Khilaf 9

1288 Words
Sesaat sebelum keluar dari kebun jagung, Ajiz yang tampaknya sudah lama menungguku, langsung menyambar belut di tanganku. "Gua mau jual semua. Lumayan kalau banyak begini bisa buat jajan Gayatri sama Deblo. Seminggu gua bakal aman dari palakkan mereka," ucap Ajiz tanpa ekspresi berarti. Setelah semua belut berpindah tangan, Ajiz pergi ke arah berlawanan dengan arah kami pulang. Tampaknya dia akan menjual belut-belut itu ke warung nasi Bu Haji Acang dekat terminal. Beliau selalu membayar lebih mahal untuk belut sawah yang ukuran di atas kelingking. Guyuran air gayung demi gayung yang membasahi tubuhku, masih belum mampu menghilangkan bayangan adegan panas di saung sawah. Aku masih belum yakin jika itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Bu Haji dan Sandi. Pergumulan antara Egar dan Bi Titin walau tidak aku benarkan namun setidaknya masih sedikit aku maklumi. Walau kedua orang tua Egar relatif religius dalam ucapan dan penampilan, tetapi Egar sendiri relatif jauh dengan agama. Tak jauh beda dengan Bi Titin. Tapi istrinya Pak Ganjar? Sedahsyat itukah setan menggoda manusia. Nenek yang dalam hampir segala sendi kehidupannya tidak terlepas dari nilai-nilai syariat agama dan selalu menjadi orang terdepan mengajak ibu-ibu kompleks pergi ke pengajian, rela menggandaikan keimanan dan kehormatan dirinya hanya demi syahwat sesaat. Jika Bu Haji yang sudah banyak makan asam garam kehidupan dan memiliki wawasan serta ilmu agama yang mumpuni bisa sebegitu dalam terperosok dalam jurang hina dan nista. Bagaimana dengan diriku? Aku hanya memahami ajaran agama dari sekolah umum dan Bapakku sendiri. "A, kenapa A Egar sekarang jarang ke sini? Si Deblo nanyain terus." Mama langsung menodongku dengan pertanyaan yang menohok saat baru saja aku membuka pintu kamar mandi hendak keluar. "Mungkin sibuk. Egar sekarang ikut bimbel, terus Aa juga banyak kegiatan OSIS. Jadinya kami jarang bareng," balasku pelan seraya memandang Mama yang tampaknya tidak terlalu yakin dengan jawabanku. Karena Egar aku bahkan harus membohongi wanita pemilik kunci surgaku. Terpaksa aku lakukan karena tidak mungkin mulut ini mampu berterus terang. Mama juga belum tentu akan percaya, kecuali melihatnya sendiri. "Emang bimbelnya tiap hari? Masa sih sampai gak bisa nyempetin buat main ke sini. Mama udah kangen dengan pizzanya, hehehe," balas Mama seraya meniriskan goreng tempe di atas wajan. "Husst! Jangan kaya orang susah. Masa anak mantan pejabat begitu!" candaku untuk mengalihkan perhatian. "Ya kan sekarang mah emang orang susah. Maklum sudah jadi istri tukang bubur, hahahaha." Mama menjawab dengan diiringi derai tawa renyah, seperti biasa. "Tapi bahagia kan punya anak seganteng Aa?" tanyaku sambil memeluknya dari belakang. "Bangeeet," balas Mama seraya mencium pipiku yang lembap dan dingin. "Nah, kurang apa lagi coba. Ingat ya, tidak semua ibu di dunia ini seberuntung Mama yang bisa memiliki anak seganteng Aa, catat!" ucapku sambil mencium pipi Mama yang sedikit berkeringat. "Yes, tidak semua anak seberuntung Aa bisa memiliki ibu, secantik diriku, wew!" Mama menjawab bangga sambil menyimpan goreng tempe ke dalam piring. Tanganku refleks mengambil sepotong, lalu menggigit dan memakannya. Tiada hal yang paling membahagiakan dan membanggakan selain memiliki seorang ibu seperti Mama. Cantik, cerdas, penyayang, super gaul, rela berkorban untuk anak-anaknya. Mama orang paling asyik diajak diskusi dan bercanda, kecuali kalau sedang kumat egois dan keras kepalanya yang super 'Masa Allah'. "Jack, mana belutnya?" tanya Enda yang sedang membimbing si Teteh mengerjakan tugas sekolahnya, di ruang tamu. "Dapat banyak," balasku sambil masuk ke kamar. Seisi rumah akan langsung faham, jika jumlah belutnya banyak, pasti Ajiz akan langsung menjualnya ke pemilik warung nasi. Tak sampai sepuluh menit kemudian, suara adzan Maghrib berkumandang. Aku dan Enda segera bergegas menuju Masjid menyusul Bapak yang sudah lebih dulu berada di sana. Jantungku berdebar, salah tingkah tak karuan dan kulit wajahku mendadak panas ketika berpapasan dengan Sandi yang juga akan melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Isi kepalaku kembali dipenuhi berbagai pertanyaan tentang peristiwa itu. Benarkah orang berdiri khusyuk mendirikan shalat di dekatku ini adalah orang yang aku lihat berbuat m***m di saung sawah tadi? Shalatku kali ini benar-benar gagal. Saat ruku pun masih sempat memperhatikan kedua kaki Sandi yang yang dengan gagahnya dipakai menopang tubuh subur Bu Haji saat disetubuhinya. Setelah mengucap salam dan membaca doa aku segera beranjak dari duduk dan tergesa-gesa keluar dari Majid, rasanya tak nyaman duduk berlama-lama dekat Sandi. Entah mengapa aku merasa jika dia mengetahui saat aku mengintipnya. Mengapa aku yang jadi takut dan malu? Bukankah dia dan Bu Haji yang berbuat dosanya? Sesaat sebelum melangkahkan kakiku yang bersandal jepit warna putih hijau muda, tiba-tiba Sandi memanggil namaku. Dengan sangat santun dia mengajakku untuk ngopi di rumah Pak Ganjar. Tentu saja aku tolak dengan halus. Namun setelah Sandi meyakinkan bahwa rumah Pak Ganjar sedang kosong, dan ada hal yang ingin dibicarakan secara pribadi, aku pun tak bisa menolaknya lagi. Dengan jantung yang dag-dig-dug dan rasa penasaran yang membuncah, aku pun manut saat Sandi mempersilakan duduk di bale saung kolam ikan, belakang rumah Pak Ganjar. Prasangka baik dan buruk datang silih berganti memenuhi isi kepalaku ketika Sandi menyuguhkan secangkir kopi, sebungkus rokok dan sepiring pisang goreng. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, karena aku pun baru kali ini masuk ke halaman Pak Ganjar, apalagi halaman belakang yang sangat tertutup. Jiwa ragaku dalam posisi Siaga satu, konsentrasi penuh untuk mengantisipasi segala kemungkinan termasuk jika tiba-tiba Sandi melakukan serangan yang membahayakan keselamatan jiwaku. Aku semakin yakin, Sandi telah mengetahui pengintaian yang aku dan Ajiz lakukan tadi sore. Kecurigaan sedikit demi sedikit mulai berkurang ketika Sandi dengan sangat santai membuka obrolan seputar ternak ikan yang baru akan dirintisnya bersama Pak Ganjar. Dia pun menyampaikan Pak Ganjar saat ini sedang ke Tasikmalaya, sementara Bu Ganjar ke rumah anak sulungnya yang besok akan mengadakan syukuran aqiqah anak ketiganya. Beberapa saat kemudian aku benar-benar terperanjat saat Sandi meminta maaf dan berpamitan karena mulai besok dan seterusnya kemungkinan dia akan meninggalkan kampung Legok Asik dan tak akan kembali lagi. "Ada apa? Emang sudah beres pekerjaan di sini, bukannya Akang baru mau merintis ternak ikan dengan Pak Haji?" tanyaku heran. "Alasannya seperti yang Hendra dan Ajiz lihat di saung sawah, tadi." Sandi bicara tidak nyambung. Deg! Jantungku seketika berhenti berdetak. Tak sepatah kata pun bisa aku ucapkan, padahal sama sekali tidak mengerti dengan yang diucapkan Sandi. Aku juga terkejut, mengapa Sandi bisa tahu jika aku dan Ajiz mengintipnya. Menurutku sangat tak mungkin Bu Haji atau Sandi menyadarinya saat diintip. "Apa yang Ajiz dan Hendra saksikan tadi, itu benar-benar nyata. Saya yakin kalian juga tidak sengaja melihatnya. Terserah Hendra mau menilai saya seperti apa." Sandi diam beberapa saat. "Tapi tak ada salahnya jika Hendra mendengar dan mengetahui langsung dari saya. Bagaimana ceritanya hingga saya dan Bu Haji melakukan hubungan terlarang itu." Sandi melanjutkan ucapannya tanpa memberi kesempatan untuk aku bicara. Sandi lahir dari keluarga sederhana dan dibesarkan di lingkungan perkebunan karet milik BUMN yang berlokasi di Kabupaten Subang. Kedua orang tuanya bekerja sebagai tenaga penyadap karet. Dia anak ketiga dari lima bersaudara. Sandi lulusan STM jurusan otomotif tiga tahun yang lalu. Namun karena sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai keahliannya, dia menerima dengan senang hati saat ditawari menjadi Satpam di perkebunan tempat kedua orang tuanya bekerja. Sandi remaja berusia 19 tahun yang masih sangat fresh dan termasuk berpendidikan tinggi di lingkungannya, mampu menunjukkan kelasnya dalam waktu yang singkat. Dalam kurun waktu tiga bulan dia sudah menjadi Satpam paling sibuk dibanding semua seniornya. Darah mudanya sangat menikmati profesi barunya dan dengan suka rela menggantikan seniornya yang berhalangan kerja. Etos kerja yang prima, wawasan yang mumpuni, ditunjang attitude yang baik, ramah, dan supel telah mengantarkan Sandi menjadi seorang Satpam yang paling diterima oleh semua kalangan di lingkungan kerjanya. Dia mudah beradaptasi dan bisa berbaur dengan karyawan pada bagian lain termasuk para pimpinannya. Pak Atmawijaya, Manager Keuangan di perusahaan itu, bahkan bisa membatalkan rencananya pergi ke bank jika bukan Sandi yang mengawalnya. Sudah menjadi prosedur tetap perusahaan, petugas yang akan menyimpan atau mengambil uang di bank dalam jumlah tertentu, wajib dikawal oleh Satpam atau anggota polisi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD