "Mia nggak minta dijodohkan dengan Rendra!" Gadis itu cemberut karena Herman malah salah paham dengan keinginannya. "Mia minta dijodohin sama siapa aja yang penting bisa lupa sama Rendra!" gerutunya. Herman dan Reni saling bertatapan. "Sayang, mama dan papa tidak ingin memaksakan pasangan hidup kamu. Kamu seharusnya bersyukur punya orang tua yang tidak suka menjodohkan anaknya seperti orang tua jaman dulu. Kenapa kamu malah pingin dijodohkan seperti ini?" Kali ini Reni yang berbicara. "Papa sama mama ngerti kok perasaan kamu. Tapi kalau kami menjodohkan kamu, kamu akan merasa lebih tersiksa lagi. Perasaan kamu akan lebih sakit dari ini," ujar Herman pada anaknya. Mia merenungi perkataan Herman yang memang ada benarnya. Tak terasa gadis itu malah menitikkan air mata. Menjalani cinta bertepuk sebelah tangan sejak masih SMA sampai kuliah memang menyakitkan. "Terus Mia harus gimana, Ma?" tanya Mia sambil memeluk Reni. Reni menyambut pelukan anaknya, namun ia tak menjawab. Reni menatap ke arah suaminya.  Namun suaminya itu malah mengedikkan bahunya. "Sebentar lagi kuliah diploma kamu lulus, kamu harus fokus saja sama kuliah kamu!" tegas Herman pada putrinya. "Nggak usah mikirin cinta-cintaan!" Mia melepas pelukan dari mamanya. "Tapi ... kalau Mia ketemu lagi sama Rendra gimana, Pa? Ma?" Baik Reni dan Hendra menarik napas kasar, memang susah menangani permasalahan remaja yang sedang jatuh cinta. "Justru karena sebentar lagi Mia mau lulus, Mia jadi bingung mau ngelanjutin apa? Kalau Mia nggak punya kerja, gimana Mia bisa ngelupain Rendra?" protes Mia. "Baiklah, baiklah! Sepertinya papa punya solusi yang sesuai buat kamu!" Herman berbicara. "Bagaimana, kalau kamu lebih baik melanjutkan kuliah ke luar negeri? Kamu tidak perlu bertemu dengan Rendra kalau begitu!" ujar Herman. "Ide bagus, Pa! Bagaimana sayang?" Reni menanyakan pendapat Mia. "Ke luar negeri kemana?" "Kamu bisa memilih sekolah membuat kue yang kamu mau! Papa akan dukung semuanya!" "Mama juga! Kamu jangan khawatir, nanti Mama akan bantu kamu pilihkan sekolah yang cocok untuk kamu!" ucap Reni begitu antusias. "Dengar-dengar, Prancis adalah tempat yang cocok untuk sekolah pattisery." "Ya, deh! Mia setuju-setuju saja," jawab Mia. "Senyum dulu dong anak Papa." "Kalau dia menolak cintamu tak apa! Ada mama sama papa yang selalu mencintaimu." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD