Vitamin Cinta

1049 Words
Aruna melambaikan tangannya saat sang ibu mulai meninggalkan pekarangannya. Ia bisa bernafas lega saat sang ibu tak berniat menemui sang mertua. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika kedua wanita baya itu bertemu. Mungkin permasalahannya akan semalam besar. Setelah memastikan ibunya sudah tak terlihat, ia memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya. Cuaca di luar sangat panas membuatnya tak bisa berlama-lama di luar rumah. Kulitnya terasa terbakar saat sinar matahari menusuk kulitnya. Belum sempat memasuki rumah, sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Ia mengernyitkan alisnya heran, tumben sekali sang suami pulang secepat ini. Ia menatap Radika yang keluar dengan wajah bersungut-sungut. Ia tahu bahwa suaminya itu sedang menahan kesal. Tapi karena apa? “Sudah pulang? Cepat sekali,” kata Aruna. “Aku sedang tidak ingin berada di sana. Suasana hatiku tidak memungkinkan jika tetap berada di sana. Lebih baik aku menyelesaikannya di rumah saja.” Jawab Radika masih kesal. “Memangnya kenapa? Apa ada masalah di kantor?” “Iya.” Ucap Radika sembari berjalan ke dalam rumahnya. “Apa masalah itu begitu besar?” “Jika di bilang besar, tidak. Ini hanya masalah pribadi yang di campuri oleh banyak orang. Aku benar-benar merasa tidak nyaman. Setidaknya aku bisa menyelesaikan pekerjaanku di rumah. Tidak apa kan?” tanya Radika. “Tidak apa-apa. Mamangnya aku berhak melarangmu? Kamu yang lebih tahu dengan dirimu sendiri.” Radika mengangguk kemudian mengamati dua cangkir teh yang telah kosong di meja tamunya. Tak lupa satu toples berisi kue kering yang sudah berkurang isinya. Setelah itu, ia merebahkan diri pada karpet di depan televisi. “Apakah ada yang datang?” tanya Radika. “Iya, tadi Ibu datang tiba-tiba. Sayang sekali beliau sudah pulang, padahal beliau juga merindukanmu,” jawab Aruna. “Jika Ibu datang kenapa kamu tidak menghubungiku? Aku akan pulang lebih cepat,” kata Radika. “Ibu melarangku untuk melakukannya. Aku sempat ingin meneleponmu tadi, tapi ibu melarangku untuk meneleponmu. Katanya takut jika kamu masih sibuk.” “Sesibuk apapun aku jika mertuaku sendiri datang, aku tetap akan menyempatkan diri untuk menemuinya. Maafkan aku karena tidak tahu.” “Kamu tidak perlu merasa bersalah. Lagi pula aku yang salah karena tak mengabarimu,” ucap Aruna menyesal. “Tidak apa-apa. Tidak perlu saling merasa bersalah seperti itu. Kapan-kapan kita akan berkunjung ke rumah orang tuamu. Sudah lama kita tidak berkunjung ke sana. Tiba-tiba saja aku merindukan semua yang ada di sana.” “Baiklah. Kamu harus mengatur jadwalmu. Aku akan mempersiapkannya.” “Oke. Tunggu saja waktunya. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sulit mengatur waktu. Banyak sekali perkara yang harus aku kerjakan.” “Tidak apa. Mereka pasti mengerti kita, kok.” Jawab Aruna sembari mendudukkan dirinya di samping sang suami. Radika dengan cepat meletakkan kepalanya di pangkuan Aruna. Hal itu membuat Aruna terkekeh, ia mengelus rambut lepek sang suami lembut. Suaminya ini kenapa jadwal manja sekali? “Kamu masih bau, mandi dulu sana,” kata Aruna. “Tidak mau. Kamu juga belum mandi. Kenapa menyuruhku?” jawab Radika sembari menikmati elusan tangan Aruna. Aruna hanya terkekeh pelan. Benar juga apa yang di katakan oleh suaminya. Ia juga belum membersihkan dirinya sendiri. Tapi dengan sok, ia berani menyuruh sang suami untuk mandi. “Mas, melihatmu aku jadi ingin kembali bekerja di kantor,” ucap Aruna tiba-tiba. “Tidak. Aku melarangmu untuk kembali bekerja di sana. Aku tidak mau jika istri cantikku ini kelelahan.” Jawab Radika cepat. “Kenapa begitu? Sebelum menikah denganmu aku tidak merasa kelelahan saat bekerja. Kenapa kamu melarangku seperti itu? Aku yakin bisa mengatur diriku sendiri dan mengerti kemampuan tubuhku sendiri.” “Iya, aku tahu. Aku percaya jika kamu bisa mengatur semuanya. Apakah yang aku berikan masih kurang sehingga kamu memutuskan untuk kembali bekerja tiba-tiba? Jika iya, cukup katakan saja. Aku bisa memberikannya sekarang juga.” “Tidak, aku bukan bermaksud seperti itu. Hanya saja aku merindukan aku yang dulu. Aku tak pernah merasa kekurangan akan pemberianmu. Justru, aku merasa lebih. Jika kamu mengatakan tidak, aku tidak bisa memaksanya kok. Lagi pula itu hanya fikiran sekilasku saja. Jangan di anggap serius.” “Siapa tahu itu serius. Aku saja sampai terkejut saat mendengarnya.” Aruna hanya tertawa mendengar perkataan Radika. Ia tidak tahu kenapa sang suami jadi seprotective ini. Padahal apa yang ia bicarakan merupakan hal lumrah. Tapi tanggapan Radika sungguh di luar dugaan. “Daripada membahas pekerjaan, bagaimana jika membuat dedek bayi saja? Bukankah itu ide bagus?” usul Radika sembari mengedipkan satu matanya. “Ck. Siang ini begitu panas. Tidak mungkin jika kita melakukannya di tengah cuaca seperti ini. Yang ada tubuhku akan terasa terbakar, saking panasnya,” elak Aruna. “Sayang sekali jika kamu tidak mau melakukannya. Padahal milikku sedang ingin memasuki rumah ternyamannya.” “Bohong. Tidak mungkin jika seseorang yang baru saja pulang bekerja dengan tubuh lelah bisa berfikiran seperti itu. Aku ragu jika di depanku ini memang suamiku. Sebelumnya suamiku ini selalu ingat waktu jika meminta jatah,” kata Aruna sembari terkekeh. “Kamu meragukanku? Memangnya kamu tidak bisa merasakan detak jantungmu sendiri?” “Tidak. Aku hanya bercanda. Salah sendiri suka meminta yang aneh-aneh.” Radika merolingkan bola matanya malas. Padahal keinginannya bukanlah hal aneh bagi sepasang suami istri. Istrinya saja yang tidak mau memenuhi keinginannya. Padahal minggu ini ia belum mendapatkan jatah sama sekali karena Aruna sakit. Radika menghembuskan nafasnya kasar. Tidak apa-apa jika miliknya kekurangan asupan vitamin cinta. Ia bisa menyalahkan Aruna karena tidak bisa memenuhi keinginannya. Ia hanya perlu sedikit bersabar untuk mendapatkannya. Radika mengibas-ngibaskan tangannya saat suhu semakin terasa panas. Ia bisa merasakan keringat yang mengalir di pelipisnya. Pantas saja Aruna menolak. Ia baru menyadarinya. Radika segera bangkit dari pangkuan Aruna karena tak tahan dengan rasa gerah yang menyelimutinya. Melihat itu, Aruna hanya terkekeh pelan. Tidak melakukan apa pun saja sudah berkeringat seperti itu. Bagaimana jika melakukan lebih? Segala sok mengajaknya untuk membuat bayi. “Gerah sekali, aku ingin mandi saja,” ucap Radika masih mengebiskan tangannya. “Jika masih gerah, jangan mandi. Nanti masuk angin,” peringat Aruna. Radika hanya menuruti perkataan Aruna. Ia masih sibuk mengibaskan tangannya guna mengurangi rasa gerah. Karena tak tega melihat suaminya yang kepanasan, Aruna menjadi tak tega. Dengan segera ia menyalakan AC ruangannya. Melihat AC yang menyala membuat Radika mendelik tak suka. Jadi, Aruna sengaja mematikan ACnya saat ia mengajak melakukan itu. Sedangkan sang pelaku hanya menampilkan deretan giginya yang tersusun rapi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD