Sheila POV
"Ck, siapa sih. Ganggu aja!" gerutuku.
"Angkat aja dulu, mana tau penting." Itu suara Irish yang sedang mengecat kukunya. Pajamas party, di rumahku yang hanya terdiri dari aku dan dirinya. Temanku tidak terlalu banyak, dan untuk akrab dengan banyak orang, itu hal yang sulit bagiku.
Makanya Irish bisa teronggok di atas kasurku dengan pernak - pernik kukunya itu.
"Males ah! Nanti juga mati," sahutku.
"Lo ngapain sih, Sheil? Dari tadi gue perhatiin kayaknya sibuk banget sama lembar - lembar kertas itu? Anaknya pemilik perusahaan emang ada tugas tambahan ya di waktu weekend?" Irish kembali bersuara.
Fyi, aku bekerja sebagai akuntan di perusahaan milik keluargaku sendiri. Kak Gio sebagai direktur utama saat ini dan Papaku adalah CEO resminya.
"Bukan urusan kerjaan ini, Ris."
"Terus, apa dong? Penting banget kayaknya."
"Iya, memang penting."
"Apaan sih, jadi penasaran gue." Irish turun dari ranjang dan menghampiriku yang masih memeriksa laporan dari orang suruhanku di sofa dekat jendela kamar.
"Alpha Riandra." Baca Irish yang merupakan judul di map cokelat yang tergeletak.
"Proposal apa ini, Sheil?"
"Gue lagi cari tahu informasi cowok yang lagi gue taksir. Jatuh cinta pandangan pertama sih tapi, sumpah ya gue bisa berdebar gak karuan pas pertama liat dia."
"Ck ck ck, bisa gitu ya?! Terus, Alpha Riandra itu-"
"Namanya, Ris. Panggilannya Alpha."
"Kok bisa sih suka sama orang dikali pertama jumpa kayak gitu. Seriusan suka? Ntar cuma sekedar terobsesi aja lo?"
"Dua rius, Irish. Karena lo belum liat aja gimana orang yang bernama Alpha Riandra itu. Gue yakin, lo bakal klepek - klepek."
Di sebelahku, wanita yang merupakan sahabat sekaligus rekan kerjaku itu pun memutar bola matanya malas.
"Pake pelet tuh dia berarti."
"What? What is the pelet? Pallets?"
"Ck, pelet no pallet. Udah ah skip, susah ngobrol sama anak konglomerat." Irish menggerutu.
"Yaudah terserah." Aku kembali fokus pada informasi yang tertulis jelas di lembar ini.
Pada lembar pertama tertera jelas biodatanya. Nama lengkap, tempat, tanggal lahir, sampai ke riwayat pendidikannya.
"Loh, dia dokter? Bukan pianis di cafe?" Sebab, tulisan itu menjelaskan bahwa Alpha adalah seorang dokter namun, karena alasan pribadi ia memutuskan untuk cuti dari profesinya di bidang medis dan menjadi seorang pekerja lepas.
"Sheil, itu ponsel lo bunyi lagi. Angkat dulu, udah empat kali loh."
"Ck, siapa sih?!"
Beranjak dengan malas, aku menggapai ponselku yang tergeletak di atas nakas.
"Kak Gio?"
"Tuh kan, sukurin deh lo. Gue bilang juga apa," cerca Irish. Selesai dengan kuku di jari tangannya kini ia beralih pada kuku jari kaki.
Aku menatapnya malas, kemudian mengangkat panggilan telepon tersebut.
"Iya, Kak. Ada apa?"
"Selamat sore, kami dari pihak kepolisian ingin mengabarkan bahwasannya Saudara Gio sedang mengalami kecelakaan," ucap seseorang di seberang sana yang kuyakini adalah polisi.
"Saat ini sudah dirujuk ke rumah sakit terdekat dari lokasi kecelakaan. Nama Anda menjadi kontak terakhir yang Saudara Gio hubungi. Mohon kehadirannya sebagai keluarga korban."
"I-iya, Pak. Iya saya segera ke sana."
Panggilan pin berakhir. Aku segera menyambar pakaian apa saja yang terdapat di lemari. Dompet, ponsel, dan kunci mobil.
"Sheil, ada apa? Kok jadi panik banget gitu?" Irish bahkan ikut menghentikan aktivitasnya pada jari - jari dan cat warna itu.
"Kak Gio, Ris. Kak Gio."
"Iya ... kenapa sama Kak Gio, Sheil? Lo tenang dulu okk? Jangan panik, tarik napas buang, tarik napas buang."
"Huh ..."
"KAK GIO KECELAKAAN, IRISH! GUE HARUS KE SANA SEKARANG!" ucapku menggebu setelah dapat mengatur napas dengan baik.
Irish yang saat itu masih khidmat merias kukunya pun langsung meninggalkan kesibukkannya, ia membuntutiku tanpa mempedulikan cat merah muda di kakinya yang berantakan.
***
"Pasien atas nama Giorgino, korban kecelakaan lalu lintas. Sebentar ya, Mbak saya periksa dulu."
Aku mengangguk dengan gelisah. Irish yang berada di sampingku pun mengelus perlahan kedua bahuku bergantian.
"Bapak Giorgino ada di ruangan VIP nomor 277, lantai 12, Mbak."
"Oke, makasih ya, Sus." Aku dan Irish segera berlari menuju lift yang untungnya tidak penuh.
"Kak Gio ..."
"Sheila, Kakak gak papa kok. Cuma luka lecet saja," ucap Kak Gio di ranjang pasien yang langsung kutubruk dengan pelukan.
"Kok bisa kecelakaan sih, Kak? Ya ampun, aku tuh hampir syok dengar Pak polisi yang nelepon aku pakai nomor Kakak."
Kepanikanku menguap dengan cepat saat mengetahui kondisi Kakakku yang tidak terlalu parah. Selama setengah jam kami berbincang dan Kak Gio diharuskan beristirahat, aku dan Irish pun berniat pulang. Sebab, Kak Gio ditemani oleh kekasihnya, Kak Riska.
Di perjalanan, Irish mendapat telepon dari orang tuanya. Katanya sih ada urusan penting.
"Gue tinggal ya, Sheil. Lo pulang sendiri gak papa kan?"
"It's okay, Ris."
Sepeninggalannya Irish, aku berjalan sendirian di lorong rumah sakit. Lalu, saat mengingat nama rumah sakit ini sama seperti rumah sakit tempat bekerja pria yang k*****a biodatanya tadi. Aku pun tersenyum.
"Dulu dia bekerja di sini," monologku. Dengan sendirinya senyumku pun berkembang. Jalanku menjadi tidak fokus sebab, serebrumku penuh dengan nama Alpha Riandra.
Dan karena ketidak fokusanku itulah, aku sampai tak memperhatikan jalan. Terlalu sibuk dengan pemikiranku sendiri. Hingga ...
"Aduh!"
Mengacaukan mood saja, bisa tidak sih, padahal kan aku sedang asik memikirkan pria tampan yang sedang membuat hatiku bungah. Tapi, kenapa jadi berakhir kena s**l begini.
Seseorang menabrakku hingga aku jatuh terduduk di marmer yang dingin. Kotor lagi.
Double sebalnya.
Belum lagi, rasa nyeri di bagian bokongku yang membuat meringis. Sakitnya sih tidak seberapa, malunya ini. Aku celingukan ke sana ke sini memastikan tidak orang lain yang melihatku dalam keadaan kacau seperti ini. Beruntung, koridor lantai 12 saat itu cukup sepi.
"Aduh ... hati - hati dong, Mas. Lain kali kalau jalan itu jangan sambil melamun!" semprotku sarkas, masih sibuk berdiri dan memperbaiki tatanan rambutku yang jadi agak berantakan.
"Maaf," ucap orang itu. Ia mengangsurkan tas selampangku yang tadi melayang ke arah kakinya.
"Alpha?"
"Kamu?"
Sungguhan ini Alpha? Aku mengerjap beberapa kali. Sampai mencubit kulit tanganku diam - diam. Sakit. Senyumku pun merekah indah. Ku ambil tasku yang Alpha berikan.
"Sheila, kamu sedang apa di sini?" Alpha bertanya demikian. Jadi, yang ku lihat sekarang sungguhan Alpha? Berarti aku tidak sedang bermimpi.
Alpha tidak sendiri, di sebelahnya ada pria yang waktu itu kutemui di cafe bersama dengan Alpha. Ingatanku cukup baik. Nama pria itu Bintang.
"Oh, hai Bintang kamu di sini juga?" Aku sengaja menyapa Bintang. Agar tidak terlalu terlihat kalau aku sedang salah tingkah.
Semoga saja mereka tidak menyadari kedua telingaku yang sudah memerah.
Dari penampilannya, Bintang terlihat seperti pekerja medis.
"Kamu ... dokter, Bintang?"
Pria itu mengangguk. "Ya begitulah."
Kami terlibat percakapan ringan sesaat. Mereka bertanya atas kehadiranku di rumah sakit ini, aku pun menjawab mengenai insiden yang baru saja menimpa Kakakku. Saat kemudian mereka berdua pamit karena Alpha mendapat telepon dari seseorang yang ia panggil Prof.
Namun, sebelum benar - benar hengkang. Alpha mengucapkan kata - kata manis dan menepuk sebelah pundakku.
"Salam untuk Kakakmu, semoga lekas sembuh."
Lalu,
"Yang sabar ya."
Astaga my heart is meleyot. Kata Irish begitu.
Kalau begini rasa sukaku bertambah semakin besar. Bukan lagi suka tapi, sudah masuk ke dalam takaran cinta. Bahkan nyaris ke tahap bucin.
Fix, mulai detik ini. Aku akan memgambil simpati dan hati pria itu sepenuhnya agar bisa menjadi milikku seutuhnya.
Bagaimana pun caranya.