Bel istirahat berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Menjadi ajang bagi para murid untuk sekedar merelaksasi pikiran dari mata pelajaran yang membuat otak terasa kaku. Begitu pula Nisa yang menghabiskan waktu istirahatnya di atap gedung sekolah sambil menyantap bekal makan siang yang dibuat oleh sang ibu. Ya, kali ini dia memilih membawa bekal makan siang karena tidak ingin kelaparan ketimbang meminta tambahan uang saku dari Mira. Nisa tidak ingin menambah beban ibunya setelah kemarin mendengar penjelasan bahwa biaya ia bersekolah dipotong dengan gaji bulanan sang ibu.
Bukan tanpa alasan ia memilih beristirahat di atap. Itu karena ia ingin menghindari teman-temannya yang bisa saja menanyakan tentang kehidupan pribadinya. Masih untung kemarin ia bisa lepas dari pertanyaan horor Rani karena Ameer yang lewat di depan kelasnya. Tapi kali ini atau mungkin esok bisa saja hal seperti kemarin kembali ditanyakan. Untuk itu Nisa bertekad untuk tidak terlalu akrab dengan murid lain hingga ia lulus sekolah. Agar ia tidak perlu berbohong atau pun di bully karena keadaannya.
“Dasar ibu, udah tau aku gak suka wortel. Masih aja dimasukin ke bekel,” gerutu Nisa begitu melihat irisan wortel di antara bekal makan siangnya. Entah kenapa sejak kecil dia memang tidak begitu menyukai wortel. Dia akan menyisihkan jenis sayuran yang kaya vitamin A itu ke pinggir piringnya.
Bel kembali berbunyi. Nisa pun segera turun dari atap kalau tidak ingin mendapatkan hukuman karena telat masuk ke kelas. Sebelumnya ia merapikan dulu kotak bekalnya dan menyimpannya kembali ke dalam tas. Karena terburu-buru, ia tidak sadar ada sesuatu yang terjatuh dari tasnya. Ia pun meninggalkannya begitu saja di atap sekolah.
“Nisa, Lo break dimana tadi? Kok kita ngga ngeliat Lo di kantin?” tanya Rani saat Nisa masuk kelas.
“Hmm.. gue ke perpus tadi.” Nisa berbohong. Lebih baik jika tak seorang pun tahu ia istirahat di atap karena ingin menghindari teman-temannya.
“Ohh. Kapan-kapan kita maen ke rumah Lo ya?”
Deg. Nisa menelan saliva mendengar pertanyaan Rani, sementara Diana dan Tari mengangguk antusias menunggu jawabannya. Lagi, Rani menanyakan sesuatu yang membuat Nisa harus berpikir keras bagaimana menjawabnya.
“Hmm.. boleh,” jawabnya ragu.
Selepas pulang sekolah, Nisa membantu pekerjaan ibunya menyiapkan makan malam. Tidak banyak yang harus dimasak, karena di rumah besar itu hanya ada mereka bertiga. Nisa, sang ibu, dan majikannya. Nisa sendiri belum tahu seperti apa majikan yang selama hampir lima tahun ini memperkerjakan ibunya karena ia baru pindah mengikuti Mira tiga hari yang lalu saat harus pindah sekolah. Sebelumnya Nisa tinggal bersama bibinya, selama ibunya bekerja. Mira hanya akan pulang sebulan sekali untuk berkumpul dengannya karena jaraknya yang lumayan jauh jika harus pulang-pergi setiap hari.
Sambil membawa nampan berisi makan malam, Nisa mengetuk pintu kamar majikannya. Biasanya ibunya yang akan melakukan pekerjaan itu, tapi melihat sang ibu yang sudah terlihat lelah, Nisa menawarkan diri untuk mengantarkannya. Nisa sedikit aneh dengan majikan sang ibu yang tidak pernah keluar kamar, bahkan selama hampir tiga hari disini, ia tidak pernah sekalipun melihatnya. Yang Nisa tahu, ibunya akan mengantarkan makanan saat waktu makan tiba dan mengambil piring kotor itu kembali beberapa saat setelahnya.
Sudah ketukan kedua Nisa layangkan ke pintu berwarna cokelat mengkilat di depannya, namun tak ada jawaban dari si empunya kamar. Ia mencoba meraih gagang pintu dan memutarnya, Nisa kaget saat pintunya terbuka tanpa dikunci.
“Apa gue masuk aja ya?” gumamnya sendiri. Perlahan ia memasuki ruangan kamar yang dua kali lebih luas dari kamarnya. Segala sesuatu yang ada di dalam tertata dengan rapi membuat kagum siapapun yang memandangnya.
Nisa meletakkan nampan di atas meja dengan hati-hati karena banyak buku di sana. Ia tidak tahu buku apa, tapi dari salah satu buku yang terbuka sampulnya ia lihat sekilas tulisannya menggunakan bahasa asing. Bahasa yang Nisa sama sekali tidak mengerti artinya.
“Siapa kamu?!”
Suara seseorang mengagetkan Nisa yang hendak memutar balik badannya. Dan sialnya, tanpa sengaja ia menyentuh jus jeruk yang tadi dibawanya dan menumpahi beberapa buku yang tergeletak di sana. Mampus gue. Batinnya.
“Siapa kamu dan apa yang kamu lakukan dikamar ku?” tanya orang itu lagi yang belum menyadari apa yang baru saja terjadi. Ia berjalan mendekat dan matanya membelalak saat melihat buku yang belum selesai ia baca sudah basah oleh jus jeruk.
Tak berbeda jauh dengan Nisa, gadis itu melotot kaget saat melihat siapa seseorang yang kini berdiri di hadapannya dengan sorot mata menusuk. Kenapa jadi dia?.
“Apa yang sudah kamu lakukan?” Meski terkesan datar, tapi nada dingin itu tidak bisa disembunyikan. Terlebih sorot mata tajam Ameer yang seakan menembus kepala lawan bicaranya membuat Nisa tak berkutik. Ya seseorang dari pemilik kamar itu adalah Ameer. Dan itu artinya, Ameer adalah majikan ibunya.
“Ma-maaf. Saya tidak sengaja,” ucap Nisa sambil menunduk. Ia semakin merasa bersalah saat bayangan ia menuding Ameer kembali terlintas. Ia benar-benar takut sekarang. Bukan takut akan kemarahan Ameer, tapi takut kalau keadaan dia yang sebenarnya akan segera diketahui oleh teman-temannya.
“Kalau kamu sengaja itu artinya cari mati.” Nisa meneguk ludah mendengar ucapan yang tidak terduga itu. Tapi itu belum seberapa, yang membuat ia juga meradang adalah ucapan Ameer selanjutnya. “Dasar tidak tahu sopan santun!”
Kalau saja Nisa tidak ingat siapa dirinya dan siapa Ameer, mungkin ia sudah melayangkan bogem mentah ke wajah pria sombong di depannya. Bagaimana pria judes dan sombong seperti Ameer di gilai banyak siswi di sekolahnya. Nisa sampai bergidik ngeri membayangkannya. Pokoknya sampai mati ia tidak akan tertarik dengan cowok macam Ameer. Titik!
“Ngapain masih berdiri disini?” ucapan Ameer membuyarkan lamunan sesaat Nisa. Keluar!” kata pria itu lagi sambil menunjuk pintu keluar.
Nisa berjalan ke pintu keluar dengan perasaan dongkol bersarang di dadanya, namun ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Ia membalikkan badannya.
“Maaf, boleh tidak saya minta tolong untuk tidak menceritakan keadaan saya di sekolah?”
Ameer menghela napas. Lalu menyorot lebih tajam, “keluar!” ucapnya lagi dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya. Berhasil membuat Nisa ngacir dari kamar itu.
“Dasar kamvret. Ngomong pake teriak-teriak segala. Pengen gue tampol aja rasanya,” gerutu Nisa sambil menghentakkan kakinya kesal.
***
Pagi ini Nisa tidak begitu bersemangat berangkat ke sekolah. Alih-alih naik bis, ia memilih berjalan kaki agar memakan waktu lebih lama untuk sampai di sekolah. Pikirannya dipenuhi ketakutan mengingat kejadian semalam yang sungguh di luar dugaannya. Bagaimana kalau Ameer membocorkan rahasianya? Bagaimana kalau ia di bully lagi seperti sebelumnya? Tiba-tiba saja kaki mungilnya terasa berat melangkah. Membuatnya semakin kesal saja. Ia belum siap kalau teman-temannya tahu keadaannya yang sebenarnya.
“Arghh” gerutunya kesal. Sangking kesalnya, ia menendang kaleng bekas minuman yang ada di depannya ke sembarang arah guna melampiaskan kekesalannya. Dasar kaleng yang malang!
“Awww,” tiba-tiba terdengar erangan seseorang dari kejauhan. Sambil mengelus kepalanya yang nyeri, ia mencari tahu siapa orang yang berani menendang kaleng bekas itu hingga mengenai kepalanya. Saat melihat seorang gadis yang mematung tidak jauh dari tempatnya, ia pun bergegas menghampiri. Raut kesal jelas terlihat di wajahnya.
“Eh s****n. Lo yang nendang barusan?”
Nisa menggeleng cepat. “B-bukan gue.”
“Alahh. Lo ngga usah bo’ong. Disini ngga ada orang lain selain Lo. Mau cari mati?”
Nisa tercekat. Mendengar kata-kata itu mengingatkannya pada kejadian semalam. Siapa juga yang ingin cari mati? s****n, batinnya.
“Beneran bukan gue. Kalo ngga percaya tanya aja sama dia!”
Laki-laki itu mengikuti arah telunjuk Nisa yang mengarah ke belakang. Keningnya berkerut sambil mencari orang yang dimaksud. Tidak ada orang, pikirnya. Dan saat ia berbalik, ia mendapati Nisa yang sudah menghilang entah kemana.
“s****n. Gue di bo’ongin,” gerutunya kesal.
Sambil ngos-ngosan, Nisa terus berlari sambil sesekali melihat ke belakang. Takut kalau laki-laki tadi mengejarnya. Hingga akhirnya ia bisa bernapas lega saat memasuki gerbang sekolah.
“Hufftt hampir saja!” Nisa menghapus keringat yang membasahi pelipis dengan lengannya sambil terus berjalan menuju kelas. Dalam hati ia berkata, mau tidak mau, ia harus menyiapkan diri kalau sampai Ameer membeberkan rahasianya.
Namun begitu memasuki kelas, tidak ada seorang pun menyinggung hal yang ia khawatirkan. Teman-temannya masih menyapanya seperti biasa. Tidak ada ejekan apalagi bully-an seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Apa cowok sombong itu belum menceritakan apapun? Syukurlah, Nisa mengangkat bahunya tak acuh.
“Nisa, hari Minggu Lo kemana? Ikut kita nonton yuk!” Rani menghampiri Nisa begitu melihatnya duduk dan disusul Diana juga Tari.
“Nonton?” Nisa tampak berpikir sejenak. Boro-boro nonton di mall, uang saku yang selama ini dia terima saja tidak cukup untuk makan di kantin sekolah apalagi buat nonton di bioskop.
“Iya. Gue yang traktir,” sahut Tari dengan semangat. Ada rona merah yang terpancar dari wajahnya yang imut menurut Nisa. Di antaranya ketiga teman barunya, Tari lah yang terlihat paling cantik.
“Ciyee yang habis jadian tuh!” ledek Diana.
“Jadian? Sama siapa?” Nisa menatap Tari dengan tatapan antusias, penasaran siapa laki-laki itu.
“Sama Nathan anak kelas XII IPA 4.” Timpal Rani.
Nisa mencoba mengingat nama yang baru saja disebutkan Rani, meskipun belum lama bersekolah disini, tapi nama Nathan cukup terkenal di kalangan para murid karena ia adalah kapten basket. Jadi tidak sulit bagi Nisa untuk mengetahuinya. Menurutnya Tari dan Nathan adalah pasangan yang serasi.
Setelah lama berpikir, akhirnya Nisa menyetujui ajakan ketiga temannya untuk nonton di akhir pekan. Ia juga merasa tidak enak kalau menolak ajakan mereka untuk pertama kalinya. Toh di traktir ini, pikirnya. Meskipun dalam hati ia mengatakan akan menolak ajakan-ajakan mereka selanjutnya.
Bel berbunyi. Semua murid masuk ke kelas sambil berbisik membahas sesuatu dengan wajah mereka yang terlihat tidak senang.
"Gue kira dia bakal di Do dari sekolah. Eh ternyata kagak."
"Pasti bakal buat onar lagi deh dia."
Dua orang yang duduk di depan membicarakan sesuatu yang tidak ia pahami. Alih-alih kepo, Nisa malah tidak memperdulikan apa yang sebenarnya mereka bahas dan memilih mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Namun ia panik saat tidak menemukan buku tugas yang harus ia kumpulkan hari ini juga. Ia mengeluarkan semua isi tasnya dan mencari ulang buku tersebut sebelum akhirnya,
"minggir!" seseorang menendang kursinya yang membuatnya terkejut. Sebenarnya bukan karena tendangan itu yang membuatnya terkejut, tapi orang yang melakukannya.
"Elo?" tanya orang itu dengan mata melotot saat melihat Nisa dengan wajah piasnya.
Mati gue.
Note Author : Sebelumnya terimakasih buat yang sudah mampir di cerita ini. Untuk mendukung author melanjutkan bab selanjutnya, jangan lupa untuk meninggalkan love ya..? Semoga cerita ini lolos seleksi dan author bisa segera update ke bab berikutnya ???