Namaku Gauri. Gauri Fatimah Garcia Sharma. Apa terlalu panjang? Baiklah, kalau begitu Gauri Garcia saja. Senang berkenalan dengan kalian.
Aku lahir di Cordoba, Spanyol. Menghabiskan hampir seluruh masa balita disana, sebelum aku dibawa ke Yogyakarta, Indonesia. Aku tinggal di keprabon Abuela-ku di Imogiri. Yeah, seperti beberapa saudaraku, aku beruntung bisa mendapat didikan langsung dari Abuelo-Abuela (orang tua Papi), mungkin juga Yangkung-Yangti (orang tua Mami) nantinya.
Para kakek dan nenek yang kumiliki adalah yang terbaik diantara yang kalian semua miliki, aku berani bertaruh untuk itu. Mereka benar-benar representasi dari kata ‘baik’ dalam versi yang kumiliki. Sejauh ini dari semua kisah yang kudengar tentang perjalanan hidup dan semua hal tentang mereka, aku yakin merekalah orang-orang yang menjadi sejarah terciptanya kata ‘keren’. Iya. ‘Keren’ yang itu.
Aku bungsu dari tujuh bersaudara. Kakak tertuaku berusia delapan belas saat aku lahir dan dia menikah setahun setelahnya. Semua nama depan kami diawali huruf ‘G’, kecuali yang nomer dua dari depan dan belakang. Ghina, Kevin, Giovanni, Gabriella, Gheaninna, Kenneth, dan Gauri. Tiga yang di tengah, (Gio, Ella, Ninna), mereka triplets dan aku lahir beberapa hari setelah ulang tahun mereka yang ke enam. Yang paling lucu adalah fakta bahwa Kenneth, kakak keenam-ku lahir empat belas bulan setelah kelahiran si kembar tiga. Jadi Tío Juan, kakak tertua Papi sering meledek bahwa itu adalah kasus kebobolan terbesar sepanjang sejarah Keluarga Garcia-Sharma. Meski sebenarnya itu memanglah sebuah kesengajaan yang disutradarai oleh Papi sendiri, untuk mencegah kepergian Mami menjadi relawan medis pada masa Perang Bosnia dulu.
Semua orang tahu itu, meski Papi sekalipun tak pernah memberi pembelaan dan selalu tersenyum bangga saat Tío Juan mulai meledeknya. Semacam cara juga untuk meredakan kekesalan Mami kala itu.
Ah, hampir saja melupakan Kevin, kakak keduaku. Mmmh bagaimana aku menjelaskan tentang dia? Dia introvert tapi pecicilan dan susah diatur. Hanya satu orang yang bisa jadi pawangnya, Yangti Aida. Lalu tambah satu orang lagi, kakak iparku, Ayarra yang sudah membuat Kevin benar-benar jinak sampai ketulang.
Keluarga besarku ‘berbeda’ dengan keluarga kebanyakan. Dulu sekali, dua kakekku menggabungkan kekuatan dan upaya mereka untuk menciptakan kerajaan bisnis mereka sendiri dari nol. Gold and Silver Corporation atau biasa disebut GS Corp. agar lebih mudah. Alih-alih memanfaatkan pengaruh yang dimiliki keluarga masing-masing, mereka lebih suka memulai semuanya dari awal dan dengan aturan yang mereka buat sendiri. Lalu setelah berpuluh tahun terlewati, para keturunan mereka yang mengurusi, menjaga, dan terus mengembangkannya. Itulah yang terjadi dulu sekali, hingga kini membuat beberapa dari kami terbiasa berpindah tempat dan jarang menetap terlalu lama di satu tempat tertentu. Terutama saat berada di usia produktif karena harus mengurus dan mengembangkan usaha yang sudah dirintis oleh para Generasi Pertama dari GS Clan. Atau yang sedang tren sekarang adalah membuat anak perusahaan baru yang potensial agar GS Corp. semakin kuat lagi.
Sepertinya harus ada sedikit lagi penjelasan tentang ini. GS Clan adalah sebutan yang diberikan oleh orang-orang GS Corp., kepada para anak turun dari Abuelo Segundo Garcia dan Yangkung Murad Sharma. Dilihat dari nama jelas mereka berdua tidak berasal dari rumpun yang sama. Kesamaan yang mereka miliki adalah sama-sama menjadi saudagar di usia muda dan menjadikan Indonesia, yang kala itu baru berusia lima tahun, sebagai tujuan mereka untuk mengembangkan usaha dan sambil mempelajari banyak hal. Lalu mereka menikah dengan dua wanita pribumi yang masih saling berkerabat jauh. Karena memiliki visi yang sama mereka pun memutuskan untuk bekerja sama. Lalu pada akhirnya mereka menjadi besan dan lahirlah aku menjadi salah satu anak turun mereka.
Semua keturunan Abuelo dan Yangkung hidup berkecukupan dalam hal materi. Pendidikan kami semua terjamin. Tapi masalah tetap saja muncul. Tentu saja karena materi tidak berperan banyak dalam masa tumbuh kembang anak-anak mereka. Hanya komunikasi, perhatian, dan pendampingan yang dibutuhkan (atau diinginkan lebih tepatnya). Jadi hal itulah penyebab para nenek terpaksa membuat beberapa orang untuk menetap di satu tempat tertentu dan menjadikan mereka pengasuh untuk anak dan para keponakan mereka. Sedangkan yang lain tetap menjalankan bisnis, atau mungkin bertukar tempat sesekali jika diperlukan. Hingga perang dingin antara orang tua dan anak-anak mereka bisa sedikit mereda.
“Ini salah kita sejak awal, Celesté. Kita tidak mempertimbangkan hal seperti ini akan terjadi. Kita fokus menjadi pendukung suami kita dan membuat anak-anak kita melakukan hal yang sama. Dan cucu-cucu kita………… jelas berbeda dengan orang tua mereka.”
“Tentu saja, Aida. Mereka hidup di jaman yang berbeda dengan kita. Bahkan hatiku sakit sekali saat Katherine menunjukkan protes yang sengit pada Miya. Miya menantu kita, tapi dia rela menerima kemarahan kita agar kekecewaan putrinya sedikit terobati.” Abuela menghela napas yang sarat akan kesedihan. “Kita sudah setua ini tapi belum becus mendidik anak. Kita masih harus belajar banyak, Aida. Katherine bukan yang pertama, tapi dialah yang benar-benar menyadarkan kita.” Tambahnya.
“Maka dari itu kita harus memperbaiki semuanya sebelum terlambat. Meski Miya sangat menyayangi kita, tapi tak seharusnya kejadian seperti kemarin terjadi.”
“Terlambat yaa…?” Ucap Abuela mengambang.
“Jika kita mati sebelum mendamaikan semuanya, itu akan benar-benar terlambat, Celesté.” Sahut Yangti. “Kita berdua tumbuh besar dengan didikan tata krama yang baik di lingkungan keluarga kita. Tapi kita lupa meniru cara Romo dan Ibu saat mendidik kita dulu.”
Abuela terkekeh pelan. “Anak-anak kita pintar menghasilkan banyak uang tapi mereka menjadi orang tua yang canggung untuk anak-anak mereka sendiri. Untungnya kita punya menantu-menantu yang cukup bijak dalam menghadapi mertua yang suka mengatur seperti kita.” Ucapnya dan diikuti dengan tawa yang sumbang.
Begitulah obrolan Abuela dan Yangti yang pernah kudengar pada suatu waktu. Kedepannya, mereka ingin cucu-cicit mereka tumbuh dengan lingkungan yang cukup stabil, tidak membuat mereka berpindah tempat terlalu sering adalah salah satu caranya.
Bagaimana denganku? Untungnya aku bukan anak yang berisik dan banyak mau. Aku cukup tenang dan mudah diatur. Mungkin kadang aku akan menanyakan Mami dan Papi sesekali, Abuela, Abuelo, Paman Ranjit dan Bibi Stevie akan memberi penjelasan padaku tanpa berbohong. Semudah itulah Gauri kecil.
Abuelo dan Abuela memutuskan akan menghabiskan masa tua di rumah peninggalan orang tua Abuela di Imogiri, dan mereka membawaku yang saat itu sudah berusia empat tahun bersama mereka. Karena Papi dan beberapa Tío-ku ditugasi oleh Abuelo untuk membereskan sengketa Sekolah Kedokteran Islam yang diwarisi Abuelo dari Bisabuelo-ku. Yeah intinya Abuela ingin aku tetap bersamanya saat itu.
Keprabon memang sudah ada yang menempatinya sejak awal. Pamanku Ranjit dan keluarganya. Dia putra Yangkung dan Yangti dan adik laki-laki tertua dari Mami. Jadi ada banyak orang disana. Aku tumbuh besar dan bersekolah disana bersama para sepupu. Daphne dan Davina, kembar yang setahun lebih tua dariku. Lalu ada Danisha Behan, kakak si kembar yang delapan tahun lebih tua dariku. Dia adalah kapten kami semua dalam melakukan banyak keusilan, ah maksudku dalam membantu Bibi Stevie, istri Paman Ranjit, dan ibu dari mereka bertiga. Satu lagi, ada Dallas, adik mereka yang paling kecil. Dia setahun lebih muda dariku.
Lalu di tahun keempat masa SD, Katherine datang untuk tinggal. Saat itu dia dalam kondisi tidak baik dengan orangtuanya. Dia anak yang pemurung dan pemarah waktu datang. Tapi jika ada kompetisi menjadi anak paling menyebalkan, maka tidak ada yang bisa mengalahkan Danisha Behan. Jadi dengan gampang dia membuat Katherine menjadi akrab dengan kami semua.
Continuara……