Tentang Mashi

2003 Words
Benar-benar gila bahwa mereka harus mengumpulkan tiga puluh mili liter darah. Bagaimanapun dipikirkan, maksud dan tujuan si ps*ikopat masih belum jelas. Garis besar yang dapat mereka ambil adalah, si manusia atau bisa juga sejenis makhluk yang lain itu hanya ingin bersenang-senang dengan melihat penderitaan orang-orang. Darah Kevin berhenti menetes. Darah menggenang di bawah garis dua puluh mili liter dari tabung itu. Yah hanya butuh sedikit lagi, mungkin lima kali tetesan sudah membawa mereka ke dua puluh mili liter dan butuh sepuluh mili liter lagi agar semuanya beres. Jaden beranjak dari duduknya, lalu ikut mengiris telapak tangannya, "Bukankah ini lucu? hahaha, kita seperti sekte sesat yang sedang membuat perjanjian darah," Jaden terkekeh, namun rasa perih di lukanya membuat dia meringis. Kini tabung tersebut hampir penuh, butuh sekitar lima hingga enam mili liter lagi agar mencapai garis tiga puluh mili liter yang diminta oleh ps*ikopat tersebut. Baik Kevin, David, dan Jaden terdiam. Mereka tidak mungkin meminta para wanita ikut mengiris tangan mereka. Sementara Jun Liu sudah pasti tidak akan mau membantu. Harapan satu-satunya hanya Mashi. Mashi yang bisa dikatakan tak memiliki ekspresi itu ternyata punya inisiatif. Dia berdiri dari duduknya, lalu ikut mengiris telapak tangannya. Semua orang menatap Mashi. Hal yang membuat takjub adalah. Mashi meringis ataupun membuat ekspresi yang berarti seolah dia kebal akan rasa sakit. Dia dengan santai menuangkan darahnya ke dalam tabung, bahkan tabung tersebut terisi penuh hingga melimpah keluar. Mashi merasa bahwa dia sedang diperhatikan. Dia lalu menatap teman-temannya, kecuali Jun Liu tentunya. "Aku selalu mendapatkan luka, bahkan lebih parah dari ini," ucapnya dengan nada suara yang begitu santai, seperti ekspresi wajahnya saat ini. "Wuah, kau benar-benar aneh, kawan. Tapi itu menakjubkan," Jaden spontan bertepuk tangan, "Akh!" dia meringis setelah dia sadar, bahwa dia menepuk lukanya sendiri. Mashi kemudian menutup wadah yang sudah mereka penuhi dengan darah, lalu meletakkan wadah tersebut ke tempatnya semula. Semua orang menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi. Namun, belum sempat mereka berkedip. Wadah berisi darah yang diletakkan di dinding sebelah kode sandi tiba-tiba menghilang. Wadah tersebut seperti di tarik dari sebelah dinding lalu dinding tersebut berputar hingga menjadi datar seperti semula. "Apa-apaan ini? siapa yang mengambil wadah itu?" tanya Marry terheran-heran. "Sudah pasti orang gila itu. Dia benar-benar mempermainkan kita," ucap Kevin sambil mengepalkan tangan yang sebelumnya telah dia sayat. Tiba-tiba layar hologram kembali muncul. Semua orang menengadah untuk membaca tulisan yang muncul di layar tersebut. "Selamat. Kalian sudah menjalankan misi dengan baik. Waktu bebas untuk malam ini. Selamat beristirahat. Besok kalian harus membuka pintu paling lambt pukul tujuh pagi. Tik tok tik tok, waktu kalian sangat berharga, bukan? sampai jumpa besok," Hologram tersebut menghilang. Kevin dan yang lain bernafas lega. Walaupun mereka masih belum bisa keluar dari tempat itu, dan besok harus kembali menghadapi bahaya lagi, setidaknya malam ini mereka bisa beristirahat. Waktu istirahat yang berharga karena didapat dengan sush payah hingga berkorban darah. Tiga puluh menit berlalu sejak pemberitahuan dari layar hologram. Jun Liu tertidur hingga mendengkur keras. Bahkan saat tidur saja dia sangat menyebalkan. Kevin duduk di sebelah Mashi yang tampak menutup matanya. Tidak pasti pemuda itu tidur atau tidak. Dia tak bergerak sama sekali seperti orang tertidur pulas. Namun, dia bisa mendengar suara helaan nafas sekalipun. "Aku bisa mendengarmu. Bernapaslah dengan baik, untuk sangat mengganggu." Ucapnya saat Kevin menghela nafas berkali-kali, dan dia mengatakan itu sambil menutup matanya. David tampak paling kelelahan diantara mereka semua akhirnya ikut tertidur. Marry dan Sunny juga demikian. Yang benar-benar membuka matanya hanyalah Kevin, dia sibuk berpikir tentang identitas Pembunuh. Hingga dia tak mampu memejamkan mata. "Hai teman, kau tak bisa tidur?" Jaden baru saja masuk. Dia dari luar membawa beberapa kayu bakar dan menaruh jayu tersebut ke perapian m, agar mereka tetap hangat. "Apa di luar sana benar-benar gelap?" tanya Kevin penasaran. "Hmm, seperti yang kau lihat malam benar-benar muncul disini," ucap Jaden sambil terkekeh. "Berarti kita benar-benar di dalam hutan pinus," "Yah, aku rasa hutan ini tidak mungkin palsu. Hanya saja, kita dikelilingi tembok tak terlihat dan di lapisi hologram seperti yang kau katakan." Jaden selesai dengan urusannya di perapian. Dia kemudian duduk di samping Kevin sambil tersenyum, "Apa otaku itu sedang tidur?" tanya Jaddn kemudian. "Dia bisa mendengarmu," ucap Kevin. "Yang benar saja," "Aku bisa mendengarmu, cerewet," tiba-tiba Mashi bersuara. "Kau lihat?" Kevin menunjuk Mashi dengan matanya, lalu dia terkekeh bersama Jaden. "Teman kita yang satu ini benar-benar ajaib," ucap Jaden lalu memeriksa luka di tangannya, "Bagaimana luka di tangan kalian? apakah masih sakit?" tanyanya kepada Kevin dan Mashi. Walaupun Mashi tampak tak peduli dengan celotehannya. "Tentu saja masih sakit. Darahnya mengering, namun lukanya tidak tertutup," Kevin menatap tangannya. "Lukamu tidak akan tertutup dengan cepat, kecuali kau alien atau manusia dengan kekuatan super," celetuk Mashi. Masih dengan mata tertutup. "Benar juga. Hei, kau tidak merasakan sakit sana sekali?" tanya Kevin. Dia sangat penasaran dengan Mashi yang menyayat tangannya tanpa ekspresi. "Siapa bilang aku tidak sakit?" "Kau sepertinya tidak merasakan sakit. Bahkan ekspresimu tidak berubah," "Tidak berekspresi bukan berarti tidak sakit. Aku hanya sudah terbiasa dengan luka." "Bagaimana mungkin? kau tak terlihat memiliki bekas luka sebelumnya. Lihatlah kulitmu, pucat, putih bersinar, seperti wanita," Jaden ikut penasaran. Kulit pucat Mashi memang benar-benar bersih. Jangankan bekas luka, bahkan kau tidak akan menemukan goresan halus di kulit itu. Bagaimana dia bisa mengatakan bahwa dia terbiasa dengan luka? "Kawan, luka yang kau maksud ... apakah luka dalam? ya, kalian tahu istilah, sakit yang mengalahkan semua penyakit bahkan luka sekalipun. Sakit hati. apa kau juga mengalami?" tanya Jaden kemudian. "Ayahku seorang dokter, dan ibuku pemilik kosmetik. Aku tahu bagaimana menghilangkan bekas lukaku dengan belajar dari keahlian mereka berdua." "Maksudmu ... orang tuamu yang ada di jepang? wah, ternyata kau bukan anak sembarangan. Baiklah kawan, aku tak mempermasalahkan sikapmu yang sedikit aneh. Karena kau dari keluarga luar biasa. Aku mengerti mengapa kau seperti ini," Jaden mengangguk ke arah Mashi, yang tentu saja tak ditanggapi Mashi karena dia bahkan belum membuka matanya. "Tapi, bagaimana kau bisa mendapatkan banyak bekas luka?" tanya Kevin masih penasaran. "Apa sekarang waktunya untuk menbagi cerita hidup masing-masing?" Mashi tersenyum tipis. Yah, itu ekspresi kedua yang mereka lihat dari Mashi selain wajah datarnya. "Karena kita tidak bisa tidur, sebaiknya kita bicara saja," ucap Jaden kemudian.. "Atau kalian bisa beranjak dan berpikir bagaimana caranya menemukan kode sandi untuk ruangan selanjutnya," "Tidak. Bukan hanya tak bisa tidur, aku juga tak bisa berpikir. Aku takkan bisa menemukan kode itu karena kepalaku sakit," Kevin bersandar lalu memijit-mijit kepalanya. "Hm, benar. Mari manfaatkan waktu istirahat ini sebaik-baiknya. Siapa yang tahu. Saat kita bercerita, kita akan mengantuk dan tertidur seperti mereka," Jaden menunjuk ke empat orang lainnya yang tengah tertidur pulas. "Hei, Jaden. Bukankah tadi kau mengantuk? sebaiknya kau tidur saja," "Kevin Mc Grown. Kau mengkhawatirkan aku?" Jaden tersenyum jahil menanggapi perkataan Kevin. "Jangan tersenyum seperti itu. Jika kau tidak mau tidur, ya sudah." Kevin merengut, lalu menengadahkan pandangan ke langit-langit kayu di atasnya. Dia menghela nafas berkali-kali. Terakhir, dia menarik nafas panjang. Pikirannya terus saja berkecambuk. Tentang mengapa dia harus penasaran dan pergi ke tempat ini. Tentang, mengapa ps*ikopat g!la itu mengurung mereka disni. Tentang, siapa sebenarnya ps*ikopat itu. Apa dia benar-benar melakukan semua ini untuk bersenang-senang? menghilangkan nyawa seseorang, apa itu termasuk kesenangan? "Hei, mengapa sunyi sekali. Mashi, bukankah kau mau bercerita tentang dirimu?" Jaden bicara, setelah beberapa menit kesunyian menyelimuri mereka semua. "Siapa yang mengatakan aku mau bercerita? kau hanya mengarangnya sendiri," "Ayolah, kawan. Aku penasaran sekali. Bukankah kita disini awaknya hanya orang asing? siapa yang menjamin jita bisa hidup hingga akhir. Setidaknya, jika salah satu dari kita adalah pembunuh, maka harus dibunuh, kan? agar permainan ini selesai dan setiap orang bisa keluar, pulang ke rumah mereka masing-masing." "Jaden ada benarnya. Mashi, kau tak mau bercerita tentang itu? setidaknya ceritakan pengalaman bagaimana menjadi otaku," Kevin sepertinya hanya ingin mendengar cerita. Tak masalah tentang luka Mashi, ataupun tentang otaku. Dia hanya ingin mendengar sesuatu saat ini. "Orang tuaku sangat keras," ucao Mashi kemudian. Akhirnya dia bersedia bercerita tentang kehidupannya. Walaupun dengan mata tertutup dan ekspresi yang tidak berubah. "Ayahku selalu memukuliku jika nilaiku turun sedikit saja, lalu ibuku juga posesif. Dia kadang juga memukuliku, suatu hari dia bahkan menusuk lenganku. Namun, setelah itu, ayahku akan mengobatiku, dan ibuku akan membuat semacam riasan untuk menutupi bekas lukaku." "Dulu orang tuaku juga sering memukuliku. Tapi sekarang tidak lagi," ucap Jaden. "Tentu saja. Karena kau sudah dewasa. Orang tua mana yang memukuli anaknya jika sudah berusia wajib menikah seperti ini? kecuali kau membuat kesalahan fatal," Kevin menanggapi. "Tidak. Orang tuaku berhenti memukuliku bukan karena aku sudah dewasa. Tapi karena mereka sudah tak bisa melakukannya. Karena mereka sudah mati," Mendengar perkataan Jaden, Kevin lalu menatap ke arahnya. Sedikit bersimpati bahwa Jaden yang ceria ternyata sudah tidak punya orang tua. Namun, Jaden hanya tersenyum dan mengangguk. Mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja. "Mashi, apa kau dulu malas belajar? mengapa orang tuamu bisa memukulmu karena nilai?" sambung Jaden lagi. "Ya begitulah, terkadang aku mendapatkan A-, lalu orang tuaku memukulku hingga hampir mati. Atau pointku selisih satu angka dari temanku, mengakibatkan dia akhirnya menjadi peringkat pertama. Saat itu, ayahku akan menyusun pisau operasinya. Dia selalu mengancam untuk mengoperasi otakku." "Pantas saja dia seperti ini. Sangat luar biasa bahwa dia masih tetap waras di keluarganya yang aneh. Bukankah itu agak g!la? dia benar-benar keren," bisik Jaden kepada Kevin. "Aku bisa mendengarmu" ucap Mashi kemudian. "Lihatlah, dia juga memiliki pendengaran yang tajam. Apa kau mendengarnya saat aku mengatakan bagian keren?" "Kau memang banyak bicara," ucap Kevin kepada Jaden, yang memang paling cerewet di antara mereka semua. "Hahaha, aku tidak banyak bicara. Hanya ingin tahu saja," "Menurutku itu tidak ada bedanya," "Benarkah? tapi, Mashi. Bagaimanapun, orang tuamu masih baik. Mereka mengizinkanmu kuliah di Inggris, dan membiayaimu," "Lihat, dia mulai lagi," Kevin tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Sepertinya Jaden memang benar punya rasa ingin tahu yang tinggi, hingga menyebabkan dia banyak bicara. Jaden masih menunggu Mashi menjawab. Beberapa detik kemudian, Mashi akhirnya membuka mata dan menatap ke arah Jaden yang berada di sebelah Kevin, "Kau benar-benar banyak bicara." Ucapan Mashi membuat Kevin terkekeh. Karena dia juga mengatakan hal yang sama sebelumnya. "Kalian berdua meledekku?" tanya Jaden yang membuat Kevin makin tak bisa menahan tawanya, "Baiklah. Jadi bagaimana?" Jaden menatap Mashi, masih menunggu tanggapan Mashi komentar yang dia ucapkan sebelumnya. Kevin menggelengkan tak habis pikir dengan rasa penasaran Jaden. Namun, adanya Jaden di antara mereka membuat suasana semakin hangat. "Kata siapa orang tuaku membiayaiku? mereka bahkan tak mengizinkanku keluar dari Jepang," ucapan Mashi mengundang perhatian Kevin dan Jaden lebih banyak lagi. Mereka berdua kini menatap Mashi, dan menunggu cerita selanjutnya, "Aku pergi dari rumah," ucap Mashi kemudian. "Kau pergi dari rumah? lalu bagaimana dengan biaya hidupmu?" Kevin ikut penasaran. "Saat sekolah menengah, aku mengumpulkan uang dengan bekerja diam-diam di sebuah perusahaan teknologi di jepang. Yah, aku menghasilkan banyak uang disana." "Wah, pantas saja kau jenius," Jaden terbelalak. Reaksinya kadang agak berlebihan. Tapi karena itu Jaden, jadi tak masalah. "Hingga sekarang aku masih bekerja secara online. Untuk menghemat biaya aku tinggal di asrama. Diam-diam membawa Yama yang aku temui di jalan untuk tinggal bersamaku karena di asrama tidak diizinkan membawa hewan peliharaan. Lalu, Kyle datang. Menjadi teman sekamarku. Dia juga tidak banyak protes tentang Yama," saat mengatakan Kyle, Mashi kemudian menunduk. Ekspresinya masih datar tapi Kevin dan Jaden sangat tahu apa yang sedang dia pikirkan. "Mashi, turut berduka tentang Kyle," ucap Jaden yang kemudian disambung dengan anggukan kecil dari Kevin. "Tak masalah. Kyle selalu mengatakan, bagaimana jika mati saja? ketika dia mendapatkan nilai buruk, dan juga saat harus menanggung beban keluarganya. Kyle harusnya sudah tenang, kan?" ucap Mashi kemudian. "Hmm, dia sudah tenang disana. Itu tidak apa-apa." Kevin menepuk pundak Mashi. Mashi mengakui bahwa dia tidak terlalu akrab dengan Kyle. Namun, dia merasa kehilangan. Kyle dan dia sekamar selama enam bulan lamanya. Kyle selalu ceria dan tak pernah murung, walau banyak masalah keluarga yang menghimpitnya. Masalah hutang ayahnya misalnya. Atau, masalah ibunya yang mabuk-mabukkan. "Kyle, teman sekamar yang baik. Dia juga selalu membelikan Yama makanan," ucap Mashi lagi. "Yah, aku mengerti. Aku yakin bagi Kyle, kau juga teman sekamar yang baik," Kevin tersenyum, Jaden mengacungkan jempolnya ke arah Mashi, lalu ikut tersenyum, "Semangatlah. Semua akan baik-baik saja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD