Bab enam

1061 Words
Dua bulan kemudian. Keadaan Arfan dan keluarganya semakin menyedihkan. Beban kehidupan mereka semakin hari semakin bertambah. Bara pernah datang untuk menawarkan kehidupan yang layak untuk Anita. Tapi Anita menolak mentah-mentah. Ia tak Sudi menjadi istri dari lelaki b******n seperti Bara. Uang tabungan Anita untuk kehidupan mereka pun semakin menipis. Walaupun sebagian uangnya ia gunakan untuk modal berjualan kue. Namun, penghasilan itu hanya habis untuk biaya makan. Sedangkan kebutuhan lain-lain tetap memakai uang dari tabungan Anita. Keterpurukan mereka bertambah saat mereka mendapatkan kabar jika Surya, suami Anita, ayah dari Arfan menjadi korban pembunuhan di dalam bui. Kesedihan mereka karena kehilangan kepala keluarga di tambah mereka yang tidak bisa berbuat apa-apa dalam mengusut kematian Surya karena keterbatasan biaya. Arfan yang masih sangat muda hanya bisa terdiam saat menyaksikan jasad ayahnya di masukkan ke dalam liang lahat. Bahkan air matanya tidak turun. Karena terlalu banyak beban kehidupan yang datang bertubi-tubi. Di dalam hatinya hanya terbesit dendam untuk membalaskan perbuatan Bara. Walaupun ia tak tau bagaimana caranya. Belum habis dukanya karena kehilangan sosok kepala keluarga, kembali keluarga Arfan di guncang. Cobaan dari Tuhan datang silih berganti. Giliran ibu Arfan yang ternyata menderita penyakit serius. Kangker serviks stadium akhir. Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk serta keadaan ibunya yang sakit parah, terpaksa Arfan putus sekolah. Sudah tak ada biaya untuknya melanjutkan pendidikan. Dan Arfan harus belajar bekerja untuk membantu ekonomi ibunya. Dengan latar belakang pendidikan yang hanya sampai pertengahan SMP, tentu tak ada pekerjaan layak yang bisa ia dapatkan. Menjadi buruh kasar adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan penghasilan. Hingga suatu hari. Di tengah keterpurukan mereka, dan di tengah kondisi ibunya yang sakit Arfan dan ibunya harus terlunta-lunta di jalan Karena di usir dari rumah sewa mereka. Akhirnya mereka menemukan sebuah gerbong tua yang sangat kotor. Arfan membersihkan gerbong itu agar bisa di jadikan tempat tinggal untuk mereka. Sampailah Arfan muda dengan penderitaannya. Ibu yang amat ia cintai. Sosok yang menjadi anggota keluarga satu-satunya meninggalkan dirinya dalam kesendirian di dunia ini. "Tetap jadilah dirimu sendiri nak. Jangan lupakan pesan-pesan ibu untukmu. Jadilah kau anak lelaki yang selalu menjaga harga dirimu walaupun dunia terus menertawakan kamu". Pesan terakhir ibunya sebelum kalimat syahadat sebagai penutup akhir nafasnya. Air mata dan penat terasa sesak memenuhi rongga d**a. Arfan menangis dengan memeluk jasad ibunya. Resmilah Arfan sebatang kara di dunia ini. "Tuhan. Kenapa cobaan ini datang dengan bertubi-tubi. Kenapa Engkau tidak memberikan kami kesempatan untuk menenangkan diri terlebih dulu. Sesak Tuhan. Sesak sekali rasanya d**a ini". Air matanya tak terbendung. Air mata yang akhirnya membobol pertahanan dirinya. Ia yang selama sanggup tegar dengan segala cobaan. Akhirnya pertahanan itu runtuh. Kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya, membuat Arfan seperti kehilangan sandaran kehidupan. Ia merasa kerdil di hadapan dunia yang terus menerus menertawakan dirinya. Buncah emosi memenuhi rongga otaknya. Air mata Arfan menetes saat mengingat masa lalunya. "Woy kerja. Pagi-pagi ngelamun aja". Seorang lelaki teman kerja Arfan membentaknya hingga ia tersadar dari lamunannya. "Napa nangis? Meratapi nasib lu". Pekerja yang lain ikut menertawakan Arfan mendengar ucapan lelaki itu. Arfan diam tak menggubris ucapan lelaki itu. Ia segera berdiri dan mulai bekerja. "Bang, pak mandor nggak datang ya?" Tanyanya pada rekan sesama kuli. "Belum datang kali. Palingan entar siang. Nape lu? Nggak sabar pen gajian ya?" Ledek kuli yang lain. Lagi-lagi Arfan tak menanggapi. Saat mereka sedang sibuk bekerja ada sebuah mobil masuk di dalam area proyek. Seorang pria memakai kemeja polos lengan panjang berwarna biru dengan helm proyek turun dari mobil. "Eh SPV datang. Nggak ada pemberitahuan kalo bakal ada kunjungan SPV". Ucap seorang lelaki yang menjabat sebagai kepala tukang. "Iya dadakan banget. Terus si mandor buncit itu malah belum datang". Timpal tukang yang lain. Lelaki berpakaian rapi itu berjalan ke arah para pekerja. Sementara mereka bekerja dengan tampak giat. "Selamat pagi". Sapanya ramah. Ia tersenyum melihat satu persatu pekerjanya. "Selamat pagi pak". Jawab mereka semua. "Bagaimana kabarnya semua?" "Alhamdulillah kami sehat pak". Jawab mereka bersamaan pula. "Syukurlah. Semangat pagi". Lelaki itu mengangkat kepalan tangannya menunjukkan sikap semangat. "Terima kasih pak". Mereka mengangguk. "Saya ke bagian belakang dulu untuk menyapa yang lain". Ucapnya, Kemudian berlalu. Pekerja di proyek ini ada sekitar dua puluh lima orang. Proyek pembangunan rumah sakit yang lumayan besar sehingga membutuhkan banyak pekerja. Mereka kembali bekerja saat seorang lelaki yang di ketahui sebagai SPV itu meninggalkan mereka. SPV yang bernama Rahmat itu berjalan berkeliling bersama seorang asisten. Mereka melihat para pekerja bekerja sesuai bagian mereka. "Pak Bani belum datang ya?" Tanya Rahmat. "Belum pak". Jawab seorang pekerja. Tanpa menambahi ucapan apa pun. Ya, setakut itulah mereka pada mandor bernama Bani. Sosok mandor yang di kenal semena-mena terhadap para pekerja. "Baiklah. Silakan lanjutkan". Perintah Rahmat. Ia sendiri kesal dengan sikap Bani yang tidak disiplin dalam bekerja. Rahmat sengaja datang dadakan supaya ia bisa memantau langsung kinerja di lapangan seperti apa. Sampai menjelang siang hari, tepatnya pukul sepuluh Bani baru saja datang. Padahal Arfan berniat untuk izin supaya ia bisa menjaga Ilham di rumah sakit. Bani datang dengan tampang pias. Ia tidak menyangka jika Rahmat akan berkunjung mendadak. Kenapa juga hari ini ia malah datang siang. "Pak". Ia menundukkan kepala sungkan saat melihat Rahmat yang sedang berdiri memantau pekerja. "Dari mana kamu?" Tanya Rahmat dengan tatapan tajam. "Ma maaf pak. Saya tadi ada urusan mendesak". Ucap Bani beralasan. Ia tak berani menatap wajah Rahmat. "Apa begini kinerja kamu setiap hari?" Tanya Rahmat kesal. "Ti tidak pak. Baru hari ini saya terlambat". Jawabnya ketakutan. "Saya tidak mau melihat besok-besok kamu yang terlambat lagi. Kalau sampai kamu terlambat, saya akan mengajukan pemotongan gaji kamu". Ancam Rahmat kesal. Ia pergi meninggalkan Bani yang masih menunduk. Bani yang merasa di permalukan mengepalkan tangannya kuat. "b*****t" ucapnya mengumpat. "Harga diri gue di permalukan di depan pekerja". Bani kesal setengah mati. *** Waktu dengan cepat merangkak menuju siang hari. Arfan bertekad untuk meminta izin kepada Bani agar di izinkan pulang dan bekerja setengah hari saja. Ia juga hendak meminta gajinya selama seminggu ini. "Permisi pak". Arfan mendekat ke tempat duduk Bani. "Apa lagi?" Tanyanya ketus. "Sa saya mau izin bekerja setengah hari saja pak..." "Setengah hari? Sesibuk apa sih kau itu sampai cuma mau kerja setengah hari?" Belum selesai Arfan bicara Bani memotong ucapannya. "Adik saya di rawat di rumah sakit pak. Saya mau menjaga adik saya". Ucapnya. "Hah, alasan adikmu lagi. Kenapa nggak mati saja dia sekalian". Bani berteriak keras. Arfan hanya diam mengepalkan tangannya kuat. Ia menahan gejolak Amarah. Menghadapi manusia seperti ini memang susah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD