Ruang Ke dua

1024 Words
"Bocah ini benar-benar tidak waras. Kau masih membiarkan bocah itu hidup? pembunuh atau bukan, lebih baik dia dihabisi saja," ucap Jun Liu dengan kesal kepada David. "Tenanglah! kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Yang jelas kita disini bernasib sama. Sama-sama diculik oleh psikopat itu. Yang harus kita cari sekarang adalah ..." Click, sebuah suara menghentikan David. Semua orang menoleh ke arah suara tersebut, tampak pintu terbuka, dan Mashi berdiri di depannya. Orang-orang mendekat. Pemuda tanpa ekspresi itu bisa membuka pintu di tengah keributan yang ada, itu sedikit mengagumkan. "Kau ... membuka pintu ini?" Travis mendekati Mashi penasaran. Mashi hanya mengangguk, tak berkata sepatahpun. "Bagaimana cara kau membukanya?" tanya Travis lagi. Mashi hanya mendongak dan melihat setiap sudut langit-langit di atasnya. Walau tak mengerti, Travis, Marry, dan Jaden ikut mendongak ke atas, sementara yang lain tetap diam pada tempatnya. "Utara, Selatan, Barat, Timur, Jam," jawab Mashi dengan wajah datarnya. Travis dan yang lainnya hanya terdiam, tak mengerti dengan apa yang Mashi maksudnya. Travis ingin bertanya lebih. Namun, dia menahannya untuk saat ini. "Bocah gila ini, setidaknya dia berguna juga," ucap Jun Liu lalu masuk ke ruang yang sudah terbuka tersebut. Travis menatap Marry lalu mengulurkan tangan ke arah istrinya tersebut, "Marry, ayo," ucap Travis kepada Marry. Namun, Marry tidak yakin bahwa itu adalah keputusan tepat. "T-Tunggu dulu, siapa yang menjamin jika disana aman? mungkin saja pembunuhnya ada disana," Marry mundur ketakutan. Insiden kematian sebelumnya membuat Marry waspada. Dia tak ingin mengambil resiko mendapati masalah yang lebih buruk di ruang sebelah, "Lebih baik kita disini saja. Orang yang mengatur semua ini, yang membunuh pemuda itu, dan yang menampilkan layar menjengkelkan di depan kita. Takutnya, dia ada disana." "Marry, jika ini permainan yang dia maksud, kita harus pergi dari sini dan mencari petunjuk di ruang berikutnya," ucap Travis meyakinkan. Tak mudah memang meyakinkan seseorang yang trauma, apalagi seorang wanita. "T-Tapi ..." "Setidaknya kita harus bergerak. Kita tidak akan mendapatkan apapun jika hanya terpaku disini," Ucap Travis lagi. Selagi kedua suami istri itu berbicara, Sunny, yang paling termuda di ruangan tersebut, beranjak dari tempatnya, dengan gemetar dia memasuki ruang yang terbuka di depannya. "Hei, Nak. Kau tidak boleh berkeliaran sendirian," ucap Jaden lalu mengikuti Sunny. "Ayo masuk," Travis menatap istrinya lekat. Walau dia berada dalam kecemasan yang sama, namun dia berusaha untuk tetap kuat demi istrinya. Marry menyambut tangan Travis, dan dengan ragu-ragu melangkah ke ruangan itu. Setelah Sunny, Jaden, Travis dab Marry masuk, Mashi mendesah kecil lalu mengikuti mereka. David juga beranjak, namun saat tiba di ambang pintu dia berhenti lalu berbalik menatap Kevin, "Hei, ayo. Kau harus ikut bersama kami," ucap David kepada Kevin yang gelisah dan tak beranjak sama sekali dari tempatnya. "Kawan, kenapa masih duduk disana? jika kau disini, kau tidak akan aman," ucap David lagi. "Dimanapun kita, pembunuh akan mengincar kita. Diantara mereka, bisa juga kau, adalah pembunuh yang ditetapkan sistem," mata Kevin bergetar. Dia menyembunyikan wajah diantara kedua lututnya, sambil menahan ketakutannya. "Bukan aku. Yang jelas siapapun pembunuh yang terpilih, jika ini benar seperti permainan Find The Murderer, mereka pasti juga sangat ragu sekarang. Mereka terpilih secara acak, dan bisa saja mereka tak berani melakukan pembunuhan." David. Laki-laki itu tampak bijaksana dan mempunyai jiwa pemimpin. Jika dilihat dari ekspresinya saat ini, dia benar-benar sangat mengkhawatirkan Kevin. "Aku tak mau pergi, aku tetap disini." ucap Kevin kemudian. "Hei, apa yang kau lakukan. Tinggalkan saja si bodoh itu!" terdengar seruan Jun Liu dari belakang David. Namun hanya menghela nafas, dia tetap berusaha agar Kevin mau ikut bersamanya. "Ayolah. Kita akan berdiskusi dan memecahkan masalah ini. Pembunuh diantara kita, itu juga bukan kehendaknya. Dia juga pasti sangat tertekan," "Kau bercanda? dia pasti akan membunuh! jika tidak, dia tidak akan bisa keluar dari sini. Dia pasti ketakutan jika identitasnya ketahuan." Ucap Kevin masih gemetar. "Hei, namamu Kevin, kan? kita akan bekerjasama. Aku akan berusaha mengeluarkan kita tanpa ada yang terluka." David tidak menyerah. Sementara Jun Liu yang telah berada di ruang kedua sangat jengah melihat tingkah David dan Kevin. "Kalian akan tetap begini? membuang-buang waktu saja," ucapnya dengan nada bengis. David sekali lagi tak menghiraukan Jun Liu. Dia fokus dengan niat membawa Kevin bersamanya agar tetap aman. "Kevin, semua akan baik-baik saja," ucap David kemudian. "Kau tidak melihat apa yang terjadi dengan pemuda ini?" Kevin menatap jasad Kyle yang telah ditutupi plastik, "Jika bukan dibunuh oleh pembunuh, kita akan dibunuh oleh sistem," "Ya, aku mengerti. Percayalah padaku. Kita akan cari petunjuknya bersama." David mendekat, lalu mengulurkan tangannya ke arah Kevin. Kevin menatap David lekat. Dia kemudian menatap yang lain. Mereka masih berdiri di ruangan ke dua sambil menatapnya. Sementara Jun Liu menggelengkan kepala tak percaya. Bisa-bisanya ada manusia bodoh yang memikirkan orang lain di saat genting seperti ini. Itu yang ada di dalam otaknya saat ini. "Teman, jangan takut. Ada aku disini. Aku akan menjagamu!" seru Jaden sambil melambaikan tangannya. Dia tersenyum ceria. Senyuman yang mampu memberikan semangat bagi Kevin. "A-Apa tidak masalah?" ucap Kevin terbata. David ikut tersenyum dan mengangguk. "Tak masalah. Selama kita semua bersama, kita akan menyatukan pikiran dan berusaha untuk keluar dari sini tanpa terluka. Kevin masih diam. Tak yakin harus bagaimana. Sebenarnya dibandingkan takut, Kevin bisa dikatakan pasrah. Dia yakin bahwa semua orang yang berada di ruangan bersamanya akan mati. Percuma bersusah payah mencari solusi. Jika akhirnya tetap sama. Tidak bisa menyelamatkan diri. "Kevin, percaya padaku. Semua akan baik-baik saja." Berkat David yang memberi keyakinan dengan jiwa kepemimpinannya, kepercayaan Kevin tumbuh. Kevin menyambut tangan David dan perlahan berdiri. David menepuk pundak Kevin bangga. Kevin melepaskan tangan David dan beranjak melewati laki-laki dengan tinggi seratus tujuh puluh delapan tersebut. Dia perlahan memasuki pintu di ruang selanjutnya. Di ambang pintu Kevin berhenti sejenak lalu menoleh ke arah David. David mengangguk. Memberikan kepercayaan kepada Kevin yang masih muda dan mempunyai jiwa labil tersebut. Kevin akhirnya melangkah memasuki ruangan yang tentu saja begitu asing . David tersenyum, beberapa detik kemudian, dia melangkah mengikuti Kevin dari belakang. Di ambang pintu laki-laki itu menarik nafas dalam. Berharap apapun yang akan menerpa nantinya, dia bisa tetap sabar dan mengatasi semuanya dengan kepala dingin. David melangkah Begitu dia memasuki ruangan, semua tanpak sunyi selama beberapa detik. Pintu utama di ruang kedua itu, tiba-tiba bergerak dan langsung tertutup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD