Apa ada laki-laki sebrengs*k itu?

1228 Words
Jihan berusaha menenangkan diri. Dia sudah cukup lama berada di kamar mandi. Bahkan itu sangat tidak normal kembali. Jihan kira semua hanya mimpi belaka. Tapi semakin ia memikirkannya maka semakin kepalanya terasa pusing. Selama ini hidupnya terombang ambing tidak tentu arah. Dua tahun yang lalu ia baru bebas dari penjara setelah pengadilan memutuskan ia dihukum dipenjara selama dua tahun. Dua tahun berada di penjara bukanlah hal mudah. Jihan berulang kali ingin mengakhiri hidup karena merasa semua yang terjadi pada hidupnya sangat tidak adil. Tapi tuhan masih sayang, jihan masih diberikan kesempatan untuk hidup walaupun dilalui dengan sangat berat. Bunuh diri adalah hal yang sangat salah. Jihan terlalu berpikir pendek, padahal banyak orang yang hidupnya lebih menderita daripada dirinya. Jihan hanya bisa bertaubat atas apa yang pernah ia lakukan. Semoga saja tuhan mengampuni dosa-dosanya. Bagi umat islam, orang yang bunuh diri akan langsung masuk ke dalam neraka. Doa apapun yang dipanjatkan oleh orang-orang tidak akan bisa sampai padanya. Hidup sudah cukup menderita di dunia, apa di akhirat juga demikian? Maka betapa ruginya jika itu terjadi. Hal indah masih terjadi sehingga Jihan sadar bahwa apa yang ia lakukan salah dan dimurkai tuhan. Jadi untuk siapapun, seberat apapun hidup jangan berpikir untuk mengakhiri hidup. Lihatlah masih banyak orang yang jauh lebih menderita dibanding kita. Apalagi di tempat-tempat yang negerinya dijajah. Untuk sekedar tidur saja mereka tidak bisa. Jadi berusahalah untuk menghargai kehidupan. Jihan juga begitu. Jihan merantau ke kota ini supaya bisa menghilangkan semua yang berhubungan dengan kehidupan dimasa lalu. Tapi seakan tidak bisa ditebak, ia malah bertemu dengan orang yang paling ia benci. Siapa sangka, mantan suami yang meninggalkan dirinya delapan tahun yang lalu malah menjadi atasan di perusahaan tempatnya bekerja. Hal ini bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Jihan. "Lp?" beo Jihan sambil tertawa miris. Nama yang asing, tapi ternyata pemilik nama tersebut adalah mantan suaminya. Nama asli Lp adalah Laksamana Putera. Mungkin Lp diambil dari singkatan nama aslinya. Itu yang dipikirkan oleh Jihan. Pantas saja Jihan tidak mengetahui nama Lp adalah nama baru mantan suaminya. Kalau bukan karena kopi, mungkin ia seperti orang bodoh yang berada di bangunan yang sama. Jihan merasa jijik sendiri. Bahkan untuk menyebut namanya saja, ia merasa ingin muntah. Memang tidak baik membenci seseorang. Bahkan sebelum ini rasa benci Jihan berkurang karena tidak ingin mengingat Lp. Tapi saat bertemu kembali, rasa benci itu memuncak seakan-akan tidak bisa dikendalikan. Seharusnya mereka tidak perlu bertemu sehingga Jihan tidak terlalu membenci Lp. Tapi ternyata mereka malah dipertemukan kembali. Jihan marah bukan tanpa alasan. Bayangkan saja dia dan Lp baru menikah beberapa bulan, dia dulu sangat mencintai Lp bahkan tidak masalah menikah di usia muda. Apalagi Papanya sangat mendukung. Rasa cinta Jihan sangat tulus dan besar. Dia menerima Lp dengan segala kekurangan. Bahkan hidup susah pun tidak masalah. Tapi saat Jihan kecelakaan, ia tidak sadarkan diri selama tiga minggu. Bahkan saat itu Jihan sedang hamil dan mengalami keguguran. Apa yang dilakukan Lp? Dia menceraikan Jihan. Apa ada laki-laki berengs*k seperti itu? Bayangkan saja karena Jihan sudah merasakan bagaimana sakitnya ditinggal begitu saja. Saat Jihan berhasil melewati masa kritis. Ia tidak melihat sosok Lp yang seharusnya menemani, menjaga serta merawat dirinya. Dia ditinggalkan begitu saja tanpa mengatakan apapun. Hidup Jihan langsung hancur, dia hampir gila karena rasa cinta yang besar tapi balasannya sangat menyakitkan. Kalau saja pikiran Jihan tidak stabil, mungkin ia bisa melemparkan kursi di wajah Lp. Masih baik hanya kopi dan kopinya juga tidak panas. Jihan membasuh wajah agar terlihat lebih segar. Tapi nyatanya, wajah khas orang yang baru selesai menangis tidak bisa dihilangkan. Jihan ingin mencari masker agar tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Biasanya perusahaan menyediakan masker secara gratis. Jihan keluar dari kamar mandi dan melangkah untuk mengambil masker. Ia menunduk sambil menutup wajahnya dengan ujung hijab. Setelah mendapatkan masker. Jihan langsung memakainya. Dia kembali ke ruang kerja. Kalau dipikir-pikir sudah dua jam Jihan menghilang. Pasti ia akan langsung dimarahi. Biasanya Jihan takut, tapi sekarang tidak lagi. Jihan sangat senang jika dipecat. Dia tidak ingin bekerja di bangunan yang sama dengan Lp. Terlalu memuakkan dan menjijikan. Seharusnya Lp tidak boleh hidup bahagia. Dia sudah merusak kebahagian Jihan. Orang jahat tidak pantas hidup bahagia. "Kamu kemana saja, Jihan?" Popi langsung menghampiri dirinya. "Tidak ada." Jihan menjawab tidak seperti biasanya. Bahkan nadanya sangat dingin sekali. Lebih banyak yang tidak suka akan lebih baik. "Kamu sakit?" Popi tampak khawatir karena Jihan memakai masker. Suaranya juga berubah. "Tidak!" Jihan meninggalkan Popi begitu saja. Dia duduk di kursi kerja miliknya. Menunggu ada yang datang dan memarahinya karena sudah bolos kerja selama dua jam. Apalagi dia masih karyawan baru. Tentu saja menjadi makanan emput bagi orang-orang yang ingin melampiaskan kemarahan. "Kamu kemana saja?!" Baru saja dipikirkan oleh Jihan. Orang yang memarahinya langsung datang. Dia adalah Yuli, bisa dikatakan penanggung jawab Jihan. Yuli tua dua tahun dari Jihan. Sejak awal, Yuli sangat tidak suka dengan Jihan. Apalagi artikel-artikel yang dibuat oleh Jihan mendapat pujian dari Pak Samsul. Yuli langsung panas dingin. Dia sering sekali menceritakan Jihan, bahkan tentang masa lalunya yang pernah masuk penjara. Sindiran terus terdengar. Contohnya seperti, "hati-hati barang dijaga baik-baik. Nanti hilang." Memang perkataan itu biasa. Tapi Yuli mengatakan itu karena memiliki tujuan. Dia mengira Jihan masuk penjara karena kasus pencurian. Padahal tidak, jihan masuk penjara karena hampir membunuh orang. "Kenapa emangnya, Bu?" Bukannya menjawab dengan baik, Jihan malah menyulut emosi Yuli. Biasanya Jihan akan menjawab dengan sangat baik, tapi sekarang tidak lagi. "Kenapa kamu bilang?" Yuli berkata dengan nada tinggi. Bahkan karyawan lain langsung menatap ke arah keduanya. Yuli berani karena memang dia yang memiliki jabatan paling tinggi di ruangan ini. Jadi yang lain hanya bisa diam saja. "Iya. Kenapa?" Jihan semakin menjadi-jadi. "Ck. Dasar mantan napi. Perusahaan sudah baik menerima kamu. Tapi apa yang kamu lakukan?" Jihan tertawa kecil di balik maskernya. Biasanya Yuli tidak berani langsung mengatakan dirinya mantan napi. Tapi sekarang sudah berkata secara terang-terangan. Ternyata Yuli benar-benar sudah marah. "Saya hanya duduk," jawab Jihan dengan santainya. Popi yang duduk jauh dari meja kerja Jihan sudah dag dig dug tidak jelas. "Kamu sudah bolos selama dua jam. Apa kamu pikir perusahaan ini milik nenek moyang kamu?" "Tentu saja tidak," jawah Jihan. "Kalau punya nenek moyang saya, maka Bu Yuli tidak akan bekerja disini," lanjut Jihan lagi. Yuli tambah emosi. Dia bahkan melempar kertas yang ada di tangannya ke wajah Jihan. "Bagaimana mungkin kamu bisa diterima disini?" tanya Yuli dengan penuh emosi. Jihan mengedikkan bahu dengan santainya. "Lihat saja, saya jamin kamu akan dipecat. Sikap kamu seperti preman!" Yuli menunjuk-nunjuk Jihan. Apa Jihan sedih? Tentu saja tidak. Jihan malah bahagia. Dia bisa bekerja ditempat lain. Lebih baik jadi pemulung daripada harus menjadi bawahan sang mantan suami. Biarlah orang-orang menilainya bodoh. Kesehatan jiwa Jihan lebih utama dari gaji yang diberikan perusahaan. "Baik, Bu. Silahkan pecat karena saya juga tidak ingin menjadi bawahan Ibu." "Oke! Kamu tunggu saja." Yuli pergi menjauh dari Jihan. Dia terlihat sangat emosi. Tentu saja sikap Jihan membuat orang-orang di ruangan itu tidak percaya. Apalagi Popi yang tidak berani mendekat ke arah Jihan. Selama ini Jihan terlihat baik-baik saja. Bahkan saat Yuli marah, Jihan menunduk dan meminta maaf. Tapi sekarang Jihan menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya. Popi jadi takut sendiri. Apalagi banyak gosip yang beredar jika Jihan bukan orang baik. Jihan menghela nafas panjang. Dia mulai fokus di depan komputer. Apapun pandangan orang lain, ia tidak peduli. Yang jelas, Jihan tidak ingin bekerja disini lagi. Cukup sekali ia bertemu dengan Lp, kedepannya tidak akan lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD