Jangan Perduli Perasaanku

1213 Words
Afwan terpaku di lobi klinik.Angin malam yang menderu tak bisa mengalahkan hati Afwan yang menggebu karena cemburu. Cemburu? Hallo Bro, dua tahun kau membiarkan perempuan itu memeluk sunyi, melukis malamnya sendiri dalam sepi, menggapai cintamu yang entah di mana. Sekarang kau bilang cemburu? Dimana kewarasanmu?atau...dimana perasaanmu? Hati kecil Afwan mencemooh. Ya aku memang seperti orang tak waras, aku memuja perempuan yang bertahun kehadirannya tak berharga. Aku merindukan Aini di saat jiwanya telah hancur dan membeku. Afwan menyeka sudut matanya. Dia jarang menangis dalam hidupnya, dia laki-laki tangguh dan tegar tapi melihat sorot bening dan ketulusan dalam mata Aini dia terluka. Aini tak murka dengan penghianatannya, tak ada kata makian dan umpatan. Dia tahu diri, pelan menepi dan merelakan sepotong hatinya terluka sendiri. Sialnya, semua itu lebih menyakitkan bagi seorang Afwan. Tak ada yang mencercanya saat dia menikahi Mirna diam-diam juga tak ada yang meneriakinya pengkhianat, dengan ikhlas Aini menyerahkan sebagian besar waktunya untuk Mirna dan memilih merenda jiwanya yang luka dengan merawat Papanya. Dan, semua itu...adalah pukulan paling menyakitkan bagi seorang Afwan. Menyadari perempuan yang dicampakkan dan disia-diakan selama ini adalah mutiara dengan segala keluasan jiwa dan ketulusan, adalah hal yang paling menyiksa bagi seorang laki-laki. ??? Hari sudah beranjak sore saat Afwan melajukan mobilnya menyusuri jalanan lembang yang berkelok dan sedikit menanjak. Rasa lelah dan ngantuk karena semalam kurang tidur karena mengubek kota Bandung mencari Aini, tak menghalangi Afwan untuk menemui perempuan itu. Tak dihiraukannya puluhan chat Mirna yang merengek minta ditemani makan. Entah mengapa dirinya merasa lebih senang pulang ke rumahnya di daerah Bandung timur atau malah pergi ke Lembang menemui Aini. Bukan karena Afwan pria yang tak bertanggung jawab, tapi sikap Mirna yang manjanya kebangetan semakin lama makin membosankan. Afwan mengerti saat hamil, mungkin kondisi seorang wanita akan lemah dan perlu dukungan dari pasangan, tapi bukan berarti untuk makan dan minumpun harus tergantung pada pasangan hanya karena alasan mual. Ada kalanya cinta tumbuh dan layu karena prilaku seseorang. Adakalanya cinta datang dan pergi bukan karena paras belaka, melainkan perasaan nyaman yang kadang pergi dan kembali. Ini yang dirasakan Afwan. Cinta yang awalnya menggebu dan membuncah akhirnya perlahan harus meranggas karena Mirna cenderung tak tahu diri. Kecantikan dan keelokan tubuh saja ternyata tak cukup untuk menaklukan hati seorang laki-laki. Pun indahnya masa lalu dan manisnya cinta pertama tak akan mampu meredakan badai kebosanan jika seseorang tak mampu memupuknya dengan pengabdian dan ketulusan. Bayangan Aini yang lembut dan penuh pengabdian lagi-lagi memaksa Afwan untuk kembali ke haribaan perempuan itu meski dirinya tahu, hati Aini telah membeku. Senja merah menyiram tubuh kukuh Afwan yang turun dari mobil sesat setelah memarkirkannya di halaman rumah. Sekilas wajah tampannya terlihat sedikit letih. Di sambut Bi darsih yang tengah menyiram bunga, Afwan melangkah memasuki rumah mertuanya. Rumah terasa sepi, tak ada Aini yang menyambutnya di depan pintu. Sepertinya Aini tak mendengar deru mobilnya atau Aini pura-pura tuli? Hello,setelah apa yang dia dengar tentang perasaanmu dan penghianatanmu bersama Mirna, masihkah kamu berpikir dia akan menyambutmu dan menggelendot manja di lenganmu seperti biasa? Atau menghujanimu dengan kalimat manis dan penuh cinta? Dia mungkin masih istrimu, tapi hatinya sudah tak lagi milikmu. Afwan tersenyum pahit. Langkahnya pelan menuju kamar Papa. Afwan tak segera mengetuk pintu, telinganya dengan jelas mendengar suara dokter Fadhil di dalam kamar Papa ditimpali Aini. Sepertinya Fadhil tengah menerangkan kondisi Papa, terdengar suara Aini yang menjawab dengan intonasi yang sangat sedih. "Bersabarlah, Mbak Aini. Melihat kondisi terakhir, Papa Mbak harus segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang lebih intensif." "Saya tahu, Mas. Tapi Papa sudah menolak dirawat di rumah sakit. Papa ingin di rumah saja." Sepi. Sepertinya doktet Fadhil tengah menyimak ucapan Aini dengan serius. "Kata Papa, ingin menghabiskan waktu di rumah saja.Apapun yang terjadi," lanjut Aini lirih dan bingung. "Mbak tidak bisa membujuknya?" Sepi lagi. Sepertinya Aini menggeleng.karena terdengar helaan nafas dokter Fadhil yang berat. Afwan menduga sepertinya Aini dan Fadhil telah berusaha membujuk Papa untuk pergi ke rumah sakit tapi gagal. Perlahan tangan Afwan mengetuk pintu. "Masuklah," jawab Aini. "Mas?" "Iya Aini, bagaimana Papa?" Afwan mendekat. Aini tak menjawab dia hanya melirik sedih ke arah Papanya yang tampak kian lemah. Slang infus tampak terpasang ditangannya yang renta. "Mas Afwan, Mbak Aini, saya permisi dulu. Saya ada janji dengan pasien di tempat praktek . Papa Mbak Aini Sudah saya beri obat, insyaa Allah nanti jam sepuluh malam saya kemari lagi." dokter Fadhil undur diri. "Mas, makasih ya." Spontan Aini menatap wajah dokter Fadhil. "Iya Mbak. Jangan menangis, berdoalah untuk keajaiban Papa." Suara dokter Fadhil lembut, matanya menatap wajah Aini dengan tatapan yang membuat Afwan...cemburu. Hey, ada apa dengan dokter muda itu? dari semalam sikapnya bikin Afwan cemburu. Aini tersenyum. "Makasih, Mas. Hati-hati." What? Kalimat Aini terdengar hangat. Afwan menatap tak suka, apalagi Aini malah mengantar Fadhil sampai ke luar kamar. "kenapa,Mas?"tanya Aini sesampainya kembali di dalam kamar. Afwan menarik pelan tangan Aini, keluar kamar. Dia tidak mau berisik di kamar Papa. "Berhentilah membuatku cemburu." "Apa, Mas? Cemburu?" Afwan diam. "Aku melihat tatapan dokter itu lain, Aini. Aku melihat ada cinta di matanya. Kami para laki-laki mengerti perasaan yang kamu tidak mengerti." Semprot Afwan. Wait. Aini mundur selangkah. "Apa maksudmu, Mas?"tanya Aini tak mengerti. "Aku tidak ingin, Fadhil menaruh hati padamu." Aini mengurut pelipisnya. Bahkan pikirannya tidak pernah terbersit ke arah sana, selama ini dia merasa kehadiran Fadhil profesional. Tak ada yang luar biasa, meski diakui sikap dokter ganteng itu begitu tulus, lembut dan perhatian pada Papa dan dirinya. Tapi itu kan etika profesi ? Apalagi Fadhil adalah dokter keluarga Papa semenjak dua tahun terakhir. "Tak ada yang aneh dari seorang dokter Fadhil, Mas. Yang aneh itu kamu, Mas. Buat apa cemburu padaku? Kalau di hatimu tak ada cinta, aku rasa cemburumu tak beralasan." Aini bersiap membalikan badan. "Kamu masih istriku. Aku wajib menjagamu dari laki-laki manapun." "Betul, kewajibanmu menjaga dan melindungiku, tapi juga kewajibanmu membahagiakan aku, bukan menyakiti dengan memeluk dan menghamili perempuan lain diam-diam di belakangku." "Aini." "Cukup, Mas. Jangan bebani lagi hidupku dengan kecemburuanmu yang tidak perlu. Dan seandainya Fadhil jatuh cinta padaku, aku rasa itu adalah anugrah bagiku. Setidaknya, aku membuktikan padamu kalau aku tidak serendah yang kau pikirkan. Kalaupun kau nanti mencampakanku, setidaknya ada laki-laki lain yang mau membalut luka hatiku." Afwan membeku. Dia tidak menduga Aini akan sedingin itu. "Mas, ketahuilah hati perempuan itu ibarat kaca, sekali hancur sulit bagimu untuk membuatnya utuh kembali. Mulai sekarang, berhentilah berbicara perasaanku, mau aku bahagia atau tidak, itu bukan urusanmu." Sepi. "Mas, pernahkah kau berpikir diriku yang rela bertahun menunggumu menyentuhku dan mencintaiku tanpa hasil. Seharusnya kau mengerti saat kau cemburu pada laki-laki lain, akupun merasakan hal yang lebih menyakitkan saat mendapatimu diam-diam mencintai dan menikahi perempuan lain di belakangku." Aini tersenyum pahit. "Dari itu, berhentilah membahas apapun tentang kita. Karena mungkin apapun tentang kita akhirnya akan tinggal selembar kisah yang akan musnah seiring waktu." "Aini, cukup Aini...jangan bicara seperti itu." "Lalu aku harus mengemis cinta darimu? Setelah ada Mirna dan buah cinta kalian, masihkah aku terus berpikir keajaiban ?" Aini menyibak hijabnya. "Pulanglah, Mas. Tempatmu bukan di sini." Afwan menelan ludah. Gemetar tangan Afwan ingin meraih jemari Aini, tapi urung saat suara yang sangat dikenalnya muncul dari arah ruang tamu bersama Bi darsih. "Betul, Aini. Bukan di sini tempat seorang Afwan, karena dia tidak pernah mencintaimu sedikitpun.Tempatnya bersamaku, perempuan yang dia cintai, Ibu dari anaknya yang kini bersamayam di rahimku." "Mirna?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD