[14] Kejutan untuk Bujang

1713 Words
Sejak Rindu meninggalkan ruangannya, sebenarnya Bujang ada rasa tak enak hati. Apalagi ia terbayang terus sorot mata Rindu yang seperti menahan tangis. Tapi mau bagaimana lagi? Ini memang penilaiannya terhadap kinerja Rindu. Masa iya dirinya manipulasi? Tidak, ya. Bujang masih dalam batas professional dalam bekerja. Meski ia juga harus menelisik bagaimana peringai Rindu sebenarnya. Pertama, ia memang tak terlalu teliti sebenarnya. Kedua, gadis itu agak labil dalam hal emosi. Buktinya sering menggerutu. Ketiga, mungkin karena banyak yang memujinya bagus dalam hal pekerjaan makanya kinerja sang gadis tak terlalu maksimal. Itu yang Bujang pikir mengenai keadaan Rindu sekarang. makanya ia melangkah pulang juga sudah tak terlalu memikirkan berkas yang tadi ia beri pada Rindu. terserah gadis itu mau menerima atau tidak, itu sudah mutlak penilaiannya. Ia harus menunggu tiga bulan lagi untuk promosi sebagai head teller. Meski nantinya kekosongan itu juga membuat repot dirinya serta Marta, tapi itu lebih baik dibanding kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Karena Ayana masih belum memastikan benar, apakah setelah melahirkan akan meneruskan pekerjaannya atau resign seperti yang pernah ia katakan pada Bujang. Marta sendiri ditanya mengenai status Ayana masih belum bisa memberi jawaban yang pasti. Apa sebaiknya besok bertanya dengan Ayana? Resign tak bisa langsung begitu saja. ada one-month notice yang harus mereka jalankan sesuai dengan prosedur yang ada. jangan sampai mereka keluar begitu saja tanpa ada serah terima jabatan pada rekan kerjanya. Apalagi Ayana ini memegang bebepaa kode dank unci brankas. “Baru pulang, Pak,” sapa sekuriti begitu membukakan pintu untuk Bujang. Bujang hanya tersenyum namun ia menyempatkan diri menoleh pada bagian teller. “Anak-anak sudah pulang?” “Sudah, Pak. tinggal Mbak Hanum, Pak Yusuf, dan Bu Marta.” Bujang mengangguk saja. “Saya pulang dulu, ya. Periksa sekali lagi ruangan terutama bagian teller. Jangan sampai ada yang lupa dikunci.” “Baik, Pak.” Lalu Bujang pun melangkah menjauh menuju mobil yang terparkir di depan lobby gedung. Mobil sedan hitam yang selalu setia menunggunya serta mengantarkannya ke mana pun tujuan yang ia inginkan, setia sekali di sana. mobil yang ia beli dengan susah payah sebagai pembuktian dirinya serta keberhasilannya selama merantau di Jakarta. Naik dan duduk di kursi empuk mobil entah kenapa justru membuatnya teringat akan masa lalu. Masa di mana ingin sekali ia singkirkan karena menyesakkan sekali. Belum bisa Bujang lupa rasa sakit hatinya. Dulu naif sekali Bujang mencintai sepenuh hati, seluas samudera, setinggi langit yang ada di angkasa ini pada satu sosok; Nurida Ningrum Darajat. “Eneng dilamar, Bang,” katanya saat itu. Saat di mana Bujang baru saja menetapkan satu tujuan serta hatinya. Dan itu hanya untuk Ida seorang. Hampir lima tahun ia merajut kasih, berusaha untuk membuktikan diri kalau dirinya mampu meski baru sekadar staff biasa. tapi bukan berarti dirinya diremehkan begitu saja, kan? niatnya baik ingin melamar sang pujaan hati, menikahinya saat uang tabungan ia rasa cukup, menjalin cinta kasih dalam ikatan yang jauh lebih sakral ketimbang sebatas pacaran saja. Sayangnya … “Kok dilamar, Neng? Maksudnya gimana?” Bujang terkejut. Sangat terkejut. Sampai tadi juga ia sempat tersedak kopi yang baru saja ia teguk. Padahal rasa manisnya pas, suasananya juga sangat mendukung, tapi sayang beribu sayang. Kabar yang menyapa telinganya membuat semua hal indah dalam benak Bujang buyar. “Iya, Bang.” Ida menunduk, sedih sekali. Matanya juga sudah berkaca-kaca saking kalutnya ia tapi dirinya tak bisa berbuat banyak. “Ada yang melamar Neng kemarin.” “Dan Neng terima?” tanya Bujang dengan nada mendesak. Ada suara retak yang sangat memilukan. Suara hatinya yang hancur berkeping-keping. “Neng enggak bisa menolak perintah Bapak dan Ibu.” Bujang memejam kuat. “Kenapa, Neng?” Ida menggeleng lemah. Ia juga bingung juga tak terima dengan semua keputusan yang ada. tapi orang tuanya sudah memutuskan. “Neng minta maaf.” Pastinya sang kekasih sakit hati atas keputusannya ini. padahal ia juga sama besarnya mencintai Bujang. “Neng pergi.” Tak kuat berada di sisi Bujang terlalu lama, Ida pergi. Membawa air mata yang jauh di tiap langkahnya. Di mana Bujang berpikir, Ida pergi begitu saja. meninggalkan dirinya yang sakit hati dan kecewa. Sangat kecewa. Lima tahunnya dianggap apa oleh sang gadis? Bagaimana ia bersikap pada Ida? Yang ia jaga dari dirinya sendiri serta kebanyakan orang di luar sana. Itu belum seberapa sepertinya. Berita mengenai pernikahan Ida berembus kuat. Di mana banyak mata yang menatap Bujang dengan pandangan kasihan. Ida dan Bujang memang sudah banyak dikenali warga kampungnya memiliki huubungan khusus, meski belum disahkan secara resmi sebagai tunangan, tapi orang tua Ida juga tak pernah memberi larangan kalau anak gadisnya bersama Bujang. Lantas kenapa orang tua Ida melakukan hal ini padanya? Ia ingat-ingat apa yang menjadi salahnya? Apa karena dirinya anak seorang janda tani? Ibunya menghidupi Bujang dari hasil sawahnya yang hanya sepetak peninggalan sang suami. Dari saja juga lah Bujang bisa berkuliah meski harus berhemat sekali setiap harinya. Begitu mendapatkan pekerjaan yang cukup layak, Bujang masih harus mengetatkan tali pinggang agar memiliki tabungan yang banyak. Kekasihnya harus mendapatkan pernikahan impiannya. Atau kah karena ia hanya staff biasa? di mana memangnya ada yang bisa langsung jadi manager tanpa dimulai dari staff dulu? Oh … jelas ada. ketika kamu terlahir sebagai anak seorang pejabat atau memiliki kekuasaan tertentu, pastinya jabatan bisa segera didapat. Sementara Bujang harus merangkak dengan susah payah agar ada di posisinya sekarang. Benar. Sepertinya dua hal itu adalah kesalahan Bujang yang tak langsung diberitahu orang tua Ida. Tau-tau Ida dilamar oleh pemuda yang jauh di atas Bujang. Dalam segi apa pun terutama pekerjaan. Jabatannya sebagai pegawai kecamatan kampung Sari membuat pria itu mentereng sekali. mengenakan seragam yang selalu menjadi kebanggaannya. Kalah jauh dengan Bujang. Juga pesta pernikahan yang membuat Bujang berpikir, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan demi mempersunting Ida? Tabungannya aja tak cukup sekadar untuk membayar makanan yang tersedia kala pesta itu digelar. Bagai langit dan bumi jatuhnya. Bujang hanya bisa menatap dari kejauhan bagaimana Ida bersanding dengan orang lain. sedih memang, ia bawa segenap patah hatinya, kecewanya, serta kesedihannya dengan banyak bekerja dan kerja. Ia menghela panjang sekali lagi. “Masa lalu, Bujang.” Ia pun membenahi spion tengahnya. “Sudah berlalu.” Lalu mesin mobil pun ia nyalakan. Agak lama ia nyalakan karena mesin mobil belum terlalu panas. Ia tak ingin berisiko merusak mobil nantinya. Sembari ia pilih mana saluran radio yang pas untuk menemaninya sepanjang jalan pulang. Macetnya Jakarta pasti membuatnya jenuh juga terkadang menjengkelnya. Banyak yang serampangan selama berkendara, kurang memperhatikan sekitar sehingga bisa membuat celaka orang lain. ah … kadang Bujang rindu tinggal di kampung halamannya. Tapi kalau ke sana terlalu lama, ia jadi teringat dengan mantan kekasihnya itu. Belum juga dirinya keluar area parkir, ponselnya berdering nyaring. Nama sang ibu muncul di layar. Senyumnya lantar terkembang lebar. “Assalamualaikum, Bu.” “Wa’alaikum salam, Bujang. Kamu sudah pulang?” “Baru mau pulang.” “Ini kamarmu sudah berapa lama enggak dibersihkan.” Punggung Bujang menegak. “Ibu … di kost-ku?” “Iya lah. Cepat pulang. Ini Ibu buatkan tumis jamur kesukaanmu.” “Jangan dibereskan kamarnya, Bu. Biar saja.” “Alah! Terlambat.” Bujang tepuk jidat! Kamarnya memang rapi, hanya ada kaus yang semalam ia kenakan untuk tidur. Tapi … “Bu, jangan dirapikan kamar Bujang!” “Cepat pulang!” Ibunya dan perintah! *** “Kenapa manyun, Rin?” tanya Farah sembari bergerak pelan. Rasa sakit pada lambungnya masih terasa. Meski ia belum diperbolehkan pulang, tapi ia menjamin kalau akan beristirahat full selama tiga hari. makan sesuai dengan arahan dokte; nasi lembut dengan kuah ayam atau daging. Ia meringis karena punggungnya terasa pegal. Setelah pulang dari rumah sakit, ia sama sekali tak boleh bergerak dari tempat tidurnya. Ini semua karena Koni yang menjaganya. Sahabatnya itu berisik sekali perkara gerakannya saja. Padahal Farah paling tau apa yang harus ia lakukan. ia terbiasa bergerak bebas dan tak dibatasi ini dan itu. selama jatuh sakit kemarin, ia akui dirinya lupa menjaga kesehatan. Terlebih lelah karena perjalanan ke luar kota memang cukup menguras tenaganya. Mau bagaimana lagi? Customer loyal yang sedikit banyak menjadi tumpuannya memiliki banyak uang ada di sana. Farah tak bisa menolak saat dirinya diminta untuk ke sana menemani sang tamu. Kadang ada rasa lelah dan bosan dengan kegiatan yang ia lakukan sejak dua puluh tahun belakangan ini. Tapi Farah sadar, dirinya tak bisa mengandalkan orang lain selain dirinya. Apalagi mengandalkan putrinya. Jelas ia tak ingin melakukan hal itu. Ia ingin, Rindu menikmati betul-betul uang yang didapat dari hasil kerjanya. Asal pekerjannya itu bukan seperti yang ia lakukan, Farah pasti mendukungnya. Biar saja dirinya yang berkubang dalam hal buruk, asal jangan Rindu. ia jaga putrinya segenap hati. makanya begitu melihat wajah Rindu yang murung, ia yakin telah terjadi sesuatu. “Enggak ada, Mi.” Rindu mencoba tersenyum. Sebelum tiba di rumah, ia mampir ke pom bensin yang bisa ia temui di sepanjang jalan. Mencuci mukanya dengan segera, menghapus sisa air mata serta berusaha untuk bersikap normal. Kalau tidak, ibunya bisa saja tau kalau Rindu habis menangis. “Enggak ada?” tanya Farah dengan pandangan menyelidik. ”Yakin?” Rindu mendekat ke arah ibunya. “Mami sudah makan?” Farah mengangguk segera. “Jangan alihkan pembicaraan, Rin. Mami enggak suka.” Mungkin terkesan Farah ini ketus sekali terhadap anak perempuannya. Tapi begitu lah Farah. Ia tak terlalu suka berbasa basi. Meski mengucapkan dengan senyum yang ia paksakan ada, tapi tetap saja membuat Rindu sedikit berjengit. Koni yang sejak tadi menemani Farah tau kalau ini saatnya ia undur diri. Toh Rindu sudah kembali. meski ia agak curiga karena mata sang gadis agak bengkak, tapi nanti akan ia tanya. Jangan sekarang. beda dengan Farah yang selalu ingin tau apa yang terjadi pada putrinya itu. kadang sikapnya yang terlalu lugas bagi Koni, bisa membuat Farah dan Rindu sebenarnya saling menjauh. Padahal Koni tau, rasa sayang Farah pada Rindu sangat lah besar. “Enggak ada, Mi. Aku enggak bohong.” Rindu segera menarik senyuman yang paling lebar yang bisa ia tunjukkan. “Kalau Mami belum makan, aku belikan bubur di depan, ya? Besok pagi aku siapkan nasi dengan sup ayam?” Farah mengangguk saja. Pun saat Koni pamit pulang dari kontrakannya. Diantar sampai ke depan gang oleh Rindu di mana putrinya juga membelikannya bubur. Mungkin saja sekalian untuk makan malamnya. Kepulangan Rindu tadi membuat Farah merasa ada yang aneh dengan sang putri. Naluri dalam dirinya tak bisa dibohongi. Ada sesuatu yang menimpa putrinya. Tapi apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD