[5] Ish ... Ish ... Ish ... menertawakan Bos itu Dosa

1901 Words
Rindu cemberut, manyun hampir lima senti. Matanya juga berkali-kali menatap Riana dan Dio dengan sebal. “Teman enggak guna,” keluhnya. “Eh, kita itu berguna, Rin. Buktinya … kita jadi tau gosip yang sebenarnya.” “Apaan!” Rindu meletakkan sendoknya dengan agak kasar. Semangkuk bakso lengkap dengan indomie yang ia gemari ini sudah tandas masuk ke perutnya. Meski kenyang, tapi kalau mengingat kelakuan seorang Bujang tadi rasanya Rindu mau makan lebih banyak lagi. “Jangan tersebar ke mana-mana, ah. Nanti gue kena masalah di tempat baru.” Riana dan Dio makin jadi tertawanya. “Segitunya,” kata Riana sembari menepuk bahu Rindu. “Bukan masalah segitunya, Na.” Bahu Rindu terkulai lemah. “Emang orangnya nyebelin banget, lho. Beda sama Bu Sonia. Gue nyesal banget setuju pindah tugas.” “Baru juga sehari, Rin,” kali ini Dio yang bicara. “Selain bos barumu ada lagi enggak yang nyebelin?” Rindu menggeleng lemah. “Dia doang.” Riana menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Rindu. Tindakan sahabatnya ini membuat RIndu mengerutkan kening. Disingkirkannya pelan tangan Riana yang membuat gadis itu berdecak kesal. “Gue itu memberi petunjuk, Rin.” “Sudah lah jangan konyol.” Diliriknya G-shock yang masih melekat di lengan kirinya. “Jam delapan, neh. Kalian enggak mau cepat pulang?” “Astaga! Kita diurus, Dio,” kata Riana sembari terkekeh. “Padahal masih kangen, lho.” “Terutama gue, Rin.” Dio membusungkan dadanya. “Enggak ada yang bisa gue lihat macam lo di kantor.” Rindu mengibaskan tangannya. “Ayo pulang. Besok masih kerja. Jangan sampai terlambat. di Senayan kalau telat bayar per hari sepuluh ribu.” “Lah gila?!” respon Dio yang spontan mendapatkan perhatian dari beberapa pengunjung kedai bakso. Yang mana juga membuat Riana menyenggol cukup keras bahu pria yang kini menutup mulutnya. “Sorry, kelepasan.” “Benar begitu, Rin?” tanya Riana tak percaya. Ia sampai menarik lengan Rindu untuk kembali duduk di sampingnya. “Iya.” Rindu tak bisa menolaknya. “Aturan itu enggak ditulis di papan tapi berlaku tegas. Nanti uangnya untuk makan-makan di akhir bulan.” Terang saja baik Dio serta Riana kembali tergelak. “Wah … dari rakyat untuk rakyat,” kelakar Dio yang membuat Rindu makin cemberut. “Tapi gosip mengenai tampang Pak Bujang yang ganteng itu memang benar, kan, Rin?” tanya Riana sembari memainkan ujung sedotannya. “Kakak gue kagum banget sama dia. Gue jadi penasaran aslinya gimana?” “Dari tadi gue bicara mengenai Pak Bujang, lo enggak dengar atau gimana, sih, Na?” Riana tergelak. “Jangan sampai terlalu benci, Rin. Kalau jatuh cinta, repot lho!” Mendengar ucapan Riana barusan membuat Rindu bergidik ngeri. “Ih!!!” diusapnya kedua lengannya dengan cepat. “Amit-amit banget, ah! Enggak ada yang lebih horror dari itu?” “Pacaran sama Dio?” tanya Riana dengan usilnya. Rindu mendelik tak percaya mendengar ucapan Riana. “Gila, ya?” Sementara pria yang dibicarakan mereka berdua hanya terkekeh seolah terbiasa dijadikan bahan pergunjingan. “Pulang sana!” usir Rindu. “Yee … belum diusir sama kang bakso ngapain pulang?” Punya sahabat seperti Riana, meski tak terlalu ingin bertemu Dio, tapi apa yang mereka bicarakan sedikit banyak mengurangi rasa kesal yang Rindu punya mengenai kantor barunya, yah … Rindu anggap malam ini cukup mengesankan. “Besok gue ke sini lagi, ya,” kata Dio sesaat sebelum Rindu benar-benar meninggalkan bangku panjang tempatnya duduk tadi. Riana sudah lebih dulu ke arah parkiran sembari mengenakan jaket. Dio memanfaatkan situasi dengan sangat baik rupanya. “Mau ngapain?” Rindu berusaha untu melepaskan diri dari Dio. Jangan sampai juga Riana melihatnya. Bukan apa, Rindu punya firasat kalau Riana ini menyukai Dio. Tak mungkin Riana begitu saja mau menemani Dio kalau hanya sebatas ingin menemui dirinya? Rindu tak berminat untuk ada di tengah hubungan segitiga. Lagi juga ia … “Yah, ketemu lo lagi. Gimana, sih, Rin?” Dio tersenyum lebar. “Biarpun enggak sekantor lagi tapi gue enggak berhenti sampai di sana aja, kok. Malah kalau bisa gue pengin lebih dekat sama lo.” Rindu menarik sudut bibirnya tipis. “Mending lo lihat yang ada di dekat lo sekarang, Dio.” “Lo, kan?” Dio memainkan alisnya yang mana membuat Rindu mencibir. “Bicara sama lo sering banget enggak nyambung.” Rindu pun segera mennyambar sweater yang ia kenakan untuk menghalau dinginnya udara malam. Meski kedai bakso tak terlalu jauh dari rumahnya, tetap saja Rindu harus mengenakan pelapis. Ia tak mau masuk angin dan jatuh sakit apalagi ia belum bisa menyesuaikan diri dengan kantor barunya. Dan mengingat kantor baru, wajah Bujang yang bicara mengenai waktu dan keterlambatan membuatnya kesal. Dio menghela panjang. Membiarkan Rindu berjalan mendahuluinya. Kenapa, sih, susah sekali membuat Rindu percaya kalau dirinya serius mendekat? Apa karena tampangnya yang lebih sering terlihat konyol? Tapi mengenai perasaaannya? Jangan main-main. Butuh waktu satu tahun sekadar untuk bisa duduk bersama Rindu makan bersama. Gadis berambut pirang itu membalas chatnya tanpa kata-kata singkat juga baru beberapa bulan ini. Itu pun karena ia mendekati Riana juga. Astaga. Sepertinya perjuangan Dio panjang sekali. “Ayo!” sentak Riana. Helm milik Dio yang sejak tadi ia pegangi langsung disodorkan begitu saja. “Sudah malam. Lo mau gantiin Kang Bakso di sini?” Dio mencebik. “Sialan lo!” “Lagian, ya, usaha lo receh banget ngajak makan malam sama gue juga. Di tukang bakso pula. Yang keren, kek,” dumel Riana seraya membenahi helm serta jaketnya. “Gue pasti dicariin emak bapak gue. buru, ah!” “Sabar, Bawel!” Dio pun naik ke motornya. “Nyusahin aja lo!” “Eh!” Riana tak terima. “Gue nyusahin? Lo yang nyusahin!!!” *** Sekali lagi Rindu memeriksa keadaan rumahnya. Jangan sampai ada sesuatu yang tertinggal terutama masalah kompor dan aliran listrik. Ia sangat takut sekali menimbulkan masalah karena dua hal tadi. Dan karena jarak rumah ke kantornya cukup menyita waktu, ia sengaja berangkat jauh lebih pagi ketimbang biasanya. “Lho, Rindu sudah mau berangkat?” tanya Bu Kiran, salah satu tetangganya. Kantung kresek hitam yang wanita itu bawa menandakan dirinya mungkin habis dari warung. “Iya, Bu.” Rindu tersenyum ramah. “Saya duluan, ya.” “Hati-hati, Rin. Kok pagi amat berangkat,” Kiran agak heran juga. Di mata Kiran, Rindu ini anak yang baik dan santun meski ibunya … “Iya, Bu. Pindah kantor di Senayan.” Kiran mengangguk saja dengan perkataan Rindu barusan. “Jauh juga, ya, Senayan. Ya sudah kamu hati-hati, Rin.” Sekali lagi Rindu mengangguk. “Ibumu belum bangun?” “Belum, Bu.” Sebenarnya ada rasa sakit dan tak terima tiap kali pertanyaan mengenai ibunya ia dengar. Tinggal di lingkungan ini sejak bayi, membuat hampir sebagian besar tetangganya tau apa pekerjaan ibunya di luaran sana. entah bagaimana Rindu mencoba membujuk, semuanya hanya dijadikan penghias telinga. “Saya permisi, Bu.” Kiran tersenyum dan membiarkan Rindu pergi berlalu. Sampai motor yang dikendarai Rindu menghilang di balik pertigaan yang ada di depan, wanita itu tak melepas pandangannya. “Kasihan Rindu,” katanya. Tapi kemudian ia kembali berpikir, itu bukan urusannya. Jadi ketimbang terlalu lama di luar, ia pun bergegas pulang. Ada yang harus ia kerjakan terutama membuat sarapan. Sementara Rindu berjibaku dengan para pekerja lainnya. Berkejaran dengan waktu agar dirinya tak datang terlambat. bukan perkara sepuluh ribu yang harus ia keluarkan sebagai denda. Tapi wajah Bujang yang meremehkannya membuat ia kesal sendiri jadinya. Kenapa juga ia harus setuju pindah kalau nyatanya berangkar kerja saja rasanya tak nyaman begini? Butuh empat puluh lima menit untuknya tiba di kantor. Biasanya ia hanya butuh lima belas sampai dua puluh menit untuk tiba di kantor Gajah Mada. Itu belum ditambah dengan parkir gedung serta harus memutari area perkantoran lainnya demi tiba di kantor cabang Senayan. Perjuangan sekali memang untuk sampai di kantor Rindu kali ini. Ia sampai tak menyadari kalau ternyata ada staff di Senayan yang berbarengan dengannya mulai dari parkiran tadi. “Pasti teller yang baru pindah kemarin, ya?” sapanya lebih dulu. Mereka sudah ada di depan mesin absen. “Iya, Kak.” “Duh, jangan panggil saya, Kak. Panggil saya Mas aja.” Rindu meringis. “Ih, Bang Yusuf genit amat gangguin Kak Rindu,” sela Dela dengan kekehan riang. “jangan mau Kak Rindu kalau Bang Yusuf deketin. Sudah punya istri dan anak.” Yusuf, si sosok penyapa tadi tergelak. “Nurunin pasaran saya aja kamu, Dela.” Jadi lah mereka bertiga tertawa bersama di mana Rindu akhirnya berkenalan juga dengan staff lainnya. Yah … setidaknya meski ia sebal dengan bos di kantor ini, tapi staff yang ada di sini hampr rata-rata ramah. “Lagi ada arisan di depan mesin absen?” Suara itu membuat Rindu menoleh dengan cepatnya. Dan tepat sekali matanya bersirobok dengan sosok yang sejak kemarin sudah ia kibarkan bendera peperangan tak kasat mata. “Kamu juga. Memangnya kalau berkenalan harus di depan mesin absen? Mulut Rindu terpengarah lebar. Dia … benar-benar bos? “Maaf, Pak,” kata Dela masih dengan keriangan yang ia punya. “Abisan Bang Yusuf sok ngegodain Kak Rindu. Enggak ingat sudah punya anak istri.” Bujang hanya melirik lalu mengangguk dan pergi begitu saja. Membiarkan Dela juga Yusup sedikit beradu pendapat meski diseling dengan tawa. Sementara Rindu yang terlalu kesal juga sebal, diam saja menatap kepergian sosok itu yang sudah menghilang dari balik koridor. “Pak Bujang memang seperti itu, Kak.” Dela merangkul Rindu dengan segera. “Agak kaku tapi paling dabest pokoknya. Paling aware sama bawahannya.” Masa, sih? Tapi Rindu tak berani bertanya. “Kita grooming aja, lah.” “Ayo.” Bagi Rindu, Bujang itu bos kaku yang menyebalkan. Pokoknya ia sebal. Sebal. Dan sebal. Orang lain boleh mengatakan kalau dirinya baik, di mata Rindu? Bujang itu tak ada baik-baiknya. Ia menyesal menyetujui promosinya di sini. Kalau sampai tiga bulan dirinya tak mendapatkan apa yang dijanjikan, ia memilih minta dikembalikan ke cabang Gajah Mada saja! “Dasar nyebelin,” gerutu Rindu sesaat sebelum ia benar-benar menyelesaikan tatanan rambutnya. Sebagai seorang teller, pekerjaannya berhubungan dengan uang dan ketelitian. Jangan sampai penampilannya menganggu dan membuat ia tak konsentrasi saat ada nasabah setor tunai atau melakukan penarikan uang dalam jumlah besar. Yang nominal kecil saja Rindu harus benar-benar teliti apa lagi besar. “Siapa nyebelin, Rin?” tanya Ayana yang tampak heran. Padahal ia masuk ke ruang staff untuk menyeduh s**u seperti kebiasaannya sebelum memulai aktifitas. Malah mendengar Rindu menggerutu dengan wajah cemberut. Padahal tadi saat ia berpapasan di toilet, Rindu biasa saja. Malah terlihat ceria. Apa tadi karena Rindu ditemani Dela? Jadi yang membuat Rindu mengeluarkan dumelannya pagi ini … Dela? “Oh! Enggak, Kak. Enggak ada,” Rindu gelagapan. “Aku sebal sama kuncir rambutnya ini, lho.” Ia pun berusaha berakting. Jangan sampai Ayana tau kalau dirinya menjelek-jelekkan sang bos. Ayana nyengir saja. “Benar begitu, Rin?” “Iya, Kak.” Rindu bergegas mengangguk mencoba meyakini. “Kakak ada kuncir rambut lagi?” “Rambut aku, kan, pendek Rin,” Ayana terkekeh. “Dela memang agak nyebelin, sih. Aku tau itu.” “Ya?” Rindu jadinya melongo. Kenapa jadi Dela? “Yah … tapi aku maklum saja. Selama dia bisa fokus kerja, enggak banyak bikin ulah, aku enggak jadi soal kalau Dela sering kali bikin aku sebal.” “Bu-bukan itu, Kak,” Rindu benar-benar kebingungan sekarang. “Sudah.” Ayana mengusap bahu Rindu pelan. “Rahasiamu aman, Rin.” Tuhan! Kenapa jadi gini, sih? Niat hati pengin menjelek-jelekan bos besar, malah salah paham!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD