Sungguh, berada di antara orang-orang yang memiliki jabatan tinggi membuatku sulit bernapas. Bahkan bergerak, aku benar-benar tidak mengerti harus bersikap seperti apa. Entahlah, mungkin sikapku tadi sudah seperti boneka manekin.
Membuang jauh-jauh pikiran buruk, dan tak ingin memperdulikan hal itu lagi. Aku lebih memikirkan hendak memuaskan mulutku di rumah makan seperti apa. Jelas, aku tidak ingin makan di restoran dengan makanan yang sedikit dan harga yang melejit. Edan! Makanan apa itu, sedikit tapi harganya selangit. Sungguh, bukan kenyang yang aku rasakan tetapi melilit karena kurang makanan.
Aku berpikir, bagaimana orang kaya bisa makan sedemikian?. Apa lambung orang kaya dengan orang miskin itu berbeda? Mungkin saja, tetapi biarlah aku tidak ingin memikirkan itu. Yang terpenting Mr. Brayen mengizinkanku untuk memilih tempat kami makan siang.
"Disana saja. Rumah makan pak Yono."
Mr. Brayen nampak melotot kearah ku, seolah kaget dengan keputusanku.
"Apa kamu gila?"
Aku menggeleng, "Seingatku disana bukan tempat makan untuk orang gila Mr."
Mr. Brayen menggeram di tempatnya. "Jangan disitu, kita cari restoran yang lain."
"Aku tidak ingin, kumohon Mr. Disana makanannya nikmat sekali."
Mr. Brayen nampak terdiam, raut wajahnya sulit dijelaskan. Lelaki itu berubah-ubah, jika bersama orang lain ia akan manis terhadapku namun jika hanya kami berdua sikapnya sudah seperti air dalam lemari pendingin. Beku!
"Terserah."
"Terima kasih Mr." Aku memeluk lengannya, namun seakan tersadar dengan sigap melepasnya. Sekilas kulirik wajah Mr. Brayen yang seperti kepiting rebus. Aku terkikik geli
"Jangan tertawa!" Tegasnya
Aku lalu membungkam mulutku dengan cepat. Dasar Mr. Beku!
___________________________________________________________
Benar-benar luar biasa, menu-menu yang pak Yono hidangkan selalu nikmat, harganyapun terjangkau. Sebab itulah rumah makan pak Yono selalu menjadi tempat makan favoritku dengan keluarga.
Aku merindukan keluargaku yang sederhana. Meski makanan yang kami santap tak mewah namun kekeluargaan selalu tercipta diantara kami. Merindukan rengekan adik kecilku yang saling rebutan tempe orek milik pak Yono bahkan kadang kerupuk yang di lumeri kecap manis.
"Kenapa menangis?" Suara Mr. Brayen membuyarkan ingatanku tentang keluarga
Aku menggeleng sebagai jawaban dan melahap ayam kampung yang dimasak dengan bumbu dapur yang lezat. Mr. Brayen hanya terdiam, sembari menyeruput kopi pahit pesanannya.
Memang selera orang kaya dengan orang miskin sepertiku berbeda, bahkan lidah Mr. Brayen kaget kala mencicipi kopi segelas lima ribu yang katanya sangat murah. Entah, Mr Brayen merasa kaget karena rasanya aneh atau justru sebaliknya. Tetapi, aku selalu merasakan kenikmatan yang tiada bandingannya dirumah makan ini.
"Keluargamu sangat suka makan disini?"
Kepalaku mengangguk, "Disini makanannya murah-murah."
"Higienitasnya terjamin?"
Mulutku terdiam, untuk hal yang satu itu aku tidak bisa memastikan. Tetapi pak Yono terkenal dengan kebersihannya. Aku lalu mengedikkan bahu tak tahu, yang sontak membuat Mr. Brayen menjauhkan segelas kopi dari dekatnya
"Kenapa?"
"Aku sudah meminum bakteri." Katanya seolah menunjukkan ketakutan
Tawaku pecah, melihat raut ketakutan dan jijik menghiasi wajah Mr. Brayen. Lucu sekali orang kaya seperti Mr. Brayen, mereka tersiksa karena kekayaannya.
"Jangan menertawai ku, cepat habiskan makananmu. Setelah ini aku ingin pindah tempat."
"Siap." Tanpa membuka suara lagi, aku fokus menghabiskan makananku. Sungguh nikmat yang luar biasa, bersama Mr. Brayen aku bisa makan sepuasku bahkan berencana membungkus untuk adik-adik jika Mr. Brayen berkenan.
"Tunggu disini, aku ingin membayarnya."
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk, setelah menghabiskan beberapa makanan tak lupa aku menyeruput kopi yang di tinggalkan begitu saja oleh Mr. Brayen. Bagi orang sepertiku mencari uang lima ribu saja sudah sangat pelik, maka dari itu akan sangat sia-sia jika tidak di habiskan.
Mataku mengamati sekeliling, sampai pada ahkirnya menemukan seseorang yang juga kurindukan beberapa Minggu ini. Disana, Joes sedang menikmati makanannya sendirian. Ah, mataku berkaca-kaca aku benar-benar merindukan kekasihku itu.
Tak sabar, ahkirnya ku mantapkan kakiku untuk mendekat kearahnya. Joes tak tahu mengenai kabar pernikahanku yang diadakan secara diam-diam, bahkan mungkin cowok itu juga merindukanku yang beberapa Minggu ini tanpa kabar.
"Hai Jo." Joes mendongak, sejenak ia terdiam lalu terkejut dan berdiri memelukku dengan penuh kerinduan. Kuterima segala tumpah ruah itu, akupun melakukan hal yang sama
"Kemana saja kau selama ini?" Joes melepaskan pelukannya, lalu kami duduk saling berhadapan.
"Maafkan aku, ponselku rusak." Aku berdusta, untuk pertama kalinya
"Kenapa tidak mengabariku lewat pos?" Tanya Joes
Aku meringis, "Maafkan aku." Lirihku dalam penyesalan.
Joes menarik tanganku, ia menggenggamnya penuh ketulusan. "Begini saja, kau pegang ponselku."
Aku menggeleng dengan keras, penuh penolakan. "Tidak perlu. Lalu kau bagaimana nanti?"
"Aku masih mempunyai tabungan. Terimalah." Katanya sembari menyodorkan ponselnya ke arahku. Dengan senang hati aku menerimanya walau merasa menyusahkan. Tetapi setidaknya hubunganku dengan Joes akan baik-baik saja dan mungkin saja nanti pacarku itu akan membantuku melarikan diri dari rumah sialan!.
"Kau dengan keluargamu?" Tanya Joes, ah aku baru tersadar akan sesuatu pasti Mr. Brayen mencariku nanti
"Tidak, aku bersama bosku." Jawabku dusta lagi
"Bos?"
"Ya, aku sekarang bekerja menjadi asisten seseorang."
"Asisten?" Tanya Joes tak percaya. Ya, jelas Joes pasti tak akan percaya dengan pernyataanku mengingat aku yang dulu sangat senang bekerja di toko
"Mengapa berubah haluan?"
"Aku membutuhkan gaji yang banyak. Joes, maaf aku harus pamit bos ku telah menunggu. Tapi secepat mungkin aku akan mengabarimu."
"Tapi.."
"Dah.." kataku, lalu berlari kecil menuju mobil Mr. Brayen terparkir meninggalkan Joes yang berteriak memanggil namaku.
Rasanya aku benar-benar membenci tuan muda itu. Karenanya kini aku harus berpisah dengan Joes dan orang-orang terdekatku. Aku benar-benar menjadi tawanan bagi Mr. Brayen, segala yang kulakukan harus atas persetujuannya. Sudahlah, meratapi itu semua tak akan mengubah keadaan mungkin esok Tuhan menakdirkan sesuatu yang lebih baik padaku.
"Masuk." Titah Mr. Brayen yang baru saja datang, aku mengikuti dan duduk disamping kemudi.
Menelan ludah dengan susah payah, berharap Mr. Brayen tak melihatku yang mendekati Joes tadi. Dengan segenap tenaga, aku menyembunyikan ponselku sedemikian agar tak ketahuan. Sungguh, aku benar-benar tak ingin Mr. Brayen mengetahui dan berahkir meretas ponsel milik Joes.