Velina memasuki kantor dengan canggung. Semu teman kantornya menatap Velina penuh selidik. Ia tahu bahwa mereka masih penasaran perihal berita yang elah tersebar. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Oleh karena itu Velina memilih diam saat mereka mempertanyakannya.
Dengan malas ia duduk di tempat kerjanya. Ia mulia mengerjakan tugasnya. Wanita itu tak menghiraukan bisikan-bisikan yang masuk ke dalam rungunya. Ia menatap Devan tajam saat pria itu lewat di depannya. Ia berjalan ke arah Devan kemudian kerah belakangnya saat pria itu berusaha kabur dari hadapannya. Pria itu tersenyum kikuk saat Velina menatapnya tajam. Wanita ini benar-benar menakutkan.
“Hei, pria aneh. Sudah puas menjadi pria penggosip?" tanya Velina kesal.
“Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu. Aku tak melakukan apa pun,” jawab Devan takut.
“Tak melakukan apa pun katamu? Memangnya siapa yang menyebarkan rumor antara aku dan Pak Radika jika bukan kamu? Semuanya berawal dari mulut licinmu itu,” marah Velina.
“”Jangan hanya menyalahkanku. Salahkan mereka juga karena terlalu penasaran, dengan terpaksa aku mengatakanya.”
“Sudahlah, percuma berbicara deganmu. Sudah salah, tapi tidak mengakuinya.”
“Iya, iya, aku meminta maaf. Jangan marah.”
“Bagaimana aku tidak marah jika reputasiku tiba-tiba buruk karena berita yang tidak benar? Aku seakan menjadi karyawan terburuk di perusahaan ini setelah berita tersebar.”
“Velina, Devan, datang ke ruangan saya,” ucap seseorang yang baru saja datang.
Devan meneguk ludahnya kasar saat melihat si pemilik suara. Ia tahu ini merupakan pertanda buruk. Keringat dingin elah keluar dari tubuhnya. Ia mengira bahwa berita ini tak akan tersebar luas karena ia hanya mengatakannya pada circle pertemanannya. Namun ia baru saja ingat bahwa lingkaran pertemanannya di d******i oleh wanita. Sedangkan wanita memiliki mulut yang, ah sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Tak mungkin ia memperbaikinya.
Velina menatap Devan yang terlihat ketakutan. Ia tahu bahwa pria itu merasa bersalah mengenai itu.. Ingin sekali ia menertawakan Devan. Itu pantas di dapatkan olehnya. Semoga saja setelah ini mulut licin Radika bisa berubah. Seseorang yang suka menyebar gosip tak jelas pantas untuk mendapatkan hukuman berat.
Suasana ruangan Radika tampak mencekam. Ruangan itu begitu hening. Hanya terdengar suara dentingan bulpoint yang beradu dengan meja. Radika sedang memainkan bulpointnya kemudian menatap Devan dengan tajam.
“Devan, kamu tahu bukan apa kesalahanmu?” tanya Radika dingin.
Devan hanya diam. Ia takut untuk menjawab pertanyaan itu. Jika bisa, ia ingin melarikan diri saja. Jantungnya berdegup dengan cepat saking takutnya. Ia senang-senang saja jika jantungnya berdebat cepat karena wanita, tapi kali ini dengan Radika.
“Kenapa diam? Saya membutuhkan jawabanmu, Devan!” bentak Radika marah.
“Anu, Pak. Sa- saya meminta maaf atas apa yang saya lakukan. Saya ti- tidak bermaksud untuk menyebarkan berita itu. Itu di luar kendali saya. Saya tidak tahu jika berita itu bisa tersebar luas begitu saja,” jawab Devan takut.
“Kamu sudah bekerja dengan saya selama lima tahun, Devan. Saya tidak menyangka jika kamu bisa melakukan hal itu. Seharusnya kamu mengerti apa itu privasi. Tak sepantasnya kamu menyebarkan informasi yang tidak jelas kebenarannya seperti ini. Kalau sudah seperti ini, siapa yang malu? Saya malu karena di kenal karyawan saya sendiri sebagai pria yang berselingkuh secara tidak langsung.”
“Serius, Pak. Saya tidak mengatakan bahwa Anda berselingkuh. Saya berani bersumpah. Saya tidak mengatakan itu.”
“Aku tidak peduli jika kamu tidak mengatakannya. Yang jelas semuanya dari mulut kamu. Kamu telah menyebarkan berita itu, kemudian berita yang kamu sabarkan di bumbui dengan hal-hal yang tidak benar. Kesalahan kamu kali ini sangat besar, Devan. Di luar pekerjaanmu yang bagus, saya kecewa dengan atitudemu sebagai karyawan. Terpaksa saya harus memberikanmu pelajaran.”
Devan menatap Radika tak percaya. Ia hampir menangis. Hanya karena hal seperti itu, ia harus menerima hukuman dari Radika. Ia merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa mengontrol mulut licinnya. Devan hanya bisa mendengus kasar, ia harus menerima konsekuensinya. Ini merupakan kesalahan yang telah ia perbuat. Dengan terpaksa ia harus menjalani hukuman yang akan di berikan oleh Radika.
“Baik, Pak. Saya akan menerima apa yang akan Bapak berikan kepada saya. Sekali lagi, saya mohon maaf atas kesalahan saya.” Ucap Devan tegas.
“Baiklah. Saya akan memaafkanmu. Setelah ini, kamu harus menghilangkan rumor yang telah tersebar. Dan dengan terpaksa, gaji kamu akan saya potong lima puluh persen untuk bulan ini.”
“Iya, Pak,” jawab Devan nelangsa.
Dalam hati, Devan terus mengutuki Radika. Apa-apaan Radika itu. Bagaimana mungkin dia tega memotong gajinya sebanyak lima puluh persen. Setengah gajinya melayang begitu saja hanya karena bibir tipisnya. Ia menyumpahi sang atasan supaya jatuh miskin saja supaya dia tahu bagaimana rasanya memiliki apartemen yang belum lunas di cicil, utang dimana-mana, dan yang terpenting sulit mencari pasangan. Namun dengan segera Devan mencabut doa buruknya. Jika Radika miskin, maka Devan akan lebih miskin. Secara, ia bekerja di bawah Radika.
Velina menatap Devan dengan tatapan iba. Ia tahu jika pria itu sedang frustasi memikirkan gajinya yang di potong hingga separuh. Namun di satu sisi, wanita itu mengagumi sosok Radika yang tegas terhadap karyawannya. Baginya keputusan Radika sudah tepat. Itu bisa memberikan efek jera terhadap karyawan yang telah melakukan kesalahan.
Velina ikut merasa takut. Melihat hukuman Devan yang bisa di katakan tidak kecil, Velina takut jika ia turut di hukum. Walaupun tidak melakukan apa pun, namanya ikut tersebar luas bersama Radika. Ia belum pernah memakan gaji di perusahaan ini. Tidak mungkin jika Radika tega akan memotong gajinya bulan ini sedangkan ia tak melakukan kesalahan apa pun.
“Velina, saya hanya meminta maaf. Seharusnya kamu tidak terlibat dalam masalah saya. Maafkan ibu saya yang berkata seperti itu. Saya yakin bahwa ibu saya tidak serius mengatakannya,” ucap Radika.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Bapak tidak berbuat kesalahan terhadap saya. Jadi, Anda tidak perlu meminta maaf,” jawab Velina lembut.
“Baik. Terima kasih atas pengertiannya. Kalian boleh keluar, kembalilah bekerja.”
“Siap, Pak,” jawab Velina dan Devan bersamaan.
Devan dan Velina keluar dengan beriringan. Velina melihat Devan yang terus mengerucutkan bibirnya. Ia tahu bahwa Devan sedang menahan kesal terhadap Radika.
Setelah keluar dari ruangan Radika, Velina terbahak-bahak melihat wajah Devan yang terlihat begitu menyedihkan.
Devan menatap Velina tak suka. Apa-apaan tawa itu. Ia tidak suka melihat orang lain tertawa di atas penderitaannya.
“Kenapa tertawa? Ada yang lucu?” tanya Devan kesal.
“Kamu, kamu yang lucu. Aku ingatkan, sebelum berbicara tolong berfikir supaya hal ini tidak akan terjadi lagi. Bagaimana, masih mau menyebarkan berita yang tidak-tidak lagi? Jika iya, jangan harap kamu akan mendapatkan gaji bulan depan,” ucap Velina sembari tertawa.
“Iya, aku tahu. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku tak lagi-lagi membuat Pak Radika marah. Aku tidak mau jika gajiku kembali melayang karena membuat Pak Radika marah.”
“Bagus. Yang terpenting kamu harus bekerja dengan baik, siapa tahu, Pak Radika akan berbaik hati melihat kamu melakukan pekerjaannya dengan bagus.”
“Pak Radika bukan orang yang mudah mengubah keputusannya. Jika beliau sudah berkata seperti itu, ya sudah. Jangan harap beliau akan mengubah keputusan.”
Velina diam. Jadi seperti itu sosok Radika. Pantas saja banyak yang mengaguminya. Beliau merupakan sosok yang teguh pada pendirian. Pantas saja, banyak yang mengatakan bahwa Radika di kenal sebagai pemimpin yang cukup kejam.