7. Melepaskan Pegangan.

1623 Words
Sapaan demi sapaan Gabina dapatkan diacara makan malam keluarga besar sang bos itu, rasa lapar sampai saat ini belum menghampiri Gabina, Perasaan shock dan panik di kemacetan berubah kebingungan. Gabina memilih duduk sendiri di sebuah meja yang kosong sembari memainkan pingggiran gelas orangame juice yang ia pegang. Apakah seperti ini menjadi sekretaris akan ikut ke acara keluarga si bos? Gabina menelisik semua orang disana, ada kedua orang tua Rain, kakek dan neneknya, nenek buyut hingga para keponakan juga sepupu, semuanya tampak baik, mereka ramah, sopan dan sepertinya ini keluarga yang sangat bersahaja. Tapi bagaimana bisa mereka mempunyai anak seperti Rain, dimana dulu dia sangat berengsek, sering cabut sekolah, pelaku perundungan, semena-mena, lihatlah pergaulan teman-temannya dahulu. Hati Gabina memanas mengingat dia pernah di paksa menenggak minuman keras hingga pil ekstasi. “Kau wanita Rain yang mana?” tegur nenek buyut Rain tiba-tiba mendorong kursi rodanya susah payah menghampiri Gabina. Wanita Rain yang mana? Padahal Gabina sudah menjelaskan pada setiap orang yang menyapanya, dia adalah sekretaris baru diperusahaan Rain. “Maaf nek, saya bukan siapa-siapa pak Rain. Saya hanya sekretarisnya!” Gabina berdiri dari tempat duduknya tersenyum menyapa nenek. “Aku kenal dia, apa yang dia sudah janjikan? Akan menikahimu?” “Nenek maaf, pak Rain tidak ada menjanjikan saya apapun, saya benar-benar cuma sekretaris biasa.” “Sekretaris apa kau bisa sampai disini, mendekatlah aku akan beritahu sesuatu!” Nenek buyut meminta Gabina mendekat ia ingin membisikkan sesuatu dan dengan ragu Gabina pun mendekatkan telinganya. “Ada apa nek?” “Menyerahlah! Aku setuju dengan hubungan kalian, ayo menikah besok! Kau minta mas kawin apa? Gedung apartemen, private jet, berlian berapa karat? Jangan bersembunyi-sembunyi. Aku yakin diantara semua kekasihnya saat ini kau yang di anggapnya paling baik karena itu bisa sampai disini.” Gabina sukses dibuat terperangah menundukkan kepalanya di mulut nenek, “Nenek, nenek salah paham—“ “Ayo pulang! Supir sudah menunggumu!” Tegur seorang laki-laki membuat Gabina langsung bangkit. “Iya Pak, saya sudah boleh pulang?” “Hemm....” jawab pria dingin itu acuh. Gabina langsung membawa tasnya di atas meja, “Nenek saya pulang dulu ya, sampai jumpa nanti.” Nenek berdecak kesal membuang wajahnya enggan melihat Gabina, “Terus saja berakting supaya apa? Tinggal sat-set sat-set udah beres langsung buat anak.” Rain menahan tawa lalu merendahkan tubuhnya, “Cantikan mana? Marissa, Tiara, Velove, Lovina, Nara,Shanaz?” “Tidak satupun, aku pastikan kau tidak akan kembali dengan mereka semua!” Nenek buyut segera pergi dari sana. Beberapa menit kemudian di depan pintu utama restoran Gabina mencari-cari dimana supir yang Rain maksud, Gabina bahkan menghubunginya. “Hallo Pak Didi parkir dimana?” “Loh saya sudah dijalan pulang mba Gabina, kenapa mba?” “Loh kata pak Rain?” Tiba-tiba saja sebuah mobil mewah berwarna merah berhenti, tepat didepan Gabina lalu jendelanya terbuka sebagian. Rain memperlihatkan kepalanya di bangku penumpang dan seseorang yang mengemudi disebelahnya adalah perempuan. “Jangan suka merepotkan orang lain! Tadi udah makan kan? Ini ongkosnya, saya pastikan tidak ada kemacetan malam ini.” Lelaki itu mengulurkan uang ratusan ribu lalu melettaknnya pada tangan Gabina yang bengong dan seketika mobil berlalu dari sana. Gabina menatapi mobil yang berlalu itu, ia tidak mengerti apa maksud bosnya mengatakan supir menunggunya padahal supir sudah pergi. “Saya pastikan tidak ada kemacetan malam ini, dia balas dendam? Tapi bukan aku yang buat kemacetan itu, hah! Atasan macam apa itu? Dia tidak pernah berubah sedari dulu. ” Gabina sangat tidak peduli dengan wanita yang bersama bosnya itu tapi kenapa wanita itu tidak masuk ke dalam acara. Gabina menjadi ingat kata-kata nenek buyut sangat Bos, “Kau wanita Rain yang mana? Oh Tuhan sebanyak apa wanita dia? Ah terserah!”Gabina begegas pergi dari sana berjalan kaki untuk keluar area restoran. Hari ini benar-benar melelehkan dan terasa sangat panjang, benar kata pepatah hari yang sial walau hanya sehari saja, terasa 40 hari lamanya. *** “Assalamu’alaikum!” Gabina akhirnya tiba dirumah tua yang ia tempati bersama bapak, itu adalah rumah tua yang terletak di sebuah gang sempit namun sangat berarti untuk Gabina, karena inilah satu-satunya harta mereka. Bapak sendirian dirumah, bapak memakai kursi roda karena sebelah tubuh dari tangan kiri ke bawah kakinya mati rasa tidak berfungsi, tapi bapak masih bisa beraktivitas dengan baik dan juga masih berbicara secara normal walau kadang bibirnya sering tiba-tiba kaku. “Waalaikum salam!” Sahut bapak dan seseorang disana. “Mas Alfi! Loh kok udah pulang? Katanya sampai hari rabu di Solo?” Lelah Gabina seketika sirna melihat sang kekasih pulang dari tugasnya diluar kota. “Yaudah bapak tinggal ya, nak Alfi!” “Bapak udah makan? Obatnya gimana?” “Sudah semua, sudah itu Alfi nungguin kamu dari sore.” ucap bapak menggerakkan kursi rodanya pergi dari ruangan tamu. Gabina menaikan alisnya lalu tersenyum aneh melihat Alfi lalu dia duduk di sebelah lelaki itu.“Mas kenapa serius amat wajahnya? Ada masalah? Gimana di Solo, cieee... yang naik jabatan! Aku bahagia mas, akhirnya doa-doa kita terkabul, kamu tempati posisi manager pemasaran itu aku dapat kerja yang lebih baik.” “Mas, juga Bin! Selamat ya akhirnya kamu dapat kerjaan yang lebih baik.” Gabina benar-benar merasa terharu netranya berkaca-kaca, mereka berdua memang orang yang selalu bekerja keras, Gabina mendapatkan sosok Alfi yang selalu mensupport-nya, mereka sudah hampir 3 tahun ini bersama meski keluarga Alfi seperti kurang menyukai Gabina yang Gabina rasa mereka iri karena Alfi selalu menyibukkan waktunya bersama Gabina. Tapi Gabina harap kesalahpahaman itu cepat berakhir nanti saat mereka terikat secara sah, karana Alfi sudah menjanjikan pernikahan saat nanti jabatannya di kantor perusahaan makanan tempatnya bekerja sudah lebih baik. “Alhamdulillah mas, mulai bulan depan aku bisa rutin bawa Bapak terapi, semoga Bapak bisa lebih baik dan kita bisa sama-sama ngumpulin uang buat rencana pernikahan kita deh! Makasih selalu support aku mas, makasih selalu ada buat aku.” Alfi menundukkan kepalanya, sesaat suasana hening diruangan tamu itu, hawa dingin dari luar terasa masuk kedalam. “Ada yang mau mas bilang.” “Mas? Ada masalah!” Gabina sedikit resah. “Ayo keluar!” Lelaki itu lalu berdiri dan berjalan keluar dari sana. Hari sudah begitu larut, gerimis malam mulai datang bersama angin yang sedikit kencang. Alfi membawa Gabina ke mobil Agya miliknya yang terparkir dijalanan depan teras rumah Gabina itu. Netra Gabina menelisik ke kaca, seperti ada seseorang disana dan benar saja seketika orang itu menurunkan jendela mobil, dia seorang perempuan? Dada Gabina bergemuruh Gabina shock, “Ada apa ini?” “Kenalin ini Dea istri mas.” Bagaikan disambar petir yang menggelegar, Gabina bukan hanya tersentak tapi rasanya ia seperti terpental. “A-apa?” “Mas tahu ini salah, mas berbohong! Sebenarnya, mas hampir sebulan ini di Solo buat nikahin Dea, mas nggak tahu harus apa Bin, ibu nggak restuin kita. Kita udah mencoba berusaha untuk mengambil hati ibu.” Gabina mengusap dadanya sesak sekali, ia fikir pagi tadi menjadi hal yang paling menyesakkan ternyata ditengah malam buta ada lagi yang lebih menyesakkan untuknya. Dia sosok yang begitu Gabina percaya, sosok penyemangatnya, tempat berkeluh kesah, menangis dan sosok yang paling menghiburnya ternyata yang paling sakit menusuknya. Tidak lagi Gabina lihat boneka bebek kecil gantungan di mobil yang selalu menjadi tawaan mereka, bangku mobil tempat mereka biasanya makan saat pulang bekerja, bernyanyi di jalanan, berteriak saat bahagia. Gabina seperti dipaksa melepaskan pegangannya, masih begitu jelas Bina ingat saat dia mengantarkan Alfi sebulan lalu ke Bandara, perpisahan itu begitu manis meski menyedihkan. Alfi memberikan Gabina sebuah cincin lalu mereka berpelukan lama, setiap doa baik terlampir dibibir Bina karena Alfi mengatakan dia pergi karena tugas kantor. Gabina berusaha mengerti tentang Alfi yang sulit dihubungi dan Alfi juga jarang mengubungi karena beralasan sibuk. Tapi nyatanya... Gabina tersenyum ia melihat sekilas mata Alfi yang sendu seperti menyesali ini namun ia juga memegang tangan wanita bernama Dea itu seakan memperlihatkan mereka bahagia dan sudah saling memiliki. Sangat sadis bukan? “Wah, selamat mas—Dea? Its okay aku paham kok, udah malam loh, aku masuk dulu ya! Besok harus ke kantor pagi-pagi.” “Bina—“ “Ya apa lagi?” “Mas minta maaf.” Bina hanya bisa tersenyum lalu melambaikan tangannya pergi dari sana, Alfi orang baik selama ini tidak sedikitpun dia pernah menyakiti Bina, tapi inilah akhir cerita mereka, yang terlihat baik tidak selamanya demikian. “Aku bahagia buat kalian.” Pernah tidak saat seseorang itu menjadi salah satu sumber kebahagiaan yang kau punya lalu tiba-tiba dia mematahkanmu berkeping-keping, dia melepaskan tanganmu. Tidak akan lagi kau lihat dia berlarian mengejarmu, tidak lagi dia menjadi si pemberi tissu dan sandaranmu saat kau begitu lelah dengan dunia ini. Ya. Sebenarnya Gabina sadar orang tua Alfi yang merupakan pasangan kepala sekolah dan dokter mata itu bukan cuma iri dengan putranya yang terlalu dekat dengan Gabina, tapi mereka juga seperti kurang bisa menerima kehidupan Bina, si anak miskin yang bapaknya cuma mantan satpam, yang sekarang stroke, siap anak miskin yang bekerja keras menghidupi ayahnya, si anak miskin yang memperjuangkan hidupnya. Mereka pasti ingin memiliki menantu dari keluarga yang setara dah terpandang, mereka pasti takut Alfi dimanfaatkan untuk menghidupi keluarga miskin Bina yang padahal Gabina dan Alfi sama-sama berjuang. “Bina? Kamu minta Alfi pulang? Padahal Bapak mau minta tolong Alfi beliin koyo cabe didepan, kamu jangan marah-marahin Alfi Bin, dia itu anak baik.” Tangisan Gabina pecah melihat wajah bapak, ya bapak begitu dekat dengan Alfi, tidak bisa berkata-kata Gabina langsung masuk kedalam kamarnya. *** Kring.... kring... Suara deringan ponsel membuat Gabina dengan malas meraba ranjang, ia sulit membuka matanya sebab matanya membengkak karena selamanan menangis. "Hallo?" "Hallo Gabina Kimmi mela, bawakan saya pasta gigi dan celana dalam tolong!" "Ha, apa?" Gabina langsung bangkit dari tempat tidurnya mendengar suara menakutkan yang sudah ia hafal itu, rasanya dia baru saja memejam dan sekarang sudah pagi. "Pakaikan bapak celana dalam?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD