Bab 12

1527 Words
“Makan dulu, Al. Kamu belum sarapan.” Bintang meletakkan sebuah kotak makan lengkap dengan sebotol air mineral di meja kecil samping ranjang pasien. Sejak keluar dari ruangan Lia, aku memutuskan untuk menunggu Aira di ruang rawatnya sampai siuman namun, adikku belum kunjung membuka matanya. Aira sudah berada ruang rawat biasa setelah diperiksa selama beberapa jam di Unit Gawat Darurat. “Alpha ... makanlah, Nak. Nanti kamu sakit,” ucap Ayah. Aku menggeleng. Genggaman tanganku pada salah satu telapak tangan Aira tak ingin terlepas sedikit pun. Aku merasa bahwa Aira akan pergi jika aku melepaskannya. “Al, Aira akan sedih kalau kamu nanti sakit,” tambah Chandra. Pria itu kini mengangsurkan sebungkus roti padaku. “Hum, setidaknya perutmu tidak kosong. Kamu bisa tetap makan tanpa harus melepaskan tangan Aira,” sambungnya seolah mengetahui keresahan hatiku. Aku menatap Chandra sesaat. Pria itu pun mengangguk. Aku menerima bungkusan tersebut. “Ini sudah tiga jam dari jangka waktu Aira kita bawa ke sini tapi, kenapa dia belum juga bangun, Bi?” Bintang yang sedang menatap layar notebook-nya dengan serius pun mengalihkan pandangnya padaku. “Aira hanya kelelahan, Al. Dia akan bangun dengan sendirinya kalau sudah merasa puas tidur.” “Bukan karena gagal jantung?” Bintang langsung terdiam. Aku mengetahui kondisinya secara penuh meski aku bukan lagi dokter tapi, keadaan seperti ini cukup sering kutangani dulu. “Gagal jantung?” ulang Chandra. “Ssstt, jangan sampai Ayahku mendengarnya, Chan,” sela ku cepat. Beberapa saat lalu Ayah pamit keluar ingin mengambil air panas. “Al-“ “Aku tahu, Bi. Aku juga mantan seorang dokter.” “Bukan mantan tapi, sedang cuti,” sanggah Bintang tegas. Aku hanya diam menanggapinya. “Apa Aira separah itu?” tanya Chandra. “Aku hanya ingin Aira cepat sembuh seperti sebelumnya,” sahutku cepat. Tok tok tok ... “Permisi, Dokter Alpha. Kita akan melakukan pemeriksaan kepada pasien,” Ucap Yena –Dokter ahli jantung yang sudah kukenal cukup lama -- Aku mengangguk dan beranjak ke sebelah kiri sisi Aira. Yena mulai menempelkan stetoskopnya pada permukaan area d**a kiri Aira, berikut dengan bagian lambung, pergelangan tangan, mata, dan terakhir menyuntikkan cairan bening ke selang infus Aira yang ku yakini adalah enoxaparin. Sementara Bintang mendekat, ia meraih beberapa bungkus obat yang Yena bawa. “Beberapa obat dalam dosis terlalu tinggi, kerja ginjal Aira akan sulit mencernanya. Berikan setengahnya saja untuk yang ini,” titah Bintang pada dua orang perawat yang berada di sebelah Yena. “Baik, Dok.” “Dok, Dokter Lia berpesan, ingin berbicara dengan Anda jam dua siang nanti di cafetaria. Saat ini beliau sedang ada operasi.” “Denganku?” tanyaku untuk memastikan. Untuk apa? Apakah mengenai keadaan Aira? “Baik, terima kasih.” “Kalau begitu saya permisi, Dok. Mari Dokter Bintang,” katanya. Kami pun mengangguk singkat. “Al, tidak bisakah kamu kembali menjadi dokter di rumah sakit ini? Demi Tuhan, aku merinding melihat interaksi kalian,” celetuk Chandra. Berat, rasanya secuil ruangan di dalam sana menolak opini tersebut. Tidak bisa. Lantas, kami kembali hening dengan kesibukan masing-masing. Bintang mendapat panggilan dari divisinya sementara Chandra berakhir ketiduran di sofa ruang rawat Aira. Menyisakan diriku yang masih terjaga dan setia memandangi wajah tentramnya yang damai. Tidak ada rona sama sekali di wajah pucatnya, Aira lebih terlihat seperti boneka dari pada manusia. Usapanku tidak berhenti pada punggung tangannya yang tidak ditempeli jarum infus. “Kamu masih mengantuk ya, Ra? Belum mau bangun, hum ...” Tidak ada jawaban, Aira masih nyaman dalam tidurnya. Wajah pias Aira membuatku terenyuh. Beberapa rekam kisah mengerikan itu mulai menghampiri setiap kali aku melihat Aira sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. “Kamu apakan Arina, ha?!” “Kamu bisu? JAWAB?!!!” “Dengar, kehadiranmu hanya membawa petaka di keluarga ini. Kenapa harus kamu yang menjadi saudara Arina? Kamu bahkan telah membunuh ibu, dari awal kehadiranmu saja sudah salah. Sudah sepantasnya kamu mendapat dosa.” “Maafkan aku, Ra. Maaf.” Aku terisak dengan mata yang telah basah. Alpha memang pria bodoh sejak lahir. Kini, kali kedua aku menyaksikannya tergeletak tak berdaya di ranjang rumah sakit. Jika dulu, perasaan sedih itu tak hadir sedikit pun sekarang, aku merasakan betapa hancurnya kewarasanku yang berserakan menyisakan puing. Aira bukan kesalahan, tidak pernah ada yang salah tentang dirinya. Hidupnya terlalu bersih untuk dikatakan kesalahan, Airaku gadis periang yang cerdas. Sejak kecil, ia selalu membuat orang - orang di sekelilingnya bangga. Namun, seorang pelajar SMA bodoh membencinya. Disaat proses penebusan dosa itu sedang kulaksanakan, sepertinya takdir sedang mengejekku. Ini pelajaran yang setimpal. “Hngg ...” Aku merasakan pergerakan kecil di tangan Aira yang kugenggam. “Aira?” “Hei, kamu sudah bangun? Ada yang sakit, Ra? Kamu memerluka sesuatu?” tanyaku beruntun. “Kak Alpha ...” “Hum, iya ini Kakak. Apannya yang sakit, Ra?” Dia menggeleng, “Tidak ada,” jawabnya. Bohong! Aku tahu Aira pasti merasakan nyeri pada punggungnya. Tanpa banyak kata lagi, aku segera memencet tombol merah di samping ranjang pasien. Alarm memanggil dokter. Aku tidak bisa tenang sebelum mengetahui tidak ada yang bermasalah dengan jantung, ginjal, mata, dan organ tubuhnnya yang lain. Tak beberapa lama, Yena masuk dengan terburu-buru. Berikut denga seseorang yang berada di samping dokter wanita itu dan cukup mengejutkan bagiku. Mata kami sempat saling bersibobrok namun, seseorang itu segera memutus kontak sebab atensinya beralih kepada Aira sepenuhnnya. “Hai, Aira. Apa kabar? Masih mengenaliku?” ucapnya. “Hmm ... Dokter Fany?” Aira menebak. “Yap, betul sekali. Senang dapat berjumpa kembali denganmu cantik. Kamu semakin cantik.” “Terima kasih Dokter. Anda bahkan jauh lebih cantik.” Keduanya terlibat kekehan kecil. Aku selalu suka cara Prof. Fany berinteraksi dengan pasien – pasiennya. Sembari mengajak Aira bercerita dan menanyakan berbagai macam hal, tangannya bekerja dengan tepat. Mulai dari mengganti cairan infus Aira yang isinya sudah kosong, memeriksa beberapa bagian tubuhnya, dan terakhir saat Aira tertawa, jarum suntiknya menembus kulit transparan milik Aira. Ini merupakan cara terbaik agar setiap pasien merasa nyaman dan tidak merasa kesakitan. Bukankah itu trik yang handal? “Kamu meminum obat dengan teratur dan tepat waktu, anak baik. Jangan pernah berhenti semangat ya, Aira.” “Tentu saja, Dok. Terima kasih ...” ucap Aira tulus. “Rindu tidak dengan dokter?” Aira tersenyum, seindah purnama. “Tentu saja, Dok. Dokter kan dokter favoritnya Aira.” “Oh ya?” “Iya. Betulkan, Kak Alpha?” “Iya ...” “Tepat sekali, karena aku pun juga merindukanmu. Jadi, selama dua minggu terakhir ini kita akan lebih sering bertemu. Tidak papa kan, Ra?” “Tidak apa-apa kok, Dok,” jawab Aira dengan senyum manisnya. Aku menatap takjub wanita bersnelli putih berusia nyaris berkepala lima itu. Dan diumurnya tersebut, ia masih terlihat segar dan awet muda. Wajahnya seperti tidak menua sama sekali. Masih pantas berada di usia awal tiga puluhan. Tapi, aku lebih takjub lagi mendengar jawaban Aira yang tidak keberatan tinggal di rumah sakit. Pertanyaan singkat, cara sederhana, dan terlihat sangat alami. Pantas saja, seniorku itu bisa menjadi seorang proffesor wanita dengan cepat. Kuakui selain kecerdasannya yang sudah tak perlu diragukan, kebanyakan diagnosisnya terhadap pasien selalu tepat sasaran tanpa harus melakukan pemeriksaan secara rinci. Cukup dengan mendengar keluhan, dan melihat tingkah pasien Prof. Fany mudah mengidentifikasi penyakit seseorang. “Astaga, kamu benar-benar cantik Aira. Wajahmu putih mulus tanpa cela, kepribadianmu pun luar biasa. Kamu dan Apha memang sepasang saudara dengan visual taman bunga, indah.” “Hehe ... Terima kasih, Dokter.” Pemeriksaan selesai dengan cepat, Aira bahkan meminum beberapa butir obatnya dengan tenang tanpa rengekan seperti biasanya. Aku bertekad, setelah ini akan belajar kepada mantan proffesor ku untuk mengajarkan tipsnya supaya Aira bisa dengan mudah meminum obat. “Aira cantik, kondisi kamu telah sedikit membaik. Kata partnerku, kamu mencoba memaksakan diri melakukan pekerjaan yang berat? Benarkah?” “Hum ... ti-tidak juga kok, Dok. Hanya ...” “Hanya mengangkat sesuatu yang berat?” Aira terdiam, melihat dari responnya sepertinya tebakan Prof. Fany memang benar. Tapi, apa yang coba Aira angkat? “Aira ... dengar Sayang. Kondisimu memang cukup membaik dari yang dulu tapi kamu tetap harus ingat pada keadaan ginjalmu. Tidak ingin membuat tubuh semakin sakit kan?” Aira menggeleng, wajahnya menampilkan raut sendu. Bisakah aku menerjangnya dalam sebuah dekapan sekarang juga. Aira terlalu menggemaskan. “Sesuatu yang dipaksa itu tidak pernah baik, Ra. Ingat, jangan mengulanginya lagi ya?” Dan kenapa aku tidak mengetahui apa yang sedang Aira lakukan? Aku merasa sedang tertipu. “Aira, dengar kata Dokter Fany. Kamu berhutang penjelasan dengan Kakak,” sambarku. Aira mencebikkan bibirnya. “Maaf, Kak Alpha. Nanti Aira beri tahu.” Aku mengangguk sembari mengusap sayang puncak kepalannya dan memberikan satu kecupan lembut di dahi putihnya yang terlampau pucat. “Alpha, bisa kita bicara sekarang? Aku tidak waktu siang nanti,” ujar Prof. Fany. Aku menatap Chandra yang telah terduduk di sofa. Entah sejak kapan dia terbangun tapi, melihat Chandra mengangguk aku pun segera mengiyakan permintaan dokter senior tersebut. Setidaknya, Aira tidak akan sendiri saat aku tidak di sana. “Titip Aira sebentar, Chan,” ucapku. Chandra terkekeh. “Hush hushh ... Titip-titip, dia kira Aira hanya untuknya apa. Kan punyaku juga,” gerutu Chandra yang masih bisa kudengar sebelum keluar dari ruang rawat Aira.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD