Cindy :
Jadi kencan nggak, Beb?
Ray :
Jadi dong. Ini udah mau jalan.
Setelah membalas pesan teman kencannya, Ray menyambar jaket berbulu yang biasa dipakai orang saat musim dingin tiba. Namun, Ray membutuhkannya setiap kali bepergian malam. Karena dia membawa motor gede, bukan mobil. Bagi Ray, dia lebih nyaman memakai motor saat pergi berkencan, karena kesannya lebih romantis ketika dipeluk dari belakang.
Terakhir, Ray mengambil kunci motor lalu keluar seraya bersiul-siul ria.
“Mau kemana kamu, Ray?”
Di ruang tamu, papa dan mamanya yang sedang berbincang entah apa di jam seperti ini, membuat langkah Ray terhenti saat mendapati pertanyaan papanya, yang menurutnya itu kolot.
“Ya, jalan lah, Pa. Ini kan malam minggu,” sahut Ray santai seraya memutar kunci motor di jari telunjuknya.
“Sama anak gadis orang, lagi? Ini yang keberapa kalinya?” Nada suara papanya Ray – Hendra, sudah meninggi. Terlihat amarah di wajahnya yang masih terlihat muda walau usianya sudah 50 tahun.
“Biasa, Pa, anak muda.” Ray masih menyahut dengan santai dan tenang. Tidak takut walau mungkin jawaban itu bisa menyulut api antara dia dan papanya.
“Tugas kamu bukan itu, Ray. Sebagai anak muda harusnya kamu memikirkan hal-hal yang bermanfaat. Bukannya keluyuran dan membawa anak gadis orang sembarangan.” Hendra menekankan kalimatnya yang sudah ia katakan ribuan kali sebelumnya, sampai ia sendiri merasa hampir bosan untuk menasihati putranya itu.
Ray mencongkel telinganya yang tiba-tiba terasa gatal dengan kunci motor. Sebenarnya karena efek ceramah yang ia dengar dari papanya.
“Nak, kalau dinasihati orang tua itu di dengar dong.” Mamanya Ray – Dewi, ikut bersuara. Dengan lembut berusaha untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang.
“Daripada ngurusin hidup aku, mending kamu urus diri sendiri. Sudah benar apa belum rebut suami orang.” Ray menatap mamanya tajam. Mama tiri tepatnya.
“Ray! Jaga ucapan kamu!” Refleks Hendra bangun dan berteriak. Hampir saja ia melayangkan tamparan pada Ray, jika saja Dewi tidak langsung bangkit dan mencegah tangannya.
“Sudah, Pa. jangan diteruskan.” Dewi melerai dengan suara lembut.
Namun, suara lembut Dewi hampir membuat Ray muntah. Dia jijik setiap kali mendengar mama tirinya itu berbicara seolah dibuat-buat selembut mungkin.
Modus!
“Akan ku beri pelajaran mulutnya itu. Benar-benar keterlaluan dia!” Hendra masih marah dan ingin mendekati Ray. Tapi lagi-lagi dicegah oleh istrinya.
“Sudah, Pa. Sudah.” Dewi menahan tubuh suaminya itu. “Ray, lebih baik kamu pergi, kalau tidak, Papa akan semakin marah sama kamu.”
“Ck.” Ray menyeringai sinis. “Luar biasa aktingnya. Kaya benaran aja ngebela aku,” gumam Ray berlalu.
“RAY …!”
Di luar, Ray masih mendengar teriakan papanya. Baru hilang ketika dia memakai helm dan menyalakan motornya. Lalu pergi menjemput Cindy.
**
Ray merasa kepalanya begitu sakit, matanya terasa berat untuk dibuka, sekujur tubuhnya terasa sakit seperti habis bermain karate, dan perutnya seperti diaduk-aduk. Dia mual, tapi tidak bisa mengeluarkan isi perutnya. Saat Ray hampir tidak tahan, tapi matanya tetap memaksa untuk terpejam.
“Lihat kelakuan adik kamu ini, Maya. Papa hampir gila menghadapi sikapnya setiap hari yang tidak pernah berubah.”
Sayup-sayup Ray mendengar suara papanya yang keras saat mengeluh perbuatannya. Ray yakin, kini papanya pasti sedang berbicara dengan Maya – kakak kandung satu-satunya yang sangat ia cintai dan sayangi setelah ibu kandungnya meninggal.
“Sabar, Pa. Namanya juga Ray anak muda, dia bisa saja terpengaruh dengan lingkungan yang kurang baik. Itu karena ada alasannya.” Suara Maya terdengar sangat lembut.
Ray bahkan membandingkan dengan suara mama tirinya yang lembut tapi menjijikkan. Sedangkan suara kakaknya terdengar lembut secara alami tanpa dibuat-buat.
“Tidak ada alasan untuk dia melakukan semua itu, May. Bahkan, tidak ada keturunan dari keluarga kita yang kelakuannya kelewat buruk seperti dia.” Hendra masih mencerca dan blak-blakan menyebut kelakuan Ray yang sangat memalukan.
Maya menghela nafas berat. “Aku yakin, ibu tidak akan sanggup jika melihat Papa dan Ray terus bertikai seperti ini.” Suara Maya terdengar serak sekarang.
“Lebih baik jika ibumu sudah tiada, May. Jadi ibumu tidak sempat melihat kelakuan anak lelakinya seperti ini,” kata Hendra datar. Suaranya sudah tidak setinggi tadi.
“Baik tidak melihatku atau baik tidak melihat Papa berselingkuh.” Tiba-tiba Ray membuka mata dan membuka suara. Percakapan terakhir papa dan kakaknya berhasil membuat dia terjaga dan melupakan semua bagian kesakitan di tubuhnya.
Maya kaget, begitu juga dengan Dewi yang sejak tadi hanya berdiri di dekat suaminya.
“Jangan berkata seperti itu, Ray. Mama dan Papa menikah secara sah, kami tidak selingkuh,” kata Dewi tidak terima dengan tuduhan anak tirinya itu.
“Hh.” Ray membuang muka jijik. “Persetan dengan pernikahan kalian.”
“Ray, sekali lagi kamu menghina mama kamu, Papa tidak akan segan-segan un-“
“Untuk apa?” potong Ray cepat. “Untuk membunuh aku, iya!? Bunuh saja aku, Pa. aku bosan di sini, aku mau bertemu ibu saja di sana. Akan ku ceritakan segala keburukan kalian padanya.” Ray tidak bisa lagi menahan emosinya.
“Kamu lihat sendiri, kan.” Telunjuk Hendra bergetar mengarah ke wajah Ray, wajahnya tiba-tiba menyeramkan. “Lihat adik kamu itu.”
“Sudah, Pa. jangan diteruskan. Malu kalau ada yang dengar pagi-pagi kita ribut.” Maya berusaha untuk melerai pertikaian yang selalu saja tidak ada habisnya untuk dipermasalahkan.
Kemudian Maya menatap adiknya, mengelus lengannya dengan lembut. “Ray, sudahlah. Berhenti berdebat dengan, Papa. Kakak nggak suka.”
Mendengar kata-kata Maya, Ray perlahan mulai tenang. Amarahnya menyurut. Bagi Ray, itulah yang membedakan antara Maya dan Dewi. Jika mendengar kata-kata Maya, seperti air yang memadamkan api di hati Ray. Tapi saat mendengar kata-kata Dewi, seperti siraman minyak tanah, membuat api itu semakin menyala.
“Berhubung dia sudah diam, sebaiknya kamu sampaikan saja sekarang apa yang Papa katakan tadi padamu,” kata Hendra berlalu. Kemudian diikuti Dewi, yang bagi Ray, mama tirinya itu seperti ekor yang sulit dipisahkan dengan induknya.
Kalau sudah benci, apa-apa yang dilihat pun terasa salah dan menyebalkan.
“Ray, sebaiknya kamu mandi sekarang. Kakak tunggu di bawah. Usai sarapan, Kakak ingin bicara sesuatu padamu,” kata Maya membuyarkan lamunan Ray yang sedang mengumpat banyak hal pada Dewi.
“Iya.” Ray bangkit seperti anak penurut.
Maya menggelengkan kepalanya melihat punggung Ray yang sudah menghilang ke dalam kamar mandi.