Gadis sombong dan udik. Apa Kamelia memang seperti itu?, semakin lama kenal dengan gadis itu semakin membuatku mengerti wataknya. Dengan gamblangnya Gadis tersebut mengatakan tak cinta denganku? Apa aku tak semenarik itu untuknya? Padahal di luar sana beberapa wanita sampai mengemis cintaku meski aku sudah beristri.
Ku akui, gadis itu sangat jual mahal dan tak seperti perempuan pada umumnya. Jika dilihat, Kamelia adalah gadis sederhana yang tak gila harta atau lelaki tampan. Menurutku gadis itu adalah tipikal wanita yang mencintai keluarga dan hal-hal yang sederhana tetapi membahagiakan. Ya, patut di acungi jempol di zaman seperti saat ini.
"Tuan?"
"Ya, masuk saja."
Tak lama, muncul wajah Elsa memasuki ruanganku.
"Apa Tuan tidak ingin menemani Kamelia?" Katanya yang begitu sopan terdengar
"Dimana dia sekarang?" Aku menoleh, menghadapnya
"Di taman tuan."
"Baiklah. Aku kesana sekarang, dan jangan lupa atur secantik dan sewangi mungkin kamar Kamelia."
"Baik tuan."
Tanpa menunggu lama, aku langsung berjalan ke arah taman. Malam ini ku putuskan untuk tidur bersama Kamelia. Untuk pertama kalinya pasca menikah. Selama itu, aku tak pernah menyentuh gadis itu begitu intim, bodohnya aku yang hanya membelinya. Padahal seharusnya ia sudah menjadi hak milikku. Aku berhak atas apapun padanya. Peduli setan dengan perasaan Kamelia nanti, bukankah tugas seorang istri adalah melayani suaminya?.
___________________________________________________________
"Ada apa Mr. Kesini?" Tanya Kamelia, sepertinya gadis itu merasa tak nyaman dengan keberadaanku
"Ini rumahku, sesukaku berada dimana." Jawabku ketus
"Aku paham. Hanya saja, mengapa Mr. tidak memejamkan mata saja?"
Aku melotot kearahnya, perkataan itu terdengar seperti sebuah pengusiran. "Kau mengusirku?"
Gadis itu menggeleng, sangat meyakinkan. "Tidak Mr. maksudku, apa Mr. tidak merasa letih?"
"Tidak."
"Mengantuk?"
"Tidak juga. Apa kau mengantuk?" Gadis itu mengangguk dengan lugunya.
"Tadinya aku ingin ke kamar, namun Mr. menyusul ku."
"Jadi kau menyalahkanku?"
"Tidak Mr." Jawabnya menyerah, dari sorot mata gadis itu memang sepertinya sudah amat mengantuk. Jujur, itu terlihat menggemaskan di mataku. Aku lalu mendekatinya, mendaratkan tubuhku untuk duduk berdampingan dengannya.
"Kalau kau mengantuk, kenapa tidak tidur saja?"
Gadis itu menoleh, mata kami bertemu untuk sesaat. Entahlah desiran apa yang menghangatkan perasaanku. Aku seperti menemukan sesuatu yang pernah hilang. Namun hanya sesaat, setelah Kamelia memalingkan wajah desiran itu lenyap.
"Aku tidak ingin berlaku kurang ajar. Bibi Elsa mengatakan untuk aku yang harus patuh padamu."
"Jadi ini semua karena Elsa ya?"
"Mr. kau sangat tidak sopan memanggil Bibi Elsa dengan nama saja." Protesnya tak terima, melihat Kamelia yang marah seperti itu rasanya aku ingin mencium bibir ranumnya. Oh astaga.. aku tidak sabar untuk menunggu besok
"Elsa itu dayang-dayang, aku sudah membayarnya jadi terserah ku ingin memanggilnya apa."
"Uang adalah segalanya ya?" Tanyanya
Aku mengangguk.
"Berarti Mr. salah. Uang bukanlah segalanya. Mr. tidak bisa semena-mena karena uang. Apalagi sampai melepaskan nilai sopan santun karena uang. Apa uang membayar Mr. untuk berperilaku tidak sopan? Sekalipun Mr. membayar Bibi Elsa atau siapapun jika mereka lebih tua dari kita, sudah sepantasnya di hormati."
Aku tertegun, layaknya bukan Kamelia yang sedang berbicara di hadapanku. Gadis itu sangat bijak, bahkan pemikirannya begitu dewasa. Aku merasa malu di tegur seperti itu. Ku putuskan untuk berdehem, menghalau hawa lain di sekitar sini
"Itu bukan urusanmu." Jawabku
"Terserah Mr. saja. Aku hanya mengingatkan sebagai seorang istri."
Lagi-lagi aku terpegun. Apakah Kamelia mulai menyadari bahwa ia adalah istri seorang Brayen? Pengusaha terkenal dan terkaya?. Namun mengapa sedetik kemudian gadis itu menutup mulutnya? Seolah salah berbicara. Dan setelah ini, kami justru seperti bukan siapa-siapa lagi. Kamelia memutuskan untuk tidur terlebih dahulu, meninggalkanku yang tengah menatap langit yang mulai tanpa bintang. Sepi dan tidak gemerlap lagi..