Ayah datang dengan keadaan kausnya basah oleh keringat. Teh yang aku buatkan, disimpan di atas meja. Kemudian menghampiri Ayah untuk membantunya duduk di kursi.
"Ayah, ini tehnya. Makan siang juga udah Via siapin," ucapku, duduk di kursi bersebalahan dengan Ayah.
Baru dua hari setelah Ayah diizinkan keluar dari rumah sakit, tetapi langsung ingin bekerja. Katanya, tiga hari dirawat di rumah sakit malah membuatnya mudah lelah. Dengan bekerja di kebun, Ayah bisa semangat lagi.
"Keluarga suami kamu itu baik sekali, Nak." Ayah bergumam pelan.
Dalam hati, aku mengiyakan. Berkat pertolongan Allah melalui Pak Ahyar, semua utang Ayah lunas, bahkan bisa membeli sepetak tanah. Hobi Ayah berkebun, bisa beliau salurkan.
"Iya, Yah." Setiap kali mendengar sesuatu yang berhubungan dengan Tuan Althaf, senyumku tidak bisa dicegah untuk muncul. Kejadian malam di mana Tuan Althaf akan pergi, sudah tertempel kuat dalam ingatan. Sensasinya masih terasa dalam diriku. Sampai-sampai, aku tidak sabar untuk melalui 2 Minggu agar bisa segera bertemu lagi dengannya.
"Kenapa belum pulang, Nak?"
"Hah?" Terlalu sibuk memikirkan Tuan Althaf, otakku menjadi lambat saat mendengar ucapan Ayah yang tiba-tiba. "Kan ini rumahnya Via, Yah."
"Itu dulu. Setelah akad, rumah kamu ya rumah suami kamu. Kalau pulang, ya kamu harus ke rumah suami kamu."
"Masih ada satu minggu lebih, Yah. Via bisa jaga Ayah dengan baik selama itu."
"Tapi, kalian itu pengantin baru, Nak. Tidak baik, pisah-pisah begini kalau tidak ada halangan. Ayah sudah lebih baik. Ayah bahkan sudah bisa membersihkan kebun sendiri."
"Tapi, Yah ...."
"Kamu pulang saja, walaupun tenggak waktu yang diberikan Althaf belum sampai. Ayah di sini baik-baik saja."
Aku terdiam sejenak. Diterpa dua pilihan: menjaga Ayah yang sudah merawatku sejak kecil, atau Tuan Althaf, suamiku yang harus kulayani dengan baik.
"Nanti Aini bantu kamu siap-siap," lanjut Ayah, yang tidak bisa kuelak lagi, karena sebagian dari hatiku memang menginginkan itu.
Bertemu dengan Tuan Althaf.
Suamiku.
Ah, senyumku muncul lagi.
***
Seorang penjaga membawaku ke depan pintu rumah megah milik keluarga Tuan Althaf. Jantungku berdebar lebih kencang dibandingkan saat masih di perjalanan. Pikiranku dilanda berbagai pertanyaan.
Bagaimana reaksi Nyonya Erisha nantinya? Apa dia bisa menerimaku?
Tentang Pak Ahyar, ah, aku pikir dia bisa menerimaku dengan mudah karena sifatnya yang baik hati.
Untuk Tuan Alfan ... entahlah. Namun, selama di rumah, aku berusaha menyembuhkan bekas luka kecelakaan tempo hari sehingga aku pikir, dia tidak punya alasan untuk membenciku. Pakaian pun, aku pilih yang terbaik dari kampung.
Berulang kali, napas diembuskan dengan panjang, tetapi sedikitpun tidak mengurangi kegugupan dalam diriku. Tanganku yang lembap menepuk pipiku yang panas, agar tetap bersikap biasa, dan jangan sampai terlihat kampungan.
"Silakan." Penjaga itu mempersilakan untuk masuk setelah sebelumnya berbicara dengan Nyonya Erisha di dalam. "Nyonya Erisha juga ingin bertemu dengan Anda."
"Terima kasih."
Setiap pijakanku memasuki rumah mewah ini, canggung semakin berlipat ganda. Statusku sudah berubah. Bukan lagi tamu, tetapi sebagai menantu. Memikirkan reaksi Nyonya Erisha, membuatku sangat berdebar.
"Permisi." Pintu ruangan yang terbuka, aku ketuk dua kali. Pandangan menelisik dari Nyonya Erisha langsung tertuju padaku.
Di ambang pintu, aku berdiri kikuk. Semoga gamis biru muda dan jilbab panjang ini sesuai dengan seleranya.
Nyonya Erisha menutup majalah di tangannya. Setiap ketukan high heels-nya di lantai mengirimkan sengatan dahsyat di dalam dadaku, menghentak jantungku untuk berdetak dua kali lipat dari sebelumnya.
"Kamu datang lebih cepat dari yang Althaf sampaikan ...." Berjarak satu meter dariku, Nyonya Erisha berhenti. Pandangannya, ditambah kedua tangan terlipat di depan d**a, membuatku merasa seperti diinterogasi. "Tapi tidak masalah. Althaf sudah cerita semuanya. Tentang Chayra yang begitu dekat dengan kamu sampai rela ikut pulang bersama kamu. Kamu juga sepertinya tidak mengecewakan. Kamu sudah tampak lebih baik dari pertama kali saya melihat kamu. Jadi, saya pikir tidak masalah dengan keputusan Althaf yang mau menjadikan kamu sebagai pengasuh Chayra."
Aku tertegun beberapa saat. Fokusku dihambat oleh dua kata terakhir Nyonya Erisha. "Pengasuh Chayra?"
"Iya. Kamu datang ke sini untuk bekerja sebagai pengasuh Chayra kan?"
"Tapi saya dan Tuan Althaf sudah ...." Tanganku gemetar, hendak terangkat untuk menunjukkan cincin di jari manis.
"Saya sedang sibuk, Via. Maaf. Tapi lebih baik kamu kembali ke kamar kamu, siapkan diri, karena Chayra akan pulang sebentar lagi." Nyonya Erisha memotong sekenanya. Kemudian berbalik kembali ke tempatnya.
Sementara aku masih terpaku. Mulutku terbuka, agar suara napas bukti kecewa tidak sampai terdengar. Namun, mataku malah sulit diajak berbohong. Setetes cairan bening meluncur begitu saja saat aku menunduk. Segera, aku hapus dengan kasar.
Cincin pernikahan aku perhatikan dengan teliti. Tuan Althaf tidak menepati janjinya.
Dia tidak mengakuiku sebagai istri.
***
"Kamu nggak usah kerja banyak lah, Via. Istirahat aja, atau lihat aja. Kamu kan baru sampai." Mbak Rista selalu menegur jika aku hendak membantunya di dapur.
Di kamar, aku disiksa oleh kenyataan bahwa Tuan Althaf tidak mengatakan kebenaran mengenai hubungan kami. Jadi, kupikir dengan sibuk di dapur, pikiranku bisa teralihkan.
"Cuman cuci sayur, Mbak." Aku berkilah, tetap mengambil seikat sayuran dan mencucinya di wastafel.
"Biar Mbak aja." Mbak Rista meletakkan spatula dan meraih sayuran di tanganku. "Mending siapin teh dua, buat Tuan Althaf sama Nona Selvy."
"Selvy? Siapa?" Perasaanku mendadak buruk mendengar nama perempuan di samping nama Tuan Althaf.
"Tunangannya Tuan Althaf."
"Tu-nangan?" Tanpa sadar, saliva kuteguk kasar. Saking beratnya mengucap kata itu.
"Hu'um. Tuan Althaf baru terima tunangan sama Nona Selvy dua hari lalu."
Bersyukur, karena Mbak Rista sedang sibuk memotong sayuran di hadapannya, jadi, aku tidak perlu khawatir ekspresi tidak rela di wajahku dilihat Mbak Rista.
Tanganku kentara sekali gemetar saat meraih dua buah cangkir. Kantong teh dimasukkan ke dalam teko, kemudian diisi air panas. Sedikit mengeluh saat menuang teh ke dalam cangkir dan percikannya mengenai tanganku.
"Kamu nggak papa, Via?" Mbak Rista bertanya tiba-tiba, kutanggapi dengan gelengan kasar.
"Nggak-nggak, Mbak."
"Rista, Tuan Althaf sama Nona Selvy sudah datang. Tehnya mana?" Seorang pelayan dewasa masuk. Menghentikan sebentar kegiatanku yang menuang gula.
"Via, kamu antar gih. Ini aku sama Mbak Fita mau buru-buru selesaiin makan siangnya."
"I-iya, Mbak."
Nampan segera aku bawa menuju ruang tengah. Tidak langsung menghampiri dua manusia yang tampak mesra itu, aku bergeming sebentar di balik dinding sekat untuk mengintip.
Wanita itu-bernama Selvy-bergelayut di lengan Tuan Althaf. Sibuk memulai percakapan dengan Tuan Althaf yang dibalas tidak acuh. Semakin menyesakkan saat tahu, bahwa obrolan wanita itu membahas mengenai rencana pernikahan mereka.
"Ish, gedungnya bagus banget tau. Muat tamu 5 ribu orang. Apalagi desainnya, OMG, elegan banget. Tante Erisha pasti setuju."
Aku mengumpulkan tenaga dengan memperbanyak stok oksigen di dalam d**a. Kaki yang lemas ini, aku paksa melangkah mendekati keduanya. Dengan kepala tertunduk begitu dalam, aku berusaha menghindari tatapan Tuan Althaf.
"Ini tehnya ...." Aku ingin mengatakan itu, tetapi suaraku tercekat oleh rasa kecewa, sehingga hanya bibirku yang bergerak. Berada di hadapan suamiku yang bersama wanita lain, siapa yang tidak terluka?
"MOMMY!"
Suara nyaring Chayra terdengar. Aku menengadah ingin mencari tahu keberadaannya, tetapi pandanganku malah terkunci dalam tatapan tajam Tuan Althaf. Ekspresinya sulit terbaca, meski aku berusaha mencari rasa bersalah di matanya. Tidak ada.
Tatapan kami terputus saat sesuatu menabrak kakiku. Chayra memeluk dengan amat erat.
"Mommy, I Miss you so much."
Aku berjongkok, ingin balas memeluknya, tetapi sebuah suara menginterupsi kami.
"She isn't your mommy, Chayra." Nyonya Erisha datang. Aku kembali berdiri, tetapi kepala tetap menunduk.
Chayra bungkam saat Nyonya Erisha melewati kami, lalu duduk di sofa single.
"Ayo, Chayra, ganti pakaian," ajakku.
Aku harus segera beranjak dari sini, sebelum benar-benar menangis karena situasi dalam ruangan.
"Via."
"Iya, Nyonya?"
"Tidak sopan rasanya memanggil majikan kamu dengan nama saja, kan?"
"M-maaf, Nyonya." Kepalaku merunduk lebih dalam. Kemudian beralih pada-Nona-Chayra.
"Mari, Nona Chayra."
***
Dongeng tentang Kancil dan Buaya belum usai saat napas Nona Chayra mulai teratur. Rambut sehalus sutera miliknya masih aku usap beberapa kali, untuk memastikan bahwa dia benar-benar sudah tertidur. Begitu hati-hati kepalanya aku pindahkan ke atas bantal, lalu perlahan aku bergeser setelah menyelimutinya.
Hening.
Membuatku teringat kembali posisiku di rumah ini. Bukan sebagai menantu, tetapi sebagai pengasuh. Selama mengurus Nona Chayra, aku jarang mempermasalahkan hal tersebut. Namun, saat aku sendiri dalam senyap, penyesalan itu kembali mencuat seperti pisau yang menusuk lubuk hati.
Aku bergerak keluar. Bersamaan saat pintu lift terbuka di lantai dasar, wajah Mbak Rista muncul.
"Kamu dari atas?" tanya Mbak Rista.
"Iya, Mbak. Kenapa?"
"Bisa bantuin, nggak? Ini Mbak Asna lagi keluar, aku harus urus Nyonya Erisha. Kamu antar kopi ini ke kamarnya Tuan Althaf, ya?"
"Tapi aku ... aku anu, Mbak ...." Tidak siap bertemu Tuan Althaf. Aku hanya ingin menghindarinya. Ingin mengatakan hal tersebut, tetapi segan.
"Please, kali ini aja ya, Via, bantuin aku. Aku beneran keteteran mau pijit Nyonya Erisha. Kamu tau sendiri kan, gimana kalau Nyonya Erisha marah? Please, lah."
Wajah memelas Mbak Rista membuatku berat hati jika menolak. Terpaksa, nampan yang tersodor di hadapan, aku terima.
Bagaimana aku menghadapi Tuan Althaf? Apa harus marah dan menamparnya berkali-kali karena sudah mempermainkanku? Atau menangis, menunjukkan betapa lemahnya hati ini setelah dia terbangkan oleh sebuah pernikahan, lalu dia jatuhkan karena tidak mengakuiku sebagai istri? Atau ... aku bungkam, bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, lalu menuntut talak darinya?
Terlalu sibuk dengan pilihan-pilihan tersebut, aku tidak sadar bahwa kakiku sudah berdiri di depan pintu kamar Tuan Althaf. Salah satu tanganku terangkat, hendak mengetuk pintu. Namun, gemetar menyerang. Tangan kembali diturunkan.
Bagaimana? Bagaimana?
Untuk beberapa menit, pandanganku hanyak fokus pada kopi di atas nampan.
Berikan kopinya, lalu kabur.
Setidaknya, itulah ide terbaik saat ini.
Napas ditarik panjang, lalu diembuskan secara perlahan. Tanganku dikuatkan, mengetuk daun pintu. Sekali. Hanya sekali. Namun, pintu langsung terbuka bahkan sebelum tanganku turun kembali.
Tuan Althaf menyelipkan kepalanya. Wajahnya masih sama saat pertama kali bertemu. Datar. Aku merunduk lebih dalam.
"K-kopinya, T-tuan." Aku berdeham menyadari suara serak yang keluar.
Hening sebentar.
Tangan Tuan Althaf maju, aku menyodorkan nampan lebih ke depan, tetapi, dia malah meraih lenganku. Menarikku secepat kilat sebelum aku memproses apa yang terjadi.
Suara pintu dibanting menyadarkanku, bahwa pria ini sudah mengecewakanku. Aku harus marah atas perlakuannya, tetapi, lidah kelu untuk itu. Malah mata yang memanas, tidak sanggup menahan embun yang sebentar lagi menjadi hujan di wajah.
"T-Tuan, pekerjaan saya bany-"
Nampan sudah berpindah ke atas meja dalam hitungan detik.
"Tuan ...."
Aku ingin protes atas sikap semena-menanya, tetapi bungkam lagi karena tindakannya yang tiba-tiba. Dia memelukku, sangat erat. Sesak dalam d**a semakin menggunung. Air mata langsung terjatuh begitu saja saat aroma khasnya tercium.
"T-Tuan, pekerjaan saya banyak. Lepas ...." Tahan, Via. Jangan menangis sekarang. Jangan .... Tidak masalah jika bibirku harus berdarah karena digigit kuat untuk menahan tangis, yang terpenting, sisi lemahku tidak terlihat oleh pria angkuh ini.
Jangan menangis ....
"Via, maafkan saya ...." Suara bernada penyesalannya meruntuhkan semua pertahananku selama seharian ini. Aku terisak, kedua kaki melemas sehingga aku harus menarik kaus hitam Tuan Althaf sebagai pegangan.
Tidak ada kata-kata. Hanya ada suara tangisku yang mengisi ruangan. Tuan Althaf mungkin berniat menenangkan dengan mengusap punggungku, tetapi malah membuatku sulit mengendalikan diri sendiri.
Tuan Althaf bergerak, dan aku merasa tidak mau kehilangannya sehingga aku ikut bergerak. Pelukanku mengerat. Kepala aku sembunyikan di dadanya saat posisi menjadi duduk.
Tidak tahu berapa menit berlalu. Napas mulai teratur. Sekitar mata masih sembap, tetapi tidak ada lagi air mata yang keluar. Pelan, aku melepas pelukan. Lalu menyadari situasi kami. Terlalu memalukan, karena aku tidak sadar duduk di pangkuannya.
"Maaf." Aku menyesal, sudah kehilangan kendali. Berniat untuk berdiri, tetapi Tuan Althaf mengeratkan lingkaran tangannya di pinggangku.
"Kamu tahu bagaimana Mama kan?" Tuan Althaf berbisik rendah, dan jaraknya terlalu rendah hingga napasnya yang beraroma mint menyapa wajahku, memberikan perasaan gelisah. "Dia kuasai rumah. Apa pun yang terjadi di rumah ini, harus atas izinnya. Dia melihat seseorang dari derajatnya, dan kamu ...."
Aku merunduk dalam. Tangan besar Tuan Althaf menyentuh kedua pipiku, memaksa untuk menengadah.
"Kasih saya waktu, sebentar saja. Butuh waktu untuk meyakinkan Mama, bahwa kamu sangat pantas untuk jadi istri saya. Hanya sebentar, Via. I'll keep my word."
"Selvy?" tanyaku, ragu.
"Dia sebenarnya tidak menginginkan saya. Dia hanya menuruti permintaan orangtuanya. Kami hanya perlu meyakinkan orangtua masing-masing bahwa kami tidak saling mencintai."
Suara lembutnya terlalu mengagumkan, sehingga aku kehilangan kuasa atas diri sendiri. Pasrah saja saat Tuan Althaf menarik kepalaku, menyatukan kening kami.
Waktu dibiarkan berlalu dalam kebisuan. Membiarkan napas saling beradu di antara kami.
"Kamu datang terlalu awal. Well-bisa kita mulai malam pertama kita, Little Wife?"
Tidak ada alasan untuk menolaknya, dan kalaupun ada, aku tidak akan beralasan untuk menunda ini lagi. Jadi ... ya baiklah. Malam pertama kami yang tertunda, bisa dimulai sekarang. Di kamarnya. Sebagai suami-istri. Tuan-pelayan.
Aku pikir, kalimatnya bisa dipegang.
***
"Little Wife."
Aku mengerjap, saat suara bariton rendah itu terdengar, bersama sengatan dingin menyerang punggungku.
Sembari melenguh pelan, aku mengubah posisi menjadi telentang. Mengerjap beberapa kali, menyadari sosok pria di hadapan. Terkejut. Tentu saja. Aku langsung bangun, menarik selimut. Semakin panik, karena berada di hadapan pria dalam keadaan tanpa pakaian.
Tuan Althaf terkekeh pelan. Maju sebentar, sekadar memberikan kecupan singkat di bibirku. Sekaligus, membantuku mengembalikan semua ingatan.
Ya. Dia suamiku sekarang.
"Kamu harus ke kamar kamu sekarang," bisiknya, rendah, sembari melirik jam dinding. "Jam 12 waktu paling tepat. Semua orang sedang istirahat. Di ruang CCTV sedang pergantian shift, jadi tidak akan ada yang menyadari kamu keluar dari kamar saya."
Tuan Althaf turun lebih dahulu. Mengumpulkan pakaianku, lalu memberikannya.
Sengatan sakit itu muncul lagi di dalam d**a. Namun, aku berusaha menepisnya, dengan meyakinkan diri sendiri bahwa rahasia ini pasti akan berakhir indah. Aku yakin itu, meski ada keraguan yang lebih mendominasi.
Setelah berpakaian, aku langsung pergi. Dalam perjalanan, berpikir bahwa ini seperti Cinderella. Semua kebahagiaan harus berakhir setelah jam 12.
***