Aruna mengernyitkan alisnya saat menerima pesan dari teman SMAnya. Tak biasanya sang teman lama mengirimkan pesan kepadanya. Ia mendengus pelan saat membaca isi pesan tersebut. Acara reuni sekolah. Ia benar-benar tidak menyukainya. Acara reuni sekolah biasanya berakhir menjadi acara ghibah bersama. Mereka saling mengunggulkan pencapaiannya masing-masing atau membicarakan orang yang tak sesukses mereka.
Aruna mengerucutkan bibirnya kesal. Ia bingung, apakah ia harus hadir? Ia malas sekali untuk menghadirinya. Seandainya tidak hadir, ia akan di anggap sebagai seseorang yang melupakan temannya. Jika hadir hanya menambah dosa saja. Aruna jadi bingung sendiri dengan pilihannya.
Aruna mendudukkan dirinya pada sofa miliknya. Ia menatap jam dinding rumahnya. Sudah pukul tujuh malam. Sebentar lagi, sang suami akan pulang. Ia tak sabar untuk menyambut kepulangannya.
Baru saja ingin bangkit, suaminya telah datang dengan senyum lebar. Walaupun tak dapat di pungkiri, bahwa senyum lebar itu tak dapat menutupi rasa lelahnya. Ia yakin bahwa sang suami berusaha menunjukkan raut bahagia saat bersamanya.
"Sudah pulang? Ingin mandi dengan air hangat? Aku akan menyiapkannya," ucap Aruna lembut.
"Tentu. Sepertinya mandi dengan air hangat merupakan pilihan yang bagus. Hal itu membuat tubuhku sedikit rileks," jawab Radika senang.
"Baiklah. Aku akan menyiapkannya."
Aruna melepaskan dasi dan jas yang di kenakan oleh Radika kemudian mengambil tas jinjing dari tangan sang suami. Wanita itu menumpuk pakaian kotor itu ke keranjang khusus di samping mesin cuci. Ia menghela nafas pelan, cucian besok begitu banyak. Tidak tahu kenapa, sang suami suka sekali berganti pakaian walaupun tidak melakukan aktivitas apapun. Bahkan sang suami selalu membawa pakaian ganti saat pergi bekerja. Radika beralasan bahwa tubuhnya gatal jika memakai pakaian yang sudah terkena keringat.
Setelah itu, Aruna segera menyiapkan air hangat untuk sang suami. Tak lupa ia memberikan pengharum dengan wangi citrus supaya sang suami merasa lebih nyaman dan rileks. Ia menuliskan sesuatu pada kaca kamar mandinya. Setelah menuliskan itu, ia terkekeh pelan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi sang suami saat melihat hasil kejutannya.
Aruna melangkah kakinya cepat menuju sang suami. Ia tersenyum lembut saat melihat Radika sudah memejamkan matanya pada sofa ruang tengah miliknya. Dengan langkah pelan, ia terkikik geli. Sebuah lampu imajiner muncul begitu saja dalam kepalanya. Tak apa mengerjai suaminya sesekali.
"Mas Radika! Tolong!" teriak Aruna keras.
Radika bangun dengan cepat. Ia melompat dari posisi tidurnya. Ia mengedarkan pandangannya yang masih buram ke sekelilingnya. Kepalanya pusing bukan main karena terbangun terlalu cepat. Ia menatap kesal Aruna yang masih tertawa dengan terbahak-bahak.
Radika merangkul tubuh Aruna kemudian menempatkan kepala sang istri di apit oleh ketiaknya. Hal itu membuat Aruna menjerit keras. Bau ketiak sang suami benar-benar membuat hidungnya tercemar saat itu juga. Beraktivitas seharian penuh membuat tubuh sang suami mengeluarkan bau tidak sedap.
"Lepaskan, Mas. Mas bau sekali. Aku tidak kuat," rengek Aruna memelas.
"Aku tidak perduli. Memangnya siapa yang berniat mengerjaiku terlebih dahulu? Kamu kira aku tidak kaget saat di bangunkan seperti itu? Aku tidak menyangka jika istriku menjadi nakal seperti ini."
"Aku tidak berniat mengagetkanmu. Aku sudah berusaha membangunkanmu dengan lembut. Tapi kamu terlalu nyaman dengan tidurmu. Jadi jangan salahkan aku jika aku membangunkanmu dengan cara seperti itu."
"Pembohong. Aku tahu kamu berbohong. Aku bukan orang yang seperti itu. Di panggil nama saja sudah membuatku terbangun. Untung saja aku tidak terkena serangan jantung. Jika iya, kamu akan menjadi janda saat ini juga."
Aruna memukul bahu Radika tidak suka. Apa-apaan ucapan itu?
"Kamu tidak boleh berkata seperti itu! Aku tidak ingin menjadi janda muda! Tapi tak apa, aku bisa cepat mencari pengganti," canda Aruna.
"Tidak mungkin. Kamu terlalu mencintaiku. Aku yakin kamu tidak akan mendapatkan pengganti sekalipun aku sudah mati."
"Iya. Iya. Dasar percaya diri. Sudah sana, aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Aku sudah menyiapkan sesuatu. Cepatlah, aku tidak ingin jika kejutanku hilang karakter kamu terlambat."
"Memangnya apa? Aku tidak melihatmu membelikan aku sesuatu. Bahkan rekeningku masih utuh, tidak terlihat pengeluaran sama sekali."
"Jangan banyak bertanya, cukup masuk dan lihat kejutannya."
Aruna menyeret sang suami ke kamar mandi. Ia tidak mau jika sang suami lebih banyak bertanya. Jika seperti itu bisa saja kejutan yang telah ia siapkan akan hilang.
Radika menghembuskan nafas lelah. Terkadang, Aruna membuat tubuhnya yang lelah menjadi semakin lelah karena tingkah aneh sang istri. Ia heran, terkadang Aruna menjadi begitu dewasa dan perhatian. Terkadang ia bersikap kekanak-kanakan, seperti sekarang. Yang bisa di lakukan Radika hanyalah pasrah mengikuti perkataan sang istri. Memiliki satu istri saja sudah membuat kepalanya pening. Apalagi memiliki istri lebih?
Aruna mendorong tubuh sang suami ke dalam kamar mandi. Hal itu membuat Radika kembali mengelus dadanya pelan berusaha menahan kesabarannya yang mulai terkuras. Ia tidak mau emosinya kembali meledak berakhir Aruna menangis karenanya.
Radika melangkahkan kakinya malas ke arah bathup kamar mandinya. Ia memasuki bathup yang sudah terisi penuh oleh air hangat itu. Ia menolehkan kepalanya ke arah samping. Ia tersenyum lembut saat mendapati tulisan yang terlihat mulai menghilang.
"I LOVE YOU MAS RADIKA"
Radika terkekeh kemudian mencoretkan tulisan dengan jari telunjuknya.
"I love you too, my little wife."
Radika menghembuskan nafasnya pelan kemudian memejamkan matanya pelan. Ia memilih merilekskan tubuhnya dengan air hangat yang telah tersedia. Dengan seperti ini ia bisa menghilangkan rasa penatnya. Radika bisa menyusun berbagai rencana yang akan di lakukan esok hari.
Radika kembali bersyukur, ia bisa memiliki istri sebaik dan secantik Aruna. Aruna meruapakan gambaran sosok yang sempurna baginya. Ia heran kenapa sosok sempurna seperti Aruna bisa di benci oleh seseorang. Dan seseorang itu adalah ibunya sendiri. Ia tidak tahu kenapa ibunya menunjukkan kebencian sedemikian rupa kepada Aruna. Padahal setahunya, Aruna tidak pernah melakukan kesalahan apapun kepada sang ibu.
Radika mengembuskan nafasnya kasar. Ia tahu alasan di balik sikap sang ibu yang berubah total. Ia yakin karena masalah keturunan. Padahal, Radika bersikap biasa-biasa saja saat belum mendapatkan keturunan. Walaupun hatinya sudah begitu mengingingkannya. Siapa yang tidak ingin memiliki buah hati yang lucu? Radika juga. Namun, Radika selalu ingat, jika ia menikahi Aruna bukan karena ingin memiliki keturunan. Melainkan membahagiakan dan memiliki wanita itu seutuhnya. Bukan hal lain. Ia hanya perlu terus berjuang bersama Aruna supaya bisa mendapatkan sosok malaikat kecil yang mereka impikan. Ia yakin suatu saat mereka akan memilikinya. Ia dan Aruna hanya butuh berjuang sedikit lagi.