Surya Tirta, dua unsur alam yaitu matahari dan air, yang tersemat pada sebuah nama seorang pria. Pria yang sejak beberapa waktu lalu menjadi customer tetap kedai ice cream milikku. Bukan tanpa sebab jika pria itu kerap kali berkunjung ke tempat usaha yang aku miliki. Itu semua karena sosok gadis kecil bernama Cahaya. Aku ingat bagaimana untuk pertama kalinya dibuat terkejut dengan teriakan melengking seorang anak perempuan yang memanggilku dengan sebutan Mami. Bagaimana bisa gadis sekecil itu mengira jika akulah ibunya. Belum ada kejelasan akan itu semua, meski setelahnya sempat beberapa kali kami dipertemukan di dalam situasi yang berbeda-beda. Bahkan, pria yang sering aku sebut dengan nama Pak Surya, juga putrinya yang akrab disapa Aya, hampir setiap hari datang ke kedai milikku.
"Permisi, Bu Tari." Kedatangan salah seorang karyawan ke dalam dapur mengagetkanku.
"Ya. Ada apa?"
"Itu di depan ada yang sedang mencari Ibu."
"Mencari saya?"
Gadis berambut panjang itu menganggukkan kepala. "Iya, Bu."
"Siapa?"
"Seorang bapak dengan anak perempuan yang sering datang ke sini."
Sudah dapat aku tebak, pasti Pak Surya dengan Cahaya. Entah kenapa aku jadi berpikir antara menemui mereka atau tidak. Masalahnya, aku sedikit kurang nyaman dalam setiap pertemuan tak disengaja kami. Bagaimana tatapan orang-orang yang mengira kami adalah keluarga kecil yang bahagia, dengan Cahaya yang selalu bergelayut manja padaku. Bahkan tak segan meminta agar aku menggendongnya ketika mereka memaksa mengajakku makan di salah satu resto cepat saji yang dekat dengan kedai. Aku suka anak kecil. Apalagi keinginan terbesarku sejak dulu adalah memiliki seorang anak perempuan. Namun, tidak dengan cara seperti ini juga. Cahaya hanya seorang gadis kecil yang tanpa sengaja aku kenal. Lalu, karena Cahaya pula yang sering mengira aku ini ibunya, bahkan memanggilku dengan sebutan mami. Yang menjadikan aku semakin tak enak hati karena Pak Surya justru membiarkan hal itu terjadi.
"Maafkan anak saya jika memanggil Anda mami. Mungkin dia mengira bahwa Anda adalah ibunya." Penjelasan yang Pak Surya berikan padaku kala itu masih berusaha aku pahami.
"Memangnya, maminya Cahaya ke mana, Pak?" tanyaku suatu ketika karena penasaran.
Pria itu tersenyum tipis. "Sudah meninggal ketika melahirkan Cahaya."
Cukup sampai di situ yang aku tahu. Setelahnya aku tak lagi mau mengorek informasi apapun terkait maminya Cahaya. Namun, siapa sangka jika berawal dari kebaikanku yang justru membiarkan Cahaya memanggilku mami, lalu kehadiran gadis kecil itu setiap hari untuk menemuiku, berujung pada tindakan nekat papinya Cahaya. Pak Surya tiba-tiba melamarku secara tak disangka. Tentu hal itu diluar dari pemikiranku. Menikah itu memerlukan penjajakan meski tidak harus melalui proses pacaran. Dan satu hal lagi. Yaitu mengenai statusku yang seorang janda. Tanpa aku sangka jika beliau mengetahuinya juga.
"Mengenai statusmu, aku tahu dari mana itu tidak penting, Tari. Yang jelas, aku membutuhkanmu sebagai maminya Cahaya."
Lagi-lagi aku terngiang pembicaraan kami beberapa waktu lalu, setelah kedekatan kami memasuki bulan ketiga.
"Bu ... Ibu mau menemui tamunya atau tidak?" Pertanyaan karyawanku membuat diri ini langsung tersadar. Jadi, sejak tadi aku hanya melamun saja. Malu rasanya karena ketahuan olehnya jika aku sedang banyak pikiran.
"Nggak apa. Aku akan menemuinya. Biarkan mereka menunggu sebentar."
"Baik, Bu."
Karyawan perempuan yang aku pekerjakan sebagai seorang pelayan itu pun meninggalkan dapur. Tempat aku mengolah aneka macam makanan juga minuman yang aku jual di kedai.
Segera mencuci tanganku juga membasuh wajahku agar bersih dari keringat yang mengucur. Setelah mengeringkan tangan dan wajah dengan handuk, aku merapikan rambutku. Baru setelahnya keluar dari dapur yang langsung terhubung dengan kedai. Berdiri sebentar di belakang meja kasir mencari-cari seseorang yang sedang menungguku.
"Mami!" Teriakan nyaring seorang gadis kecil berseragam merah putih mengalihkan perhatianku. Aku tersenyum. Meski suasana hati ini sedang dilema, nyatanya aku tak boleh menunjukkannya di hadapan Cahaya. Urusan hatiku adalah dengan Pak Surya. Bukan Cahaya. Kulihat bagaimana gadis itu melambai-lambaikan tangannya meminta padaku agar segera menghampirinya.
Kudekati meja mereka. Binar bahagia dari wajah Cahaya yang melihatku, lalu begitu saja telah menarik tangan ini. Meminta padaku untuk duduk di sebelahnya. Canggung dan juga kikuk karena Pak Surya ikut tersenyum menyambutku.
"Aya, apa sudah pesan makanan atau minuman tadi?" tanyaku berbasa-basi.
"Sudah, Mami. Tadi Mami ke mana saja? Aya nunggunya lama sekali."
Belum juga aku menjawab, Pak Surya sudah menyela. "Aya! Tidak boleh berkata begitu. Mami Tari sedang sibuk karena banyaknya pembeli. Jadi, tidak boleh mengeluh apalagi menggerutu."
"Iya, Papi. Maaf," jawab gadis kecil itu, merangsek mendekat padaku. Bergelayut di lenganku dengan manja seperti biasa.
"Mami ... Aya lapar. Pulang sekolah belum makan, langsung ke sini tadi. Mami mau menyuapi, Aya?" tanyanya polos dengan wajah mendongak menatapku penuh permohonan.
Aku mengusap rambut Aya. Lalu mengalihkan padangan pada pria yang duduk di hadapanku. Aku saling pandang dengan Pak Surya. Pria itu menangkupkan tangan meminta maaf. "Maafkan Aya, Tari."
"Tidak apa, Pak. Namanya juga anak kecil," jawabku karena merasa tidak tega juga dengan Aya. Gadis sekecil ini sudah kehilangan sosok ibu semenjak lahir. Mengingatkanku akan ketiga putraku. Meski aku dan ayah mereka telah berpisah, setidaknya mereka masih memiliki aku sebagai ibu yang selalu menjaga dan ada untuk mereka. Tak pernah kekurangan kasih sayang karena aku sudah cukup memberikannya. Lantas, bagaimana dengan Aya? Gadis kecil itu bahkan belum pernah merasakan kasih sayang ibunya.
"Aya, kenapa minta disuapin Mami Tari. Tadi janjinya dengan Papi apa? Hanya mau mengantarkan undangan saja, kan? Tidak mau merepotkan Mami Tari?" Pak Surya kembali berucap dengan menatap putrinya.
Bibir Cahaya mengerucut seketika membuatku tertawa saja. Terlihat lucu sekali tingkahnya di mataku. Aku salut juga dengan cara Pak Surya mendidik Aya.
"Memangnya undangan apa yang ingin diantarkan untuk saya?" tanyaku kemudian.
"Tunggu sebentar, Mami. Aya ambil dulu di dalam tas."
Kuperhatikan gadis itu yang kini sedang membuka tas sekolahnya. Lalu mengeluarkan sebuah kertas undangan berwarna pink. Dia serahkan kepadaku.
"Ini untuk Mami. Undangan pesta ulang tahunku. Mami harus datang, ya?"
Kuterima dan kuperhatikan lekat-lekat undangan di tangan. Membaca dengan teliti kapan acara ulang tahun Cahaya akan diselenggarakan. Hari Minggu besok jam empat sore. Informasi yang tertera di sana.
"Tari ... kuharap kamu bisa datang. Pasti Cahaya akan sangat senang." Pak Surya menimpali.
Aku masih belum menyiapkan jawaban. Apakah aku harus datang atau tidak. Ibaratnya, Pak Surya dan Cahaya ini bukanlah keluargaku. Bahkan perkenalan kami pun juga secara tidak sengaja. Tidak terlalu akrab juga. Akan menjadi pertanyaan bagi keluarga besar Pak Surya andai aku datang bersama putra-putraku. Akan mengenalkan sebagai teman Cahaya juga tidak mungkin. Atau mengenalkan diri sebagai teman Pak Surya. Lebih tidak masuk akal lagi. Jika pertemanan yang terjalin di antara sesama orang dewasa, lebih tepatnya antara duda dan janda pasti akan menimbulkan banyak spekulasi mengarah pada hubungan tak biasa. Aku tidak mau itu terjadi. Segala macam prasangka orang lain akan status janda yang aku sandang ini.
Tidak mudah menjadi seorang janda. Gerak sedikit saja sudah pasti menimbulkan cela. Pun demikian juga jika aku menurut untuk mendatangi acara ulang tahun Cahaya. Apa kata orang nantinya? Satu hal lagi. Pasti dengan panggilan mami yang Cahaya sematkan untukku semakin menambah kekisruhan nantinya.
"Jangan khawatir, Tari. Nanti saya akan mengirimkan sopir untuk menjemputmu bersama anak-anak. Bagaimana?"
Semakin sulit mulut ini untuk menjawab tidak. Apa aku sanggup melihat kekecewaan di wajah Aya.
"Mami. Aya pasti senang jika ada Mami. Nanti Aya akan mengenalkan Mami dengan teman-teman Aya."
"Iya, Sayang. Nanti Mami tanyakan dulu pada anak-anak mami, ya. Apakah mereka bisa datang atau tidak," kataku berusaha memberikan pengertian.
"Aku juga tidak mungkin memaksamu, Tari. Tapi ... jika kamu bersedia hadir, bukan hanya aku saja yang senang. Tapi, Aya juga. Selama enam kali hari ulang tahunnya, Aya tidak pernah didampingi oleh yang namanya mami. Dan sekarang, diulang tahun ketujuh Aya, aku berharap ada secercah kebahagiaan tersendiri di hatinya karena adanya seorang mami yang mendampingi."
Trenyuh aku mendengarnya
Adakah kesempatanku untuk memberikan kata penolakan?