Bab 3

1307 Words
"Terima kasih Kak Chan, Kak Bi. Selamat malam," tutup Aira sembari melambaikan tangan pada Chandra dan Bintang yang hendak pulang. "Selamat malam Princess," balas Bintang dan Chandra bersamaan. Selepas kepulangan keduanya, aku menuntun Aira agar masuk ke dalam rumah. Di depan sana, ayah menatapku dengan pandangan yang tak kumengerti. Seragam kerjanya yang kulihat tadi pagi sudah berganti dengan setelan rumahan ala ayah. Langkah tegapnya menghampiriku dan Aira. Binar kemerahan dari mata senjanya menelisik rinci tiap jengkal tubuh gadis di sebelahku. Membawa lengan putih Aira dalam genggamannnya untuk kemudian ia tuntun pada sebuah sofa usang. Kulihat Aira terseyum sembari berceloteh kecil, aku tenang. Setidaknya kali ini saja aku tidak membuat ayah marah lagi. Mengingat bagaimana diriku dahulu, tentu saja kepercayaannya kian menipis padaku. Walau ayah selalu berusaha keras menutupi rasa tidak sukanya terhadapku. Tapi, aku bisa melihatnya. Dia ayahku, aku pernah berbuat fatal dan sudah sewajarnya beliau bersikap antisipasi. Tidak lama tidak juga sebentar, di sana Aira masih bercerita kepada ayah. Dengan tawa riangnya ia berucap "Ayah tau tidak, tadi Aira naik comedi putar dan cora-cora bersama Kak Chan. Kak Alpha dan Kak Bintang memaksa tidak mau ikut, aku yakin mereka pasti takut tapi gengsi mau mengakui." Aku tersenyum mendengarnya, demikian halnya dengan ayah. Tatapan senjanya menoleh padaku sembari mengisyaratkan untuk mendekat. Tidak terlalu banyak hal yang ayah ungkapkan, ia hanya menepuk sebelah pudakku dan mengucapkan terima kasih. Sekali lagi, untuk hari ini aku merasa kebahagianku berlipat ganda. Sekarang aku tahu dari mana sifat yang Aira miliki. Melihat waktu hampir larut, aku menghampiri ayah yang terlihat sedang duduk di depan televisi. Cangkir kopinya masih penuh tak tersentuh, kepalanya bersandar pada ujung kursi yang ia duduki. Ayahku tertidur dengan mata terbuka, beliau pasti merasa sangat lelah. Kubawa cangkir kopinnya ke dapur, kemudian kukembalikan dengan gelas berisi s**u kalsium untuk usia lanjut. Ketika kulihat ayah mulai terganggu dalam tidurnya, aku bersembunyi di balik tembok kayu tua dekat dapur. Mendapati isi cangkirnya berbeda dari yang awal, ia sempat kebingungan, kemudian beliau tersenyum. Tak kusangka ia menenggak habis s**u buatanku. "Selamat malam Ayah." Kemudian meninggalkan tempat persembunyian untuk mengistirahatkan tubuh. *** Detik jarum merah pada jam di atas nakas menemani waktu sepertiga malamku, rasa kantuk tidak menyambangi sedikit pun. Menatap jendela kayu dengan tirai usang, aku beranjak menyapa udara malam dengan telapak tangan. Dingin, aku suka suasana hening. Seperti halnya hatiku, dingin dan tenang meski berkemungkinan untuk malam ini saja. Ketika tengah asik merenungi nasib bersama rembulan dan syair tengah malam, terlintas sesuatu di benakku. Mengambil kertas berlipat dari dalam saku celana yang tadi sore diberikan adikku. Hal pertama yang kurasakan adalah sedih dan bahagia ketika melihat deretan huruf terangkai rapi di dalamnya. Tulisan tangan Aira. Halo kak Alpha Semoga kakak mau membacanya, tidak banyak yang ingin kusampaikan. Aku hanya ingin berterima kasih, sore ini aku bahagia sekali. Terima kasih telah bersedia merawatku, terima kasih sebab mau menjadi mataku. Terima kasih kak... Tertulis, Aira Kulipat kertas putih tersebut dan kukembalikan ke dalam saku. Seharusnya aku yang berterima kasih padamu Aira. Terima kasihmu tak seharusnya keluar sebegitu banyaknya hanya untukku. Malam semakin larut bahkan beranjak pagi namun, tak ada niat sedikit pun untukku masuk dan mengistirahatkan tubuh. Kamar tanpa balkon yang telah kudiami selama hampir empat tahun ini adalah saksi bisu atas rasa penyesalan yang teramat. Sampai ayam berkokok, baru kusadari sudah jam empat pagi. Selama itu pula mataku enggan terpejam. Tak lama, suara azan berkumandang. Kututup cepat daun jendela dan melesat mengambil wudhu. "Amin.." Selesai beribadah baru kurasa mataku berat, dan beranjak ke ranjang bermaksud tidur sebentar sebelum fajar terbit sempurna dan menuntutku pada kegiatan seperti biasa. Namun, lagi-lagi harus terdistraksi dengan suara kegaduhan di luar. Kamar Aira. Entah sudah berapa kali dalam sehari ini aku berlari. Beruntung, kamarnya yang tepat berada di sebelah kamarku membuatku dalam sekejap sampai di sana. "AIRA, BUKA PINTUNYA! AIRA!" Kuputar beberapa kali kenop pintunya tapi, tetap tak bisa terbuka. Perasaanku kacau. Bermacam-macam pikiran buruk berlalu-lalang dengan sendirinya. Ya Tuhan, apalagi ini. "Aira jangan membuat Kakak khawatir," ucapku lantang kali ini. Tolong, hanya ini kesempatan terakhirku. Gedoran yang kucipta seakan tak terdengar dari dalam sana sebab, tanda-tanda Aira akan membuka pintu tidak ada. Bersama kewarasan yang hampir tersisa sedikit. Tak ada jalan lain, maka, kudobrak pintu kamarnya. Gelap, kutekan saklar lampu agar ruangan mendapat penerangan. "AIRA?!" Vocalku tak dapat tertahan lagi. Adikku di pojokan kamar, lantainya basah. Kulihat tidak ada warna merah yang menggenang. "Aira bangun, kenapa kamu-" "Kak maafkan aku, aku gak sengaja menyenggol gelas sampai jatuh dan berserakan seperti ini. Aku haus," ia mencicit takut. "KENAPA TIDAK MANGGIL KAKAK RA!? KAMU SUKA BANGET YA BUAT KHAWATIR!" "Maaf.." Kulihat lengannya bergetar, mata dan hidungnya merah merekah. Bahkan, sudut bibirnya bergetar menahan tangis netranya pun mulai mengkristal. Kesadaranku kembali. Intonasi yang kubuat membuatnya menyendu. Kemudian, saat air mata tak dapat lagi ditahannya dan jatuh mengenai lenganku yang mencengkram kedua pundaknya. Kemarahanku menguap begitu saja, aku membuatnya bersedih lagi. "Aira... bukan begini caranya." Suaraku melembut. Kuusap lelehan air mata di pipinya yang merah. Kuusap pualam gadis kecil itu sampai empunya mendongak sekan melihatku. "Aku haus kak." "Kamu bisa memanggi Kakak atau Ayah dan minta tolong pada kami." "Aku gak mau merepotkan siapa pun, aku sudah cukup besar hanya untuk mengambil segelas air. Ayah lelah bekerja, sementara Kakak gak harus melakukan sesuatu yang bukan seharusnya Kakak kerjakan," ucapnya dengan suara parau. Ia menyampaikan segala pemikirannya seakan mengadu padaku. Aku paham, air mukanya menyuarakan kegundahan hati. Kuambil jemarinya tuk kugenggam kemudian berucap, "Kamu gak pernah merepotkan Kakak, kamu gak perlu sesungkan itu pada kakakmu sendiri untuk meminta bantuan." "Tapi aku takut Kakak marah," ucapnya pelan. Hal ini seakan menamparku. Ya, kelakuan burukku sebagai si antagonis di masa itu. "Hal apa yang pantas membuatku marah atas permintaanmu, huh?" Kurapikan surainya yang berantakan tuk kuselipkan di belakang telinga. Mata basahnya kusapu sampai ia terpejam. "Maaf..." "Dengar Aira, apa pun yang membuatmu resah dan menurutmu harus melibatkanku di dalamnya. Datanglah padaku. Kakak gak akan mentolerir sekali lagi atas pemikiran rumitmu itu." Ia mengangguk, sesegukannya mulai mengecil. Tiba-tiba tercium bau anyir yang kulihat, dan bersumber dari jemarinya yang tertancap serpihan beling-beling kecil. "Jarimu Aira." "Aku mau membersihkan pecahannya tapi, mereka menempel di sana." "Diam di sini, jangan bergerak sedikit pun. Paham?" Ia mengangguk. "Jangan mencoba meraih apa pun lagi, dengar?" "Iya," lirihnya. "Oke." Aku berlari keluar sebentar untuk mengambil kotak obat. Masa bodoh dengan petuah yang masih ingin kujabarkan panjang kali lebar. Keselamatannya nomor satu. Ketika aku kembali, Aira tetap dalam posisi semula. Bedanya, darah di jemarinya yang tadi kulihat hanya berupa titik-titik kecil kali ini mengucur cukup deras. Ya Tuhan. Hal pertama yang kulakukan membawanya kembali ke tempat tidur dan mendudukkannya di sana. Kemudian meraih kesepuluh jarinya untuk kukompres dengan air hangat. Karena profesiku yang dulu, membuatku yakin menggunakan benda aluminium untuk mencungkil serpihan kaca agar keluar dari tangannya. Ia meringis saat kucabuti satu-persatu benda tajam tersebut. "Kak, Aira minta maaf. Jangan marah." Ia mencicit ragu. "Kenapa gak buka pintunya, tadi waktu Kakak ketuk?" "Aku gak mau Kakak lihat aku dalam posisi begitu." "Lalu kalau Kakak tidak tahu, apa yang mau kamu lakukan?" Aira meringis sekali lagi, kuusap punggung tangannya guna meredakan sedikit rasa nyeri. Ia lantas menggeleng kecil. Suasana kembali hening. Beberapa saat setelah keheningan cukup lama. Aku selesai membalur lukanya dengan perban. Kulihat matanya memerah, mungkin saja ia masih mengantuk. Kantung matanya tampak sedikit menghitam. Apa mungkin pradugaku benar? "Kamu masih mengalami mimpi buruk?" Ia menggeleng sebagai jawaban. Baiklah, cukup di sini hari ini. "Tidur lah, kamu masih mengantuk." Kerjapan matanya terasa berat sekali. "Tapi, aku menginginkan sesuatu." Telaganya yang jernih mampu menghipnotisku. Gadis ini cantik. Secantik paras dan hatinya. "Apa itu?" "Temani aku tidur, aku takut," pintanya. "Baiklah, tapi kamu gak boleh banyak gerak dulu. Ingat, jarimu luka." Kulihat ia tersenyum mendengar jawabanku. Dengan sendirinya jantungku berdenyut nyeri. Namun, di waktu bersamaan seakan berdesir hangat. Paru-paruku menyempit untuk meraup oksigen. Aku takut, desiran ini berdetak untuk rasa yang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD