Harus Move on

1033 Words
Yara tersenyum miring lalu mengendikan bahunya. “Dia sudah tahu kalau aku menjaga kehamilan dan membiarkan itu asalkan tetap bersamanya. Tapi, sudah hampa, Reiner.” “Ya. Aku paham dengan perasaanmu, Yara. Ada orang ketiga dalam hubungan itu memang tidak menyenangkan.” “Begitulah. Aku akan pergi setelah Lily hamil, Reiner. Aku tidak ingin membuat anak itu kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Rasanya jahat kalau aku merawatnya, sementara dia masih memiliki ibu.” Reiner menepuk-nepuk lengan Yara. “Yang sabar, yaa. Kamu perempuan hebat. Harusnya kamu bisa melewati itu semua.” Yara mengangguk. “Iya. Terima kasih, atas moodboster-nya. Kamu ini cocoknya jadi psikiater daripada dokter bedah.” Reiner terkekeh pelan. “Nggak gitu konsepnya, Yara.” Perempuan lantas menerbitkan senyum kepada lelaki itu. “Reiner. Dulu, kamu itu orang paling kalem yang aku kenal. Sampai sekarang pun masih juga kalem.” “Sudah dari sananya mungkin. Tapi, anakku aktif. Dia cepat sekali dekat dengan orang yang baru dia kenal. Kamu belum pernah ketemu dia, kan?” Yara menggeleng dengan pelan. “Boleh, ketemu sama Shabila? Kayaknya anaknya manis-manis gimana gitu. Aku kenal baik sama JIhan. Tahu banget dia cantiknya kayak gimana. Shabila juga pasti cantik banget.” Reiner menerbitkan senyumnya. Ia kemudian mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto sang anak kepada Yara. “Tuh, kan! Apa aku bilang. Astaga, imut banget. Jadi pengen culik.” Reiner terkekeh pelan mendengarnya. “Boleh diculik. Asalkan dikembalikan lagi.” Yara mengusapi wajah anak berusia tujuh tahun itu kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Andai dia tumbuh dengan baik di rahimku, mungkin usianya tidak jauh dari Shabila. Bisa jadi mereka pasti sudah berteman baik dengan Shabila.” Reiner kembali mengusapi lengan perempuan itu. “Suatu saat nanti, setelah luka itu sembuh, dia akan tumbuh lagi.” Yara menyunggingkan senyum tipis. “Siapa yang tengoknya? Aku udah nggak berniat melayani Tristan lagi.” Yara mengusap wajahnya lalu mengembungkan pipinya. “Kenapa? Nggak bisa membayangkan Tristan sama Lily lagi main?” Yara lalu melirik Reiner dan menyunggingkan bibirnya. Reiner tertawa pelan melihat ekspresi wajah Yara. “Sudahlah, tidak perlu dibayangkan. Akan membuat kamu jadi serba salah. Bukankah lebih cepat lebih baik?” “Iya. Aku tidak akan membayangkan hal bodoh itu. Semua perempuan pasti merasakan itu dengan pasangannya.” Reiner menganggukkan kepalanya. “Iya, Yara. Besok pagi kamu sudah boleh pulang. Kondisi kamu sudah semakin membaik.” Yara mengangguk. “Iya, Dok.” Reiner geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis. “Meski aku dokter, kalau kamu manggil aku kayak gitu, agak gimana gituu.” Yara terkekeh pelan. “Terus, maunya dipanggil apa? Mas Reiner?” “Itu apalagi.” Yara kemudian mengerucutkan bibirnya. “Aku mau tidur dulu. Udah malam.” Reiner menganggukkan kepalanya. “Nice dream, Yara. Jangan mimpiin Lily sama Tristan lagi main, yaa.” “Sialan!” Yara lantas memukul lengan Reiner. Lelaki itu kemudian terkekeh lalu menarik selimut Yara hingga ke d**a. “Good night!” ucapnya lalu keluar dari kamar rawat Yara. Bersamaan dengan Reiner keluar dari kamar rawat Yara, Vita datang dan langsung menerbitkan senyum yang lebar kepada lelaki itu. “Kenapa kamu?” tanya Reiner tampak aneh melihat Vita. “Dih! Kamu sendiri ngapain cengar-cengir gitu abis keluar dari kamarnya Yara? Lagi nunggu jandanya Yara, yaa?” bisik Vita sembari menunjuk wajah Reiner. Pipi Reiner lantas memerah mendengarnya. Ia kemudian tertawa canggung sembari mengibaskan tangannya. “Kamu ini, dari dulu sampai sekarang masih saja bicara yang di luar nalar.” Reiner mengelak atas tebakan Vita. Perempuan itu kemudian mengerucutkan bibirnya. “Ya udah, kalau emang nggak mau ngaku.” “Kamu mau ke mana? Yara sudah tidur. Besok lagi saja kalau mau jenguk. Besok dia sudah diperbolehkan pulang.” Reiner kemudian menarik tangan Vita dan membawanya ke kantin. Duduk saling berhadapan dan menatapnya lekat. “Vita. Kamu tahu, kalau Yara sempat keguguran?” tanyanya kemudian. Vita terdiam sejenak kemudian menghela napas kasar. “Tahu. Orang tua Yara juga tahu. Hanya Tristan yang nggak tahu karena saat itu memang usia kandungannya baru tiga minggu.” “Seharusnya Tristan diberi tahu.” “Harusnya. Tapi, Yara juga harus ngasih tahu kalau dia dijaga. Lima tahun lamanya, Reiner. Udah lima tahun Yara dijaga karena kondisi rahimnya nggak baik kalau hamil lagi. Yara sempat kok, minta cerai sama Tristan. “Tapi dianya yang nggak mau dan akan menerima Yara apa adanya. Eeh! Ternyata semuanya bulshit. Dia nikah lagi bahkan tanpa sepengetahuan Yara. Kan kampret. Yara sempat mikir, katanya itu karma buat dia karena udah merahasiakan penyakit dia.” Reiner menghela napas dengan pelan. “Sebenarnya Yara masih mencintai suaminya, kan?” Vita mengendikan bahunya. “Entah. Hanya Yara yang tahu kalau soal itu.” Reiner tersenyum tipis kemudian pamit pergi. Pun dengan Vita yang akhirnya mengurungkan diri untuk menjenguk Yara sebab perempua itu rupanya sudah tidur. ** Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Dan lelaki itu sudah berada di kamar rawat Yara sembari membawakan obat untuk diminum Yara setelah dirawat. “Thank you, Reiner.” Yara kemudian mengulas senyum kepada lelaki itu. “Sama-sama. Pulang sama siapa? Tristan?” Yara menggelengkan kepalanya. “Aku nggak bilang kalau udah mau pulang.” Reiner kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Mau, aku antar?” Yara lantas menoleh dengan cepat kepada Reiner. “Ng—nggak usah, Reiner. Nggak usah repot-repot. Kamu kan, harus kerja. Pasien kamu bukan hanya aku doang, kan? Masih banyak yang lain. Nanti ada Dhita yang antar aku pulang.” Yara tidak enak hati bila menerima tawaran dari Reiner. Meski lelaki itu teman lamanya, tetap saja membuatnya canggung. “Ya sudah kalau tidak mau diantar. Kamu, sudah save nomor aku, kan?” “Sudah, sudah kok. Nanti aku kabarin kalau mau check up,” ucapnya kemudian menerbitkan senyum kepada lelaki itu. Di apartemen …. Yara, Dhita dan juga Vina tengah duduk di sofa ruang tengah. Yara tampak menatap kosong ke depan lalu menghela napas pelan. Yara kemudian menghubungi Alex. “Halo, Pak. Sepertinya surat cerainya dibatalkan saja. Saya masih mau membujuk Tristan dulu agar mau berpisah secara baik-baik. Terima kasih atas kerja samanya, Pak.” Yara kemudian menghela napas kasar setelah menutup panggilan tersebut. “Gue harus gimana?” ucapnya dengan pelan. “Lo harus move on,” jawab Vita sembari memakan snack miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD