Yang menunggumu pulang

1705 Words
"Kau dari tadi memegang benda itu?" Kevin menatap Mashi tak percaya. "Hanya saja aku ingin melihat kalian menyelesaikan semuanya," ucap Mahi dengan wajah menjengkelkan. Kevin segera berlari dan mengambil kertas kode batang dari tangan Mashi. Dia dengan gemetar mendekatkan kode tersebut ke pemindai yang berada di dinding lalu menunggu monitor menampilkan nama barang yang ada diterjemahkan dari kode tersebut. Minuman soda, itu nama barang di kode batang terakhir. Semua orang menunggu dengan cemas sambil menahan napas mereka. Beberapa detik kemudian, layar monitor berubah menjadi warna hijau. Clek! pintu ketiga terbuka. Baru kali ini ekspresi semua orang berubah. Mereka tampak gembira. Ketika Mashi melakukannya untuk pertama dan kedua kali, mereka hanya mengikuti saat pintu terbuka, mereka hanya memikirkan nyawa yang suatu saat bisa saja melayang. Namun saat ini ada kepuasan tersendiri tersirat di wajah mereka. Jaden mengepalkan tangannya, lalu berlonjak. Sunny dan Marry saling bertepuk tangan dan berpelukan, David tersenyum lega, dan Kevin menghela nafas lalu menatap Mashi dengan senyum bangga. Mashi berdiri lalu mengangjat bahunya, dan Jun Liu hanya bisa diam tanpa bisa melakukan apapun. Kevin dan yang lainnya merasakan kepuasan tersendiri, karena mereka ikut berpartisipasi dalam mencari petunjuk untuk membuka pintu ketiga ini. Tiga menit waktu tersisa. Itu cukup untuk semua orang berjalan santai menuju ke ruangan selanjutnya. Jun Liu dengan senjata api di tangganya berjalan terlebih dahulu ke ruangan tersebut. Yang lain hanya melihatnya sambil menghela nafas. Menyadari sifat Jun Liu. Mereka tak ingin banyak bicara dan membuang waktu untuk protes. "Ok, wanita terlebih dahulu," Jaden mengulurkan tangannya kearah pintu mempersilakan Marry dan Sunny untuk jalan masuk. Marry dan Sunny tersenyum. Mereka memasuki ruang selanjutnya sambil bergandengan tangan. Setelah Marry dan Sunny masuk ke dalam, Jaden dan mempersilakan dirinya sendiri. Dia membusungkan d@da memasuki ruangan selanjutnya dengan senyum terkembang di wajahnya. David, Mashi dan Kevin mengikuti. Begitu Kevin masuk, seperti ruangan sebelumnya, tiba-tiba pintu ruangan tersebut tertutup. Kini mereka berada di ruangan baru dengan pemandangan yang sangat tidak masuk akal. Tempat mereka berdiri saat ini tidak bisa disebut ruangan. Lebih tepatnya ini seperti hutan pinus. Mereka semua menatap sekeliling. Sebagian mengira bahwa mereka telah keluar dari ruangan tempat mereka selama ini dikurung. Karena mereka seperti berada di luar ruangan tak ada terlihat dinding dan kode sandi yang terpasang seperti di ruangan sebelumnya. Hanya ada hutan pinus yang tampak luas dan Itu benar-benar sangat membingungkan. "Dimana kita? apa kita sudah keluar? apa permainan sudah selesai?" Marry tampak senang. "Permainan tidak mungkin selesai. Hutan yang kita lalui saat memasuki tempat ini tidak memiliki pohon pinus sebanyak ini," ucap Kevin. Dia tampak waspada. Apa saja bisa terjadi, terlebih di tempat seperti ini. "Tapi bisa saja kita berada di bagian hutan yang berbeda. Ingat, kita sudah menyintas dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Benar, kan?" Jaden juga sepemikiran dengan Marry. Namun, Kevin, Mashi, termasuk Sunny masih meragukannya. Tidak mungkin mereka keluar semudah itu. Bagaimanapun dipikirkan, semua tidak masuk akal. David mencoba berkeliling untuk memeriksa sekitar, sementara Jun Liu, sejak masuk tadi tak ada yang tahu dia dimana. Yah, yang lain merasa lega bahwa Jun Liu tidak bersama mereka. Jadi, mereka tidak mempermasalahkan keberadaan Jun Liu sama sekali. "Pintu masuk yang kita lewati tadi ... apa memang sejak awal tidak ada?" Sunny menoleh ke arah mereka masuk. Benar saja, pintu yang harusnya ada di belakang mereka telah menghilang entah sejak kapan. Tak ada yang menyadari karena mereka terpana dengan apa yang mereka lihat di tempat tersebut. "Kita tidak mungkin benar-benar sudah keluar, kan?" ucap Sunny kemudian. Kevin menatap ke arah yang sama dengan Sunny. Dia kemudian menggenggam kunci T yang tak pernah lepas dari tangannya, lalu mengambil ancang-ancang. "Kevin, kau mau apa?" tanya Jaden penasaran. Sementara Mashi sejak tadi tak bergerak dari tempatnya. Mungkin saja saat ini otaknya kembali lelah dan tak ingin melakukan apapun seperti sebelumnya. "Kevin, kau mengarahkan lemparanmu kemana?" tanya Marry. Dia merasa Kevina akan melempar kunci T di tangannya, melihat dari gerak gerik yang dilakukan pemuda itu. "Itu arah kita masuk, kan? kita hanya berjalan tiga meter dari pintu masuk, dan langsung tidak bergerak karena kaget dengan tempat ini," ucap Kevin kemudian. "Ya benar, tapi kau mau apa?" tanya Marry lagi. "Ingin membuktikan sesuatu," ucap Kevin, dia kemudian maju beberapa langkah, mengambil nafas panjang, lalu bersiap melempar. Semua orang menahan nafas. Beberapa detik kemudian. Kevin melemparkan kuncinya sekuat tenaga. Buk! kunci tersebut mengenai sesuatu. Tiba-tiba sekitar mereka seperti bergelombang. Kunci yang dilempar Kevin membentur keras seperti menghantam dinding. Kevin terkekeh. Mashi menggelengkan kepala lalu menghela nafas. "Tentu saja akan ada pembatas itu," ucap Mashi, lalu melipat tangannya. "Maksud kalian apa? pembatas apa yang kalian bicarakan?" tanya Jaden yang penasaran. "Hologram. Sekarang kita di kelilingi hologram, yang membentuk dinding. Dengan kata lain, kita masih berada di dalam ruangan," jelas Kevin. "Maksudmu ... ini bukan hutan asli?" Marry terdengar kecewa. "Si g!la ini pasti sangat kaya. Dia menciptakan semua ini pasti dengan biaya yang tidak sedikit," Kevin menatap ke sekitar lalu mencoba berpikir keras, "Tempat ini terlihat sangat luas. Mana pintu menuju ruangan selanjutnya?" gumamnya kemudian. "Bagaimana mungkin kita masih berada di dalam ruangan, kegilaan macam apa ini!" seru Jaden lalu mengacak rambut ikalnya yang tampak sudah berantakan. "Psikopat itu bukan pemilik supermarket, ataupun pekerja lainnya. Dia adalah orang kaya berpendidikan yang menggemari teknologi. Lihatlah desain ruangan palsu ini. Sangat nyata," ucap Mashi sambil berkeliling melihat kesana kemari. Dia sedikit takjub dengan teknologi canggih yang dimiliki oleh psikopat yang mengurungnya. "Sekarang kita harus bagaimana?" tanya Marry kemudian, "Bagaimana mungkin tempat senyata ini adalah palsu," ucapnya lagi tak percaya dengan apa yang dia lihat. "Tempat ini bisa dikatakan palsu, dan nisa juga tidak. Mungkin saja hanya dinding yang terbuat dari hologram saja yang palsu, dan yang lain merupakan hutan pinus asli." Kevin menyentuh pohon di depannya. "Itu sama saja. Tetap saja kita belum keluar dari ruangan menyebalkan ini," Sunny terlihat frustasi. "Teman-teman ikut aku," terdengar suara David memanggil mereka. Semua menoleh ke arah David yang sebelumnya pergi untuk mendapatkan informasi tentang tempat dimana mereka berada sekarang. "Kau menemukan sesuatu?" tanya Jaden lalu melangkah dengan lelah ke arah David. "Ada rumah di tengah hutan ini. Aku sudah memeriksanya dan itu aman. Mungkin saja rumah itu disediakan untuk kita mencari petunjuk ke ruang selanjutnya. Karena di pintu lain di rumah itu terdapat kode pintu." Jelas David. "Hmm itu pasti pintu untuk menuju ruang selanjutnya." Mashi menarik nafas sekali, lalu beranjak ke arah yang David sebutkan. "Kita juga pergi," ucap Jaden kepada Sunny dan Marry. Mereka mengikuti Mashi menuju rumah yang dimaksud David, karena tidak ada pilihan lain lagi. "Kunciku," Kevin mengambil kunci yang kita sudah menjadi akrab dengannya tersebut, dan ikut beranjak. David mengarahkan jalan. Mereka berjalan selama hampir lima belas menit, lalu kemudian menemukan sebuah rumah, bisa dikatakan gubuk kecil terbuat dari kayu dan tampak nyaman. "Ini seperti rumah penebang kayu yang ada di film-film," ucap Jaden kemudian lalu segera masuk ke rumah tersebut. Semua orang memasuki rumah mungil itu, benar saja. Di dalamnya begitu hangat, terdapat perabotan sederhana yang semuanya terbuat dari kayu, bahkan ada jerami kering yang di letakkan di samping perapian. Dan setelah masuk lebih jauh, ada sebuah pintu yang memiliki kode sandi di sampingnya. "Jadi, sekarang kita harus mencari petunjuk untuk membuka pintu?" ucap Sunny kemudian sambil menghela nafas jengah. "Aku benar-benar muak dengan ini," sambung Jaden. Lalu duduk di sebuah kursi kayu dan menyandarkan kepalanya sambil menutup mata. "Tak perlu terburu-buru, masih banyaj waktu. Aku akan mencari petunjuk, kalian beristirahatlah," ucap David. Dia menatap sekeliling. Walau dia tak mengerti arti tempat ini, dia tetap harus mencari sesuatu. Atau satu jam berlalu dan salah satu dari mereka akan mati. "Sudah berapa lama kita terkurung disini?" tanya Kevin sambil memeriksa jam tangannya yang entah kapan, namun benda tersebut sudah berhenti berdetak, sepertinya sudah cukup lama. "Mungkin sekitar lima atau enam jam?" ucap Marry kemudian. "Apa matahari di tempat ini bersinar seperti di luar? kalau benar, lihatlah matahari sekarang sudah condong, sebentar lagi gelap artinya kita sudah menghilang hampir dua puluh empat jam," David menunjuk matahari yang mulai tenggelam. Kevin mendesah, dia mengacak rambutnya lalu terduduk lemah, "Ibuku pasti akan mencariku," gumamnya. "Kakakku pasti akan cemas, jika kakakku melapor ke polisi, mungkin polisis bisa melacak kita, " ucap Sunny kemudian. "Aku tak punya siapapun yang menungguku," sambung Jaden dengan matanya yang masih tertutup, "David, bagaimana denganmu?" "Yah, pemilik warnet tentu saja akan mencariku. Aku sudah bolos kerja selama beberapa jam," jawab David. Walau tak terlihat lelah seperti lainnya, David juga memiliki tekanan. Dia sebenarnya juga frustasi. Tapi, karena lebih dewasa dari yang lain yang ada bersamanya saat ini, David memilih untuk tetap tenang dan menenangkan mereka semua. Beberapa detik kemudian, semua orang kini menatap ke arah Mashi. Berharap Mashi bercerita tentang keluarganya, tentang siapa yang paling khawatir ketika dia menghilang seperti ini. Walau membalas tatapan mereka dengan wajah datar, tapi Mashi mengerti apa yang mereka tunggu. Mashi kemudian menunduk, dia menarik napas panjang. baru kali ini Mashi terlihat agak sedih. "Aku punya Yama, yang menungguku di rumah?" ucapnya kemudian. "Yama? siapa dia? orang tuamu? atau saudaramu yang lain?" tanya Jaden penasaran. "Kucing peliharaanku. Dia selalu menungguku di pintu. Ketika aku pulang dia menyambutku dengan hangat. dia pasti kesepian sekarang," ucap Mashi lagi. Semua orang saling pandang. Itu hanya hewan peliharaan, tapi entah mengapa suasananya menjadi begitu sesak saat Mashi menceritakannya. "Tak masalah, kawan. Kita akan keluar dari sini," Kevin menepuk pundak Mashi. Kini Kevin telah benar-benar menganggap Mashi teman. Traumanya kehilangan Justin, membuat Kevin bertekad kali ini. Dia menatap semua orang yang ada di ruangan satu persatu. Awalnya Kevin ketakutan, dan menganggap mereka semua orang asing. Namun, kini dia tak ingin kehilangan mereka semua, seperti dia kehilangan Justin. "Permainan ini tak akan berakhir hingga pembunuhnya ditemukan dan dibunuh. Atau semua yang bukan pembunuh mati, hingga menyisakan si pembunuh. Aku tahu itu, itu aturannya. Tapi, seperti kata David. Kita harus keluar dari sini. Tentu ada cara lain. Ini adalah dunia nyata sebenarnya. Bukan permainan yang kita mainkan secara online. Jangan sampai ada yang terbunuh lagi. Kalian harus pulang, walaupun tak ada yang menunggu kalian di rumah," ucap Kevin sambil menatap Jaden, karena laki-laki itu mengatakan bahwa tak ada yang menunggunya di rumah. Kevin lalu mengarahkan pandangannya pada Marry. Yang mereka semua tahu telah kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya. Marry tersenyum tipis lalu mengangguk pelan, "Aku masih punya orang tua. Mereka juga pasti menungguku," ucap Marry kemudian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD