"Jihan, Popi... "panggil advertising manager. Advertising manager adalah atasan Jihan di divisi media perusahaan, namanya Pak Samsul. Tanggung jawab dari advertising manager adalah untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan mengatur strategi periklanan dari sebuah perusahaan.
"Iya, Pak." Jihan dan Popi langsung berdiri.
"Tolong siapkan ruang rapat di lantai tujuh," ujar Pak Samsul.
"Baik, Pak." Keduanya segera bergerak di lantai tujuh. Sebenarnya di lantai dua ada ruang rapat, tapi khusus untuk tim mereka saja. Sedangkan rapat yang akan diadakan dua jam lagi adalah rapat dengan petinggi perusahaan. Tentu tempatnya berada di lantai atas dengan segala fasilitas yang lengkap.
"Oh ya, sekalian pesan kopi di coffee shop depan," ujar Pak Samsul lagi.
"Baik, Pak." Jihan dan Popi menjawab secara bersamaan.
"Aku belum pernah ke lantai atas," ujar Jihan jujur. Dia hanya karyawan baru, mana berani naik turun ke lantai atas.
Popi terkekeh. "Santai aja, nggak usah takut." Popi menenangkan Jihan. Dia sudah sering menyiapkan ruang rapat di lantai atas. Supaya ruang rapat tidak digunakan oleh divisi lain, maka perlu konfirmasi pada penanggung jawab lantai tujuh. Pak Samsul sudah melakukan sehingga Popi dan Jihan tidak perlu melakukannya. Paling mereka hanya mengecek ruang rapat seperti proyektor, pendingin ruangan, serta membagikan dokumen yang akan dibahas pada rapat tersebut.
"Kamu pernah ketemu sama Pak Hiro?" tanya Jihan. Dia tahu nama CEO perusahaan ini.
"Pernah."
"Gimana orangnya?"
"Normal."
Jihan memukul Popi pelan. "Bukan gitu," keluh Jihan.
Lagi dan lagi, Popi tertawa. "Pak Hiro baik kok, tapi ada yang lebih baik lagi yaitu Pak Agam. "
"Pak Agam?" beo Jihan. Ia tidak tahu siapa Agam. Apa informasinya tentang perusahaan ini terlalu minim.
"Iya...Oh ya, kamu pasti nggak tau." Popi dapat menebaknya karena dari awal juga dia tidak tahu siapa saja orang-orang penting di perusahaan ini. Sudah berbulan-bulan bekerja baru dia paham.
Jihan mengangguk. "Boleh kamu jelasin," pintanya.
"Boleh." Popi tidak pelit memberikan informasi. "Diperusahaan ini ada lima pemegang saham. Yang paling besar itu Pak Hiro makanya dia CEO. Empat lagi yaitu Pak Agam, Pak Lp, Pak Zero sama Pak Yu."
Jihan mengerutkan kening. Nama Lp, Yu serta Zero sangat aneh menurut pendengarannya. Bahkan ia baru mendengar nama-nama itu untuk pertama kalinya.
"Namanya aneh ya?" Popi menebak dari raut wajah Jihan.
Jiwa tersenyum malu. "Iya," jawabnya.
"Kamu kalau senyum manis, sering-sering senyum deh."
"Memang biasanya gimana?"
"Maaf ya, jangan tersinggung."
Jihan mengangguk.
"Muka kamu kelihatan judes." Popi mengatakan dengan jujur.
Jihan tidak marah. Hal seperti ini udah sering ia dengar jadi tidak masalah. Tidak mungkin juga Jihan senyum setiap waktu. Bisa-bisa otot-otot wajahnya menjadi keram.
"Oh ya lanjut lagi." Popi kembali melanjutkan pembahasan tentang petinggi-petinggi perusahaan dimana mereka bekerja. "Identitas mereka sulit untuk dicari, paling yang muncul hanya identitas Pak Hiro saja," lanjut Popi.
Jihan mulai paham. Pantas saja di website perusahaan, hanya ada nama Hiro. Sedangkan 4 nama yang dikatakan oleh Popi tidak Jihan ketahui.
"Kenapa gitu?" Jihan sedikit penasaran.
Popi mengedikkan bahu. Dia juga tidak punya jawaban pasti untuk pertanyaan itu.
"Tapi kamu udah pernah ketemu sama kelimanya?"
"Udah dong. Mereka atasan yang baik. Kadang suka nongkrong di depan. Kadang juga sering beliin makanan untuk para karyawan. Oh ya, Pak Hiro udah nikah dan istrinya punya toko kue. Istrinya sering banget ngirim kue ke sini."
"Wah..." Jihan takjub. Zaman sekarang sulit mencari atasan yang baik kepada karyawannya.
"Pak Agam juga udah nikah. Sekarang lagi di Jepang."
"Perusahaan ini ada cabang di Jepang?" tanya Jihan karena mendengar satu petinggi perusahaan berada di Jepang.
"Tidak ada. Pak Agam di Jepang karena menemani istrinya," jawab Popi. Hal ini membuat Jihan semakin penasaran.
"Istrinya kerja di Jepang?"
Popi menggeleng. "Bu Zia lagi menyelesaikan pendidikan pascasarjana."
Jihan mengangguk-anggukan kepala. Informasi yang sangat ia butuhkan sebagai karyawan baru.
"Kalau yang tiga lagi udah nikah?"
"Belum. Ketiganya incaran cewek-cewek perusahaan." Popi tertawa sendiri. Ya mau bagaimana lagi, pesona atasan mereka tidak bisa ditolak. Sudah ganteng, mapan plus pintar lagi. Siapa yang tidak mau coba?
"Kamu juga suka?" Jihan menahan senyum karena ingin menggoda Popi.
"Suka sih, tapi aku cukup sadar diri. Orang paling cantik di perusahaan ini aja nggak diladeni, apalagi aku yang kayak abu vulkanik gini."
Jawaban Popi membuat Jihan tertawa. Kalau Popi abu vulkanik, terus dia sendiri apa dong? Secara Popi lebih menarik dibanding Jihan.
"Apakah ada yang terang-terangan bilang suka gitu?"
"Ada."
Jihan terkejut. "Serius?"
"Iya... Hanya butuh muka tebal aja. Kalau dicuekin ya telan mentah-mentah aja."
Sedang asik mengobrol, mereka sampai juga di lantai tujuh. Ada beberapa ruangan di lantai tujuh. Suasana lebih sepi dibanding lantai dua atau yang lainnya. Sebelum masuk ke area lantai tujuh, ada alat yang mendeteksi wajah mereka. Jika tidak ada akses, maka mereka tidak akan bisa masuk ke area tersebut.
"Kok sepi?" bisik Jihan sambil melihat ke sekeliling.
"Itu ruang Pak Lp," tunjuk Popi. "Itu ruang Pak Yu," lanjutnya lagi.
Jihan langsung merapatkan tubuh ke arah Popi. Ia tidak tahu jika lantai tujuh terdiri dari ruangan para petinggi perusahaan. Pantas saja sunyi dan juga sepi.
"Ini nggak masalah kita ke sini?" tanya Jihan sedikit takut.
"Nggak apa-apa. Pak Samsul udah konfirmasi. Buktinya pas deteksi wajah kita lolos," jelas Popi. Tidak sembarangan orang bisa masuk ke lantai tujuh dan delapan.
Jihan dan Popi masuk ke ruang rapat. Jihan terkesima karena ruangannya sangat bagus. Bahkan fasilitas di dalamnya sangat lengkap. Pantas saja banyak yang ingin bekerja di perusahaan ini. Selain gaji yang tinggi, fasilitasnya juga bagus.
Popi menyiapkan bahan-bahan yang akan dibahas saat rapat. Tentu saja mereka tidak ikut dalam rapat ini. Hanya Pak Samsul dan beberapa orang saja.
"Udah?" tanya Jihan.
Popi mengangguk.
"Ada tiga puluh menit lagi," ujar Popi sembari melihat jam di pergelangan tangannya.
"Ya udah, biar aku yang beli kopinya di depan." Jihan mengajukan diri.
"Sendiri nggak masalah?"
Jihan menggeleng. Popi langsung memberikan card debit milik perusahaan kepada Jihan. Popi menunggu di ruang rapat sembari mengecek satu persatu dokumen yang akan dirapatkan beberapa menit lagi.
Jihan berjalan sambil memantau sekitar. Takut saja jika bertemu dengan salah satu petinggi perusahaan. Jihan bingung apa yang harus dia lakukan jika bertemu dengan salah satu diantara petinggi tersebut.
"Eh eh," ujar seseorang.
Jihan langsung berhenti melangkah. Tapi ia tidak membalikkan badan, takut jika yang dipanggil bukan dirinya.
"Mbak." Suara itu kembali terdengar. Kali ini Jihan membalikkan badan.
"Saya?" tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.
"Iya. Maaf sebelumnya, Mbak mau kemana?"
Jihan bingung. Kata Popi orang di lantai ini hanyalah petinggi perusahaan. Apa orang di depannya adalah salah satu petinggi perusahaan? Jihan sangat kebingungan.
"Be-beli kopi Pak." Jihan sedikit gugup.
"Kebetulan sekali. Apa boleh sekalian saya titip kopi?"
"Boleh." Jihan tidak punya alasan untuk menolak.
"Tidak usah, Pak. Ini ada card perusahaan." Jihan menolak saat orang di depannya memberikan lembar uang cash. Jihan menunjukkan card yang berada di tangannya.
"Beda, Mbak. Card ini untuk keperluan perusahaan, kalau kopi ini untuk Pak Lp."
"Pak Lp?" beo Jihan.
"Iya."
Jihan terkejut.
"Tolong ya, Mbak. Kalau sudah dibeli, langsung masuk saja ke ruangannya." Laki-laki untuk menunjuk satu ruangan.
"Saya, Pak?" Jihan seakan tidak percaya. Mana dia tidak pernah bertemu dengan pemilik ruangan tersebut.
"Iya, Mbak. Saya udah nahan sakit perut dari tadi. Tolong sekali." Laki-laki itu pergi setelah memberikan lembar uang kepada Jihan.
"Ta-tapi Pak-" Perkataan Jihan tidak ada gunanya karena laki-laki itu sudah menjauh. Jihan kebingungan. Kopi apa yang harus dia beli? Kalau salah membeli apa yang akan terjadi?
Walaupun Popi mengatakan petinggi-petinggi perusahaan sangat baik, tetap saja Jihan takut. Dia belum satu bulan bekerja di perusahaan ini. Tidak lucu ia dipecat hanya karena kopi.
Jihan ingin berteriak, tapi ia tidak bisa melakukan itu. Mau tidak mau, Jihan bergerak untuk turun ke lantai bawah. Berdoa saja supaya apa yang ia beli tidak salah sama sekali.
Dari awal masuk ke perusahaan ini, semua lancar-lancar saja. Mungkin ini salah satu cobaan yang harus Jihan hadapi karena tidak ada jalan yang mulus untuk sebuah perjuangan.
Jihan memesan tujuh cup kopi. Enam untuk orang-orang yang akan rapat dan satu lagi untuk sang atasan. Jihan menunggu beberapa menit sampai kopi selesai dibuat. Dia memegang tiga paperbag dimana masing-masing terdapat beberapa cup kopi.
Waktu terus berjalan, Jihan bergegas untuk kembali ke ruang rapat. Jangan sampai ia terlambat. Jihan panik sendiri karena tinggal sepuluh menit lagi sebelum rapat dimulai. Ia berlari agar bisa segera sampai di ruang rapat.
Pintu Lift terbuka, Jihan masuk dan ada beberapa orang yang juga masuk. Jihan tidak mengenal orang-orang di dalam lift tersebut karena beda divisi. Tapi ia berusaha untuk menyapa walau wajahnya memang sedikit judes. Semoga saja tidak ada yang berpikir buruk tentang dirinya. Apalagi dia masih karyawan baru.
"Kenapa lama?" Popi menunggu di depan ruang rapat.
"Maaf maaf." Jihan melihat ke dalam ruangan. Ternyata sudah ada Pak Samsul dan beberapa orang di dalamnya.
"Kok tujuh?" Popi mengecek di dalam paperbag yang diberikan oleh Jihan.
Jihan menepuk dahinya sendiri. "Satu lagi buat Pak Lp," jelasnya.
Popi kebingungan. Tapi ia tidak banyak bertanya dan membawa enam cup kopi ke dalam ruang rapat. Kini Jihan memegang paperbag yang berisi kopi untuk Lp. Padahal tadi ia tidak berkeringat, tapi sekarang keringat dinginnya malah keluar.
"Apa suruh Popi aja?" celetuk Jihan sendiri. Tapi Popi sedang sibuk di ruang rapat. Jihan mondar mandir tidak jelas. Mana ia tidak melihat laki-laki yang menyuruhnya untuk membeli kopi. Bolehkan Jihan menangis sebentar? Dari banyaknya orang kenapa harus dirinya?
Jihan tidak punya pilihan lain. Dia harus mengantarkan sendiri. Langkahnya sedikit berat, tapi mau bagaimana lagi.
Jihan mengetuk pintu tanpa bersuara.
"Masuk," ujar suara dari dalam.
Jihan menyiapkan diri. Mana suaranya sangat tegas sekali. Detak jantungnya sangat cepat. Mungkin dalam jarak tertentu bisa didengar.
Jihan membuka pintu seraya menunduk karena tidak berani melihat.
"Kenapa lama sekali?"
Deg!