Bab 10

2247 Words
“Kamu kenal dengan Sheila di mana, Al?” “Jangan-jangan benar ya, kalian itu memiliki hubungan spesial seperti yang dikatakannya?” Kini hanya menyisakan kami bertiga. Usai kepergian Sheila setelah acara makannya, aku ditodong pertanyaan beruntun dari Bintang dan Chandra. Sejak tadi kedua beagles itu cukup cerewet. “Kamu bisa jatuh cinta dengan perempuan lain selain Aira, Al?!” “Cinta lokasi, Chan. Alpha kan kaum bucin-nya Aira,” sahut Bintang. “Atau benar, kalian backstreet?” Sudah kubilang, mereka berdua sangat cerewet sehingga tidak memberiku kesempatan untuk berbicara. “Ck, jangan sok tau. Ini bukan tebak-tebak berhadiah,” jawabku setelah ada ruang untuk menyela. Bintang memicing, lelaki lovely tapi selalu mencap dirinya manly itu pun nyeletuk, “Tidak papa juga sih kamu dengan wanita itu tapi, Aira jangan kamu tinggalkan begitu saja. Ingat dosa yang harus kamu bayar, Al.” Di sebelahnya, kulihat Chandra menyenggol lengan Bintang cukup kasar. Aku terdiam, omongan Bintang memang selalu benar. Ada hutang besar yang harus kuselesaikan pada Aira. Tapi, aku tidak pernah menganggap itu sebuah hutang melainkan kewajiban. Mungkin aku akan sangat kacau jika hidup tanpa Aira, dan tak pernah pula terpikirkan olehku untuk meninggalkannya. Apalagi sampai mencari wanita lain sebagai pendamping hidup. "Aku tidak akan meninggalkannya, Bi. Hal seperti itu tidak akan terjadi," ucapku yakin. Ini bukan hanya sekedar rasa bersalahku terhadap Aira. Tapi, karena aku mencitainya. *** Aira POV: Aku bahagia sekarang, Kak Alpha tidak lagi membenciku dan sudah menerimaku menjadi adiknya. Kak Alpha bahkan kerap kali menunjukkan rasa sayangnya secara nyata, itu membuatku sangat bahagia. Aku bahagia, walaupun hidup tanpa bisa melihat meski sejujurnya ... "Aku rindu bisa melihat lagi," gumamku. Aku terduduk di halaman depan rumah. Di sebuah bangku panjang yang Ayah buat. Ngomong - ngomong, Ayahku sedang memasak. Aku ingin membantu tapi selalu penolakkan yang kuterima. Malam ini, udara terasa sangat sejuk. Lebih dingin dari malam - malam sebelumnya. Sebuah buku berada dalam pangkuanku. Sembari menunggu Ayah selesai memasak, aku membaca sebuah buku berhuruf braile. "Aira ... ayo masuk, Nak. Ayah sudah selesai memasaknya. Kita makan ya." Ayah datang menghampiri. "Aira ingin makan bersama, Kak Alpha saja, Yah." "Kak Alpha akan pulang larut Aira. Ayo makan dengan Ayah saja." "Aira akan menunggunya," jawabku cepat. Aku rindu dengan kakakku. Padahal setiap hari kami bertemu, dan baru tadi sore Kak Alpha pamit pergi bekerja tapi aku sudah merindukannya. Sepertinya, aku terlalu bergantung kepada Kak Alpha. Mungkin karena Kak Alpha yang dulu tidak pernah menyayangiku sehingga sekarang saat kasih sayang itu telah kudapatkan, aku takut sewaktu - waktu Kak Alpha akan menjadi kakakku yang dulu. Aku takut Kak Alpha tidak lagi menyayangiku. "Aira ..." tangan Ayah mengusap surai panjangku perlahan. "Kamu harus segera minum obat dan istirahat. Udara malam tidak baik untuk anak Ayah. Besok pagi kan kamu bisa bertemu dengan Kak Alpha lagi." Aku menghembuskan napas perlahan. Benar, aku pasti sangat merepotkan untuk Kak Alpha. Kakakku itu sudah lelah menjagaku dari pagi sampai petang, dilanjutkan oleh pekerjaannya, dan ketika pulang harus menghadapi diriku yang rewel. Aku tidak mau menyusahkannya. "Iya, Ayah. Aira akan makan," jawabku pada akhirnya. Mulai sekarang aku akan menjadi Aira yang mandiri. Aku tidak ingin menjadi beban Ayah dan Kak Alpha. Ayah menuntunku perlahan karena aku menolak memakai tongkat. Sudah kukatakan kan, aku ingin mandiri. "Dua puluh menit lagi, kamu minum obat ya. Piringnya akan ayah bereskan dulu," ujar Ayah. "Ayah, Aira saja yang mencuci piringnya." "Tidak Aira, tangan kamu masih terluka. Lebih baik kamu masuk ke kamar, nanti Ayah akan datang membawakan air minumnya." Aku pun mengangguk. Sama seperti Kak Alpha, perkataan Ayah tidak bisa dibantah. Jika mengetahui sejumput luka pada diriku, mereka akan menjadi manusia paling cerewet kepadaku. Seolah, luka itu sangat berbahaya padahal kan hanya tergores saja. Kemudian, beranjak menuju kamarku. "Jam berapa ya sekarang?" Aku bertanya pada diri sendiri. Suasana hening dan tenang, aku memang menyukainya tapi, tertegun sendirian di kamar hanya membuatku merasa agak sedih. Banyak kilasan masa lalu yang malang - melintang menghantuiku. Ingatan yang tidak cukup baik. Dan itu, tentang perlakuan Kak Alpha terhadapku. Ayah sudah datang memberiku segelas air, dan aku pun telah meminum obat. Biasanya aku akan mengantuk karena efek obat hang telah kutenggak. Tapi, sampai beberapa saat aku menunggu dan kurasa sudah cukup lama kantukku tak kunjung datang. Tubuhku sudah merebah di kasur, mataku masih setia terbuka. Sama saja, yang kulihat tetap gelap. Untuk beberapa saat, aku pun memejam. Hanya memejam namun masih bisa mendengarkan semuanya secara jelas. Termasuk mendengar suara pintu kamarku yang terbuka. Aku enggan membuka mata. Kemudian, aku merasakan seseorang mengusap dahiku secara perlahan. Dan aku bisa mencium aroma parfum orang tersebut. Ini jelas milik Kak Alpha. Oh, apakah Kak Alpha sudah pulang? Aku merasa senang namun, tak ingin menunjukkannya. Biarlah Kak Alpha menganggapku sudah tidur. Aku tidak ingin merepotkannya lagi. Sampai beberapa saat lamanya aku tidak mendengar Kak Alpha berbicara apa pun. Ia hanya mengusak suraiku, membenahi letak suraiku ke belakang telinga. Sesekali mengusap pipiku. Aku suka perlakuan Kak Alpha yang seperti ini. Aku merasa sangat disayang, Kak Alpha seperti memanjakanku. Dua hal yang pasti, usapan tangannya di pipiku dan aroma tubuh Kak Alpha yang khas membuatku menjadi mengantuk sungguhan. Kesadaranku semakin menipis, dan sebelum aku terjatuh ke alam bawah sadar secara penuh. Dapat kudengar Kak Alpha berkata pelan, "Maafkan aku, aku mencintaimu." Pelan sekali bahkan aku tidak yakin dengan yang kudengar. Namun, karena mataku sudah terasa sangat berat aku pun memilih masuk ke alam mimpi. Mungkin itu salah satu dari mimpiku. Mimpi yang indah. Aira POV end "Maaf, Saudara Alpha. Tapi persedian kornea mata kita telah habis, dan cukup sulit untuk mendapatkan donor mata. Hanya orang yang telah meninggal yang bisa mendonorkan matanya. Selain itu, kita juga harus mendapatkan izin dari keluarga pendonor." "Apa tidak ada cara lain, Dok? Misalnya mendapatkan pendonor dari seseorang yang masih hidup?" tanyaku. Bintang yang ikut menemaniku malam itu pun langsung menoleh ke arahku. Mata sipitnya menatapku tidak suka. "Jangan berpikiran yang aneh - aneh, Al!" ucapnya tajam. Aku berusaha menulikan pendengaranku, aku hanya ingin Aira sembuh dan bisa melihat kembali. Semua ini aku yang memulai sehingga aku jugalah yang harus menyelesaikannya. Bahkan jika harus memberikan mataku kepada Aira. Aku bersedia. "Sulit, dan kami pihak dari bank mata merasa keberatan. Tidak semua orang yang dapat menjadi pendonor, beberapa pemeriksaan harus dilakukan secara teliti. Meski operasi donor mata ini termasuk dalam golongan operasi kecil tapi tetap saja, mata adalah panca indera yang sangat sensitif. Kami tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk kepada pasien maupun pihak pendonor yang masih hidup." "Saya siap menanggung segala resikonya, Dok. Saya mohon, tolong ambil kornea mata saya untuk Aira," ucapku sungguh - sungguh. "ALPHA!!" Bintang membentak nyalang. "Saya tidak akan menuntut apa pun dengan keadaan saya sesudahnya. Yang penting adik saya bisa melihat kembali. Saya mohon, Dok." "KAMU SUDAH HILANG AKAL, AL?! AIRA TIDAK AKAN MENYUKAI IDE INI. HIDUPNYA AKAN SEMAKIN MENYEDIHKAN JIKA KAMU MELAKUKAN DONOR MATA KEPADANYA. AIRA PASTI AKAN MERASA SANGAT BERSALAH." Aku tahu, tapi duniaku saat ini hanya seputar Aira. Dirinya adalah poros pijakanku, alasan mengapa aku masih sanggup bernapas setelah semua yang kulakukan padanya. Sungguh betapa bodoh dan bejatnya aku dulu. Di sebelahku, Bintang mengusak surai dan wajahnya dengan lelah. Sementara seorang dokter yang berada di hadapan kami hanya terdiam. Ia tak menyela ataupun berusaha mengusir kami. "Maaf Dokter Hendy, saya akan menenangkan keluarga pasien terlebih dahulu. Dan maaf juga atas keributan yang kami perbuat," ucap Bintang. "Tidak masalah, Bi. Kasus seperti ini memang sering terjadi." "Baik, terima kasih, Dokter Hendy. Kami permisi." Lantas, Bintang menggiringku keluar dari ruangan dokter yang ia panggil Hendy tadi. Apa aku salah berkata demikian? Aku hanya ingin Airaku sempurna seperti kehidupannya yang lalu. Aira adalah adik kandungku, hatinya bersih sebaik malaikat namun, dengan tidak tahu dirinya aku malah menyakitinya sampai sejauh ini. "Apa kamu tidak bisa bersabar, Al?" Suara Bintang kembali terdengar. Kami telah duduk berdua di taman rumah sakit. Dinginnya angin malam yang meniup ragaku mendatangkan kenyamanan. Setidaknya, sedikit saja pikiranku bisa tenang sebentar. Aira ... aku menyesal. "Bukan hanya kamu yang menginginkan Aira agar dapat kembali melihat. Tapi, aku dan Chandra juga, Al. Kita sama - sama menyayangi Aira. Kita sama - sama menginginkan hal terbaik untuk Aira." "Tapi, aku mencintainya, Bi. Lebih dari seorang kakak kepada adiknya. Aku mencintainya." Biarlah semua perasaan salah yang selama ini kupendam Bintang ketahui. Toh, Chandra juga sudah mengetahuinya kan? "Aku tau, kamu mencintai Aira. Tertulis jelas di dahimu, Al." Aku menoleh, ada raut keputusasaan di wajah tampan pria berkemeja navy itu. "Perasaanmu tidak salah tapi ingatlah status kalian. Kamu kakaknya, Al. Kakak kandung Aira," sambung Bintang. Kalimat terakhir yang Bintang ucapkan membuat hatiku mencelos detik itu juga. Ada sesuatu yang menghantam dadaku sampai rasanya sesak sekali. Ya, aku kakak kandungnya dan kenyataan itu menyakitiku. Apakah ini alasan Tuhan menyadarkanku, agar aku tersiksa oleh perasaan ini? Rasa sakit yang kurasakan tidak sebanding dengan kebutaan Aira yang berakibat karenaku. Delapan tahun lalu, Aira adalah gadis kecil yang cantik dan sehat. Dia hidup dalam keadaan normal sebelum baj!ngan tidak tahu diri menghancurkan masa kecil sampai remajanya. "Kita lakukan operasi itu secara ilegal saja, Bi. Asal Aira bisa segera melihat," ujarku pelan. Bintang segera mengutukku. Hanya ini jalan yang terpikirkan olehku. "Kepalamu itu, tidak bisa berhenti berpikir yang aneh - aneh sebentar saja?!" Itu makian bukan perintah. Sebab ada nada kebencian yang dalam suara Bintang. "Itu sebabnya aku menguruhmu untuk menjadi Alpha yang dulu. Dokter Alpha, bukan si pengecut yang suka bersembunyi dari kenyataan seperti sekarang." "Kamu gak tahu sebesar apa ketakutanku melihat alat - alat medis itu lagi, Bi." "Maka dari itu kamu pengecut!! Aira tidak butuh kakak yang lemah dan pesimis seperti kamu! Sekarang saatnya kamu bangkit dan melawan ketakutanmu dengan bersikap gentle, Al. Aku dan Chandra akan membantumu. Lalu, apa yang kamu khawatirkan?" Banyak. Banyak yang kukhawatirkan. Aku melihat Arina meregang nyawa di meja operasi. Dan aku melihat Aira yang menangis sejadi - jadinya di atas brankar ruang operasi saat mengetahui dirinya tidak bisa melihat. Kebutaan itu membuat Aira syok sampai hampir mengikuti Arina yang akan pergi ke dunia lain. Aira kecil, ia mengalami stress dalam jangka waktu yang cukup panjang. Kehidupannya sebagai seorang siswi kelas 4 sekolah dasar pun berubah drastis. Aira tidak lagi bersekolah di sekolahan umum karena banyaknya ejekan yang ia terima dari teman -temannya. Aira kecil pun kerap menangis saat membaca, ia sangat menyukai kegiatan itu. Namun, ketika rangkaian huruf yang biasa ia baca dengan mata berganti dengan huruf timbul yang ia raba, Aira selalu membuang bukunya dan menangis kembali. Dan saat itu, aku malah membuatnya semakin terluka karena menuduhnya sebagai pembunuh. Ya Tuhan, aku sungguh menyesal. "Tidak ada gunanya kamu menyesal, Al. Aira hanya membutuhkan kasih sayangmu sekarang, buktikan bahwa kamu telah berubah sepenuhnya," celetuk Bintang seakan mengetahui isi hatiku. "Kembali pada profesimu yang dulu. Kita bisa akan lebih mudah mencari jalan keluarnya di sana. Prof. Fany bahkan masih berharap kamu mau kembali." "Bagaimana dengan Aira jika aku kembali? Aira tidak boleh sendirian, Bi. Kamu tahu itu." "Aira akan menjadi tanggung jawabku," jawab Bintang cepat. Apa maksudnya? "Kamu bisa membawanya bersamamu ke rumah sakit. Aku bisa mengawasinya ketika kamu sedang sibuk dan tentunya Aira akan berada dalam pantauan kita seharian. Itu tidak sulit." "Sulit, Bi." "Kenapa?" "Karena Aira tidak suka rumah sakit. Ia memiliki trauma cukup besar pada rumah sakit setelah kejadian itu." Tidak hanya pada rumah sakit, bahkan bau khas dari rumah sakit pun Aira hafal. Pernah suatu ketika aku membawanya ke apotek, tubuh Aira bergetar, keringat dingin pun kunjung membasahinya. Tempat sejenis obat - obatan akan membuatnya ketakutan tanpa hal tertentu. Sejak saat itulah, aku dan Ayah tak pernah lagi membawanya ke rumah sakit, apotek, toko obat, dan sejenisnya. "Separah itu?" Aku mengangguk. Bintang tak lagi bersuara. Kami sama - sama hening dalam pikiran yang melanglang buana entah ke mana. Padahal, malam ini aku berjanji pada Aira untuk pulang lebih awal. Namun, di situasi seperti ini aku sangsi bisa menahan air mataku untuk tidak terjatuh saat melihatnya. Pukul 1 dini hari, aku pulang. Ketika aku memasuki rumah semua ruangan dalam keadaan terang. Dan aku mendengar sesuatu dari arah dapur. Langkahku pun segera menghampiri ke sana. "Aira?" Adikku terduduk di meja makan dengan sepiring buah - buahan di hadapannya. "Kak Alpha? Kakak sudah pulang." "Hum." Aku pun menghampirinya. Aira tersenyum, cantik sekali. "Ini sudah larut, kenapa belum tidur?" tanyaku sembari mengusap surai panjangnya yang ia biarkan tergerai indah. "Kebangun, Kak. Aira lapar," katanya. "Perut kamu, masih sakit?" Aira menggeleng. "Tadi siang itu periode bulanan Aira, Kak. Kakak saja yang tidak mau mendengarkan penjelasanku dulu, langsung main gendong-gendong aja." Aku terkekeh, menyukai Aira versi cerewet. Wajahnya yang hanya sebesar satu kepalan tangan orang dewasa itu pun manyun. Membuatku gemas. "Aira rindu Kakak, kenapa pulangnya lama sekali?" Oh Aira ... Aku berdiri, merangsek maju mendekatinya kemudian membawa Aira dalam pelukanku. Rasa nyaman langsung kurasakan, hatiku ikut menghangat. Desiran itu tak bisa lagi kutampik. Gemuruh hebat yang mengatakan bahwa aku mencintainya. "Kakak juga rindu kamu." Kukecupi rambutnya yang harum buah - buahan. Segar dan lembut. Aira turut membalas pelukanku, ia melingkarkan kedua lengan kecilnya di pinggangku. Wajahnya ia simpan ke dadaku. Demi Tuhan, detakannya sangat tak terkontrol dan aku takut Aira bisa mendengarnya. "Aira bobo sama Kakak ya?" Dengan senang hati. "Iya." "Aira sayang Kakak," ucapnya. Aku bisa merasakan ketulusan seorang adik yang mengatakan sayang kepada kakaknya. Ya, aku kakak dari Aira. Gadis yang sedang kucintai. Hal tersebut selalu kuperjelas setiap saat agar bisa mengontrol diri dengan baik. "Aku mencintaimu Aira." "Ayo, Kakak temani tidur. Jangan begadang lagi." "Iya, Kak Alpha maaf." "Jangan meminta maaf Aira." Aira mendengus. Karena kamu tidak bersalah apa-apa. Tapi, aku yang salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD