5- Hari Pertama MOSBA

769 Words
  Kebiasaan mencerminkan kepribadian     …           "Mbak! Lama banget sih mandinya!"   "Mbak aja kesuen, sing liyane antri iki dawa."   Pagi - pagi sekali, sebelum adzan subuh berkumandang, pondok putri ribut. Mereka memasang berbagai macam raut. Ada yang kesal, ada yang acuh, hingga ada yang rautnya nggak karuan karena menahan sakit perut. Sebagian santriwati membawa gayung mandinya sendiri, atau ember kecil. Sama yang kini kulakukan.     "Nis, ini si mbak-mbak di dalem kamar mandi pingsan apa gimana sih? Lama banget." Aku mengeluh pada Anisa di belakangku.   Hari ini adalah hari pertama acara MOSBA,  yaitu kepanjangan dari Masa Orientasi Santri Baru. Jadi hari ini semua santriwati harus mengikuti kegiatan rutin tiap tahun ini. Acara dimulai tepat sehabis solat subuh berjamaah. Maka otomatis tidak ada waktu bagi kami untuk mandi setelah solat subuh. Berakhirlah kami disini. Di kamar mandi pondok putri, mengantri mandi.     "Duh bentar lagi adzan subuh lagi."   "Eh kalian belom mandi? Udah mau adzan ini." Pintu kamar mandi sebelahku terbuka dan memunculkan Mia dari dalam.   Aku dan Anisa menggeleng.   Mia hanya terkekeh, dan melenggang lalu. Ia juga tidak bisa membantu kami karena pilihan mengantri di pintu ini adalah pilihan kami sendiri. Aku memandang antrian. Sebagian santriwati sudah selesai mandi, dan hanya beberapa yang masih mengantri. Dengan kata lain, kami kebagian jatah terakhir.   Aku membayangkan jika air di dalam kamar mandi itu habis.   "Aishh... yang bener aja!"     Dengan enggak sabaran, aku kembali mengetuk pintu di depanku lagi.   Lalu tiba-tiba pintu di depanku terbuka, dan hal itu membuatku girang. Dengan terburu aku memasuki kamar mandi.   "Duluan, Nis." Aku harus bergegas, kalau nggak, habis nanti!                        ~ ~     Kami baru sampai di kamar ketika alarm tanda MOSBA dimulai berdering kencang sekali.   "Cepat berkumpul di aula!"   Ustazah Kurnia menyembulkan kepala, dan berkata dengan sangar. Ih, kok jadi nyeremin gitu? Padahal mukanya imut. Melihat ustazah itu aku jadi teringat kejadian kemarin di koperasi. Dan begitu mengingatnya, aku jadi nggak bersemangat.   "Ayo Abel, jangan ngelamun!"   Aduh kamu hobi banget ngelamun sih Bel.   Bergegas aku memakai seragam putih-putih. Lalu mengambil Ponsel, juga peralatan yang disiapkan.   "Abel, ambilin kardus yang kemarin."   Adinda menyuruhku. Dan tanpa banyak protes aku menurutinya. Baiklah kubiarkan kali ini aku disuruh-suruh , aku terlalu malas untuk berdebat.   Aku menyerahkan kardus satu persatu pada teman-teman sekamarku. Kami membuat kardus ini kemarin bersama-sama. Kardus besar bekas wadah minuman orange harus kami potong susah payah agar membentuk persegi panjang berukuran 15x10 cm. Lalu dituliskan nama, semester,  komplek, dan alamat. Dan diberi tali rapia untuk memudahkan mengalungkan di depan d**a.   Komplek itu artinya nama kamar. Ada banyak nama kamar yang diambil dari nama-nama tokoh Muslimah pada zaman nabi-nabi. Kamar kami sendiri bernama Siti Hajar.   "Ayo ayo buruan!"   "Siti Hajar bergegas, kamar kalian akan kena hukuman kalau menjadi kamar yang paling lambat datang ke aula!"   Kini Ustazah Aisyah yang giliran memperingatkan.   "Kebiasaan mencerminkan kepribadian. Kalau kalian kebiasaan telat, hati-hati itu bisa berdampak pada kepribadian." Lanjutnya dengan raut sangar.   Kami bersitatap.   Aku nggak habis pikir, mengapa raut para ustadzah jadi sangar semua ya? Biasanya juga ramah-ramah, kalem-kalem gitu. Apa ini sengaja ya karena sedang MOSBA?     Menggeleng, aku bergegas memakai sepatu hitam. Kini penampilanku mirip mbak-mbak yang lagi training kerja itu. Hitam putih hitam. Kerudung segiempat warna hitam, baju putih, rok hitam. Oh iya belum lagi sepatunya juga hitam. Lengkap sudah.   "Abel tungguin!"   Aku acuh saat Dina memanggilku. Salah siapa kelamaan, hihi.     ~ ~     Kegiatan MOSBA hanya diisi dengan berkeliling pondok pesantren putri, dan pondok putra, lalu dilanjut dengan kajian-kajian perihal kepesantrenan. Itu sih yang kudengar dari Ustazah Aisyah saat menjelaskan tadi.     "Ternyata besar ya pondoknya." Aku berbisik pada Mia. Dari kelima teman sekamarku, hanya ia yang sekelompok denganku. Itupun aku sangat girang sewaktu mendengarnya. Karena kami harus diacak lagi sesuai kelompok yang baru. Supaya saling mengenal, kata Ustazah Nilam.     Beruntung aku masih sekelompok dengan yang kukenal seperti Mia. Nggak seperti Dina dan Anisa yang sekelompoknya harus kenalan terlebih dulu. Tapi aku nggak heran kalau akhirnya mereka langsung akrab dengan teman baru mereka, mengingat sikap supel mereka. Aku nggak bisa membayangkan jika aku yang di posisi mereka. Aku bukan tipe orang yang cepat akrab.       Mia mengangguk.   Kami saat ini tengah berkeliling di pondok putra. Jika aku boleh membandingkan, area pondok putra jauh lebih luas dibanding pondok putri. Pondok putra juga dekat dengan masjid, koperasi, dan gerbang masuk pesantren. Benar-benar strategis.   "Abel, itu Ustaz Sam," ujar Mia saat kami sedang mendengar penjelasan Ustazah Nilam.    Kalian tau reaksi yang pertama kali kukeluarkan bukan? Aishh.. Senangnya dalam hati. Dapat kesempatan buat nyawang Ustaz ganteng yang mirip Jungkook itu bagaikan dapat lotre.   Ustaz Sam juga tengah memandu para santri putra berkeliling. Raut wajahnya begitu dingin. Lebih dingin dari biasanya. Hal itu menggangguku.   Apa memang sengaja begitu semua ya rautnya?   Begitu kami berpapasan, semua kelihatan seperti slow motion. Daun-daun berguguran. Dan lagu Fake Love berputar di udara.   Eh, kok Fake Love?   "Abel, hp kamu bunyi!"   ~~          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD