Semoga Yara Mau

1085 Words
“Kalian kan, lagi program. Udah periksa juga dan mungkin cepat atau lambat elo bakalan hamil. Udah pernah operasi rahim juga, kan. Tristan sih yang salah. Bisa-bisanya dia selingkuh sama cewek … siapa sih namanya?” “Lily,” jawab Vita sembari memutar-mutar gelas berisi wine miliknya. “Lily? Kayak nggak asing, namanya.” “Itu lho, nyokapnya yang punya toko kue terkenal sejagat Jakarta.” “Aah, itu! Pantesan kayak nggak asing.” Dhita kemudian menatap Yara lagi. “Gue mau lo move on, Ra. Jangan kayak gini terus. Elo mabuk-mabukan kayak gini mempengaruhi kehamilan juga, Ra.” Yara lantas tersenyum miring. “Dhit. Gue sama Tristan udah end. Udah lebih dari lima tahun gue nggak pernah nyentuh ini alkohol. Sekarang, gue mau puas-puasin minum. Karena nggak ada lagi yang mesti gue jaga.” Dhita menghela napasnya dengan panjang. Ponsel Yara kembali berdering, panggilan dari Tristan kembali muncul. Perempuan itu kembali menolak panggilan tersebut. “Si Lily udah gantiin posisi gue di rumah itu. Tristan pandai banget bermain dan gue ….” Yara menghela napas kasar. “Gue nggak bisa bayangin si Lily pasti jingkrak-jingkrak waktu lihat punya Tristan yang memiliki ukuran dan bobot yang gede.” “Gila ini anak. Ngomongnya ke mana-mana.” Dhita geleng-geleng kepala. “Kan, dari awal juga Yara nggak suka kalau Tristan deket sama cewek lain. Dan sekarang, Tristan malah punya istri lagi. Yara paling nggak mau berbagi ranjang dengan siapa pun,” tutur Vita begitu hafal dengan sifat Yara. “Dahlah. Gue mau balik. Thanks, udah mau dengerin keluh kesah gue. Setelah cerai dari Tristan, gue mau tinggal di Australia aja. Jangan lupa mampir ke sana kalau nanti gue udah tinggal di sana.” “Emangnya elo bisa nyetir sendiri? Kita anter yuk!” “Nggak usah. Gue udah sadar lagi.” Yara kemudian menerbitkan senyumnya kepada kedua sahabatnya itu. “Yara ….” “Gue akan kabari kalian kalau udah nyampe rumah. Bye!” Yara melambaikan tangannya. Ia benar-benar menolak tawaran kedua sahabatnya itu. Dengan langkah yang cukup gontai, Yara melangkah menuju parkiran. “YARA!!” Yara menoleh. “Haiiss! Kenapa dia tahu kalau aku ada di sini,” gerutunya kemudian segera masuk ke dalam mobil. Melajukan mobil itu dengan kecepatan penuh, menghindari Tristan yang tengah mengejarnya. Ia lalu menatap di kaca spion sang suami yang tengah berlari mengejarnya. Yara menghela napasnya dengan kasar. “Aku sudah tidak mau lagi bertemu denganmu, Mas. Untuk apa mengerjarku kalau akhirnya kamu akan melepasku,” ucapnya kemudian menambah lagi kecepatan. Kepala yang pengar tidak ia pedulikan. Asalkan segera sampai ke apartemen di mana ia tinggal kini. Apartemen yang baru saja ia beli setelah pergi dari rumah. Yara tak bisa mengendalikan mobilnya. Klakson dari arah lain berbunyi memperingati Yara agar membawa mobil dengan hati-hati. Dalam keadaannya yang masih sedikit mabuk, bukan rem yang ia injak. Melainkan gas dan akhirnya menambrak sebuah pohon besar sebab menghindari kecelakaan beruntun yang akan dia akibatkan bila tetap lurus. Darah bercucur deras di kepala Yara. Genggaman tangan di setir mobil pun perlahan lepas hingga akhirnya tak sadarkan diri. “Astaga, Tuhan!” Tangan Reiner bergetar usai mobilnya menabrak mobil yang melaju begitu kencang di depannya. Yara dibawa ke rumah sakit setelah warga setempat serta pengendara lainnya menolongnya. Menghubungi ambulance agar segera membawa Yara ke rumah sakit. “Pokoknya dijaga kesehatannya. Jangan lupa dua minggu lagi harus check up,” ucap Dokter Juan kepada pasiennya. “Terima kasih, Dok. Kalau begitu, saya permisi.” Lelaki itu pergi setelah menyelesaikan pemeriksaannya. Dokter Juan—yang baru saja hendak masuk ke dalam ruangannya, dikagetkan oleh Reiner yang membawa seorang pasien ke dalam ruang IGD. Lelaki yang tak lain adalah ayah Reiner mengerutkan keningnya lalu menghampiri. Betapa terkejutnya ia kala melihat wajah wanita itu yang bercucuran darah. “Reiner. Apa yang terjadi?” tanyanya kepada sang anak yang membawa Yara. “Aku tidak sengaja menabrak mobilnya, Pa. Tapi, aku mengenalnya. Dia teman lamaku. Sepertinya dia sedang dalam keadaan mabuk.” “Segera cek kondisinya. Jangan sampai terjadi sesuatu padanya, Reiner,” ucapnya kepada Reiner yang hendak memeriksa keadaan Yara yang sudah tak sadarkan diri itu. ‘Mabuk? Yara sudah tidak pernah mabuk lagi setelah menikah dengan Tristan. Ada denganmu, Ra?’ ucapnya dalam hati. “Sus. Siapkan dua kantong darah O. Pasien mengalami pendarahan yang cukup fatal,” titah Reiner kemudian mengelap darah yang ada di wajah Yara. ‘Ada apa denganmu, Yara?’ tanyanya dalam hati. ‘Sudah lama sekali kita tidak pernah bertemu, dan tiba-tiba saja kamu mengalami kecelakaan seperti ini.’ Reiner menghela napasnya dengan pelan. “Ada barang-barang pasien di dalam mobilnya?” tanya Reiner kepada perawat yang membawa mereka. “Ada, Dok. Kami sudah menghubungi suaminya, sebentar lagi beliau akan sampai.” Reiner menganggukkan kepalanya kemudian kembali memeriksa kondisi Yara. “Pasien mengalami kritis.” Ia kemudian mengambil tabung oksigen juga alat bantu pernapasan ia pakaikan di mulut dan hidung perempuan itu. Reiner menoleh ke luar. Tristan sudah tiba di sana. Ia kemudian keluar, menghampiri Tristan yang tengah terengah-engah sebab berlari sekencang mungkin. “Apa kabar?” Reiner menjabat tangan Tristan sembari mengulas senyumnya. “Re—Reiner?” Tristan masih hafal dengan teman sekolahnya itu. “Ya. Aku, yang menangani kondisi Yara. Dia masih kritis, kekurangan darah karena pendarahan di kepalanya cukup parah. Semoga tidak terjadi apa-apa. Kami masih menunggu hasil scan-nya.” Tristan kemudian mengusap wajahnya dengan pelan. “Yara,” ucapnya lirih. Reiner kemudian menepuk bahu lelaki itu. “Kenapa Yara mabuk-mabukan? Bukankah dia sudah tidak pernah mabuk lagi setelah menikah denganmu?” tanyanya ingin tahu. Tristan menelan saliva dengan pelan. “Entahlah. Aku pun bingung harus menjelaskan dari mana. Dia … dia ingin berpisah denganku.” Reiner mengerutkan keningnya mendengarnya. “Kenapa begitu? Bukankah kalian saling mencintai? Bahkan papamu tidak merestui kalian menikah pun masa bodoh. Kenapa sekarang malah ingin berpisah?" Tristan menelan saliva pelan. “Kami … delapan tahun menikah dan belum juga diberi keturunan.” Reiner terkejut mendengarnya. Lama tak mendengar kabar Yara, ia baru tahu bila perempuan itu rupanya belum memberi keturunan untuk Tristan. “Oh. Kalau itu masih bisa diperbaiki harusnya. Di sini ada program bayi tabung kalau kalian mau. Aku akan mengenalkan kalian pada Dokter Stefani bila nanti Yara sudah siuman. Mungkin dua sampai tiga hari Yara akan siuman.” Reiner menepuk-nepuk bahu Tristan sembari mengulas senyumnya. “Jangan sedih. Jaman sudah berubah. Banyak hal yang bisa kita manfaatkan untuk memiliki keturunan.” Tristan tersenyum lirih kemudian mengangguk. “Semoga Yara mau, mengambil tindakan itu. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Kamu pun tahu kalau aku sangat mencintainya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD