Oh ... d**a-mu

1871 Words
Hamparan air laut yang terbentang luas melebar membentuk cermin yang maha besar, tatkala angin laut tidak menghembuskan tiupannya di permukaan air yang maha luas itu. Memang pada bulan tertentu, angin dan gelombang tidak akan menggoyang permukaan lautan sebelah timur Indonesia, maka akan tampaklah permukaan lautan bagaikan air danau tanpa tepian. Matahari pagi pun bagaikan terlahir dari luasnya rahim air lautan. Ketenangan permukaan lautan itupun ter robek dengan meluncurnya sebuah kapal laut yang cukup besar berisi puluhan bahkan ratusan penumpang di dalamnya. Dengan terlihatnya ratusan manusia yang berdiri pada sisi-sisi geladak kapal tersebut. Banyak penumpang yang berdiri dan duduk secara berkelompok atau sendiri-sendiri sambil menikmati cahaya mentari pagi yang hangat tanpa sengat. Diselingi hembusan semilir angin yang sejuk, menambah keindahan dan kenikmatan berkat yang sudah Tuhan berikan bagi umatNya. sehingga di pagi hari itu hanya sebuah kata yang tepat menggambarkannya ‘SEMPURNA’ Namun kesempurnaan ciptaan Yang Maha Kuasa itu, tidak dinikmati oleh sosok yang satu ini. Reli berdiri tegak, dengan tangan kiri memegang handraill kapal. Wajahnya menatap lurus menantang semburat matahari pagi, rambut depannya yang lurus bergerak-gerak diterpa angin, matanya menyipit lebih kecil dari biasanya, dengan dahi sedikit berkerut. Celana Jins yang kemarin dia pakai masih melekat pada kakinya, kaos oblongnya telah berganti warna, menjadi biru langit, seperti terlihat kaos jersey pemain sepak bola benua Eropa. “Reli...!!!”, terdengar suara yang sudah dikenalnya. Reli menggerak-an lehernya, menengok ke belakang, benar saja perkiraannya, Dian pemilik suara itu. Kali ini Dian pun telah mengganti busananya yang lebih santai, dengan hanya mengenakan celana pendek di atas lutut berwarna krim (coklat muda) dan kaos oblong berwarna putih bersih, dengan sandal coklat tua, sehingga memantulkan kesan natural, dan tidak menutupi kecantikannya. Kali ini wajah Dian lebih segar dibandingkan kemarin, mungkin juga kesegaran tampilan kali ini karena dia habis mandi pagi dengan wajah menggunakan make-up dengan sapuan yang tipis saja. “Selamat pagi mba..., sudah sarapan belum?”, sambut Reli yang berusaha menghilangkan logatnya. “Malas ah.., menunya hanya mie instan rebus yang sudah bonyok (terlalu matang)”, jawab Dian. “Makanya saya cari kamu Rel, untuk teman makan, kamu pasti suka.” lanjut Dian sambil menyodorkan segumpal kertas tissue makanan yang kelihatannya hanya sebagai pembungkus saja ke depan Reli. “Coba deh, ini Kue tart unggulan dari Restauran saya”. Kata Dian sambil menyodorkan sebungkus kantong plastik berisi beberapa potong kue. Reli sudah tahu kalau yang dia panggil ‘Mba Dian’ ini, sebenarnya adalah seorang pengusaha kuliner, yang juga terlibat dalam agro bisnis di seputaran Sulawesi Utara. Entah sebagai basa-basi, Dian sempat menawarkan pekerjaan bagi Reli di tempat usahanya jika Reli menyelesaikan studi-nya di Jakarta kelak. Sesuai omongan atau pengakuan Reli kepada Dian semalam. Memang Reli sempat di tanya oleh Dian tentang tujuannya ke kota Jakarta, Reli tidak mengutarakan kondisi sebenarnya dalam percakapan mereka semalam. Walau bagaimanapun Dian adalah orang lain, orang yang baru dia kenal kemarin, maka Reli hanya menjawab dengan jawaban yang umumnya saja bagi anak yang baru lulus SMA untuk melanjutkan pendidikannya. Padahal dia berangkat dari kampung halamannya dengan bekal seadanya, selebihnya adalah kenekatan belaka. Dengan tenangnya, Reli menghabiskan kue tart yang diberikan olah Dian dengan sekejap, mungkin dia tidak mengunyahnya, langsung telan. Memang itulah kebiasaan Reli kalau makan makanan yang lebih lembut dari sayuran dan daging hewani. Dengan alasan, biar rasa kenyang-nya lebih tahan lama. Dian melongo dan bengong, maksud dia, sisakan buat dia juga, karena sepotong kue tart yang dia bawa tadi cukup besar dan biasanya untuk empat orang. Ke-bengong-an Dian tidak berlangsung lama. Tiba-tiba kapal bergerak sedikit miring dan agak terguncang, dan terdengar peluit kapal seperti men-gong-gong. Rupanya ada kapal motor nelayan yang melintas di depannya secara tiba-tiba. “Ouww!!!.” jerit Dian. Dengan cepat dan sigap, tangan kanan Reli menangkap tangan Dian dan menarik ke arah dadanya. Dian terhentak dan agak sedikit berputar, sehingga punggungnya bersandar pada perut atas Reli yang cukup kekar. Satu lengan kanan Reli mendekap erat pada bahu Dian, Dian pun merasakan sandaran tubuhnya pada sesuatu yang kokoh dan kuat. Dian merasakan sesuatu yang nyaman dan tenteram, bahkan sambil sedikit memejamkan matanya, kepalanya pun ikut bersandar pada d**a yang kokoh itu. Ada sensasi yang dulu pernah Dian rasakan ketika Warno, almarhum suaminya masih ada. “Tenang mba,” sebuah kalimat terdengar di telinganya. Reli menenangkan Dian dengan membiarkan kepala Dian bersandar di dadanya, agar keterkejutan Dian mereda. Sementara Dian diam-diam menikmati perasaannya yang nyaman dalam beberapa detik saja. Dian memutar tubuhnya dengan perlahan, dengan wajah sedikit menunduk malu, menghadap ke tubuh Reli. Karena walau bagaimanapun sebagai wanita dewasa, dia tahu bahwa aksinya telah menunjukan hasrat terpendam dari seorang wanita yang membutuhkan sentuhan pria. Namun berbeda halnya bagi Reli yang Polos, yang baru mengenal dunia diluar kampung halamannya itu, ini bukan sesuatu yang istimewa, di kampung halamannya sering ada pesta pernikahan atau sekedar acara Ulang Tahun yang sering diselingi acara dansa-dansa anak muda. Dian menengadah ke arah wajah Reli, lalu mengangguk-an kepalanya sebagai tanda ucapan terima kasih atas kesigapan Reli kepadanya. Reli pun tersenyum tenang. Dian memukul d**a Reli dengan lembut, “Inilah fungsinya kaum Adam, d**a ini menjadi sandaran wanita sebagai tempat berlindung.” “Ha... ha... ha...” Reli tertawa senang, karena dia merasa Dian memberikan pujian kepada bentuk fisik tubuhnya. Merekapun terlibat canda-tawa dan percakapan yang akrab. Bahkan diselingi dengan sentuhan-sentuhan tangan keduanya yang diarahkan ke tubuh lawan bicara masing-masing. Canda-tawa diantara mereka berdua rupanya menjadi insiden kecil, tatkala tanpa sengaja tangan Reli menyentuh d**a Dian yang bagian kanan, tepat di puncaknya. “oh!” seru Dian terkejut. Reli mem-belalakkan matanya yang tidak terlalu besar dengan mulut membentuk huruf “O” tanpa terdengar suara. Keduanya terdiam, Dian merasakan denyut nadinya berdetak lebih cepat mengalir ke jantungnya. Ada getar indah ketika sebuah tangan yang kokoh menyentuh tubuh sensitif- nya. Dengan tertunduk sambil kedua tangan ditarik melindungi payudaranya, Dian memejamkan matanya. Reli yang melongo, memasang muka t***l bin blo’on. Tangannya merasakan sesuatu yang kenyal namun lembut di balik kaos itu, sesuatu yang sulit dia gambarkan sendiri. Ada perasaan yang menggodanya untuk kembali menyentuhnya secara lebih dan lebih lagi. Degup jantungnya berdetak kencang. Dengan perlahan dia mengatupkan kedua bibir mulutnya sambil tak terasa air liur yang hampir keluar ditelan kembali. Dian kembali tersadar, “ Rel.., kamu ini lho!!... Bagaimana?” lanjutnya kepada Reli. Reli yang saat itu menikmati Kecantikan wajah Dian, menatap dengan sedikit pandangan berkilat yang tertangkap oleh mata Dian. “Bagaimana apanya?” jawab Reli sambil memasang wajah lugu. Dengan lugas Dian berkata “Bagaimana tanganmu merasakan p******a seorang wanita?”, “Ouh” hanya itu balasan Reli. Dian menjadi penasaran, “ kog, hanya ‘ouh’.” kejar Dian. ”Indah..., Lembuuut.... dan mmm...” jawab Reli memasang wajah blo’on bin t***l. “Dan ingin lebih kan?”potong Dian sambil melipat bibir merah bagian bawahnya yang ditujukan kepada Reli sambil melangkah mundur menjauhi Reli, lalu masuk keruangan kabin penumpang meninggalkan Reli yang masing ter-longong bengong. Reli termangu dan terdiam, dia tidak menyusul Dian masuk ke kabin penumpang, dalam hatinya dia me-ya-kan apa yang sudah dicecar Dian terhadap dirinya. Reli cukup lama berdiri dengan berpegangan pada handraill kapal Pelni itu. Dia banyak berpikir atas semua peristiwa dan kejadian yang baru-baru ini dia alami, dia berusaha mencerna setiap kejadian, terutama pertemuan dengan seseorang seperti Dian. Kata-kata dan sikap Dian masih belum dapat dia pahami, baginya, Dian terlihat ramah, baik hati dan lembut, namun dalam sekejap menjadi misteri. Seperti sekarang ini, tiba-tiba Dian seperti marah kepadanya padahal sebelumnya baik hati dan penuh canda. Reli tersentak, sesaat kemudian dia merasakan panas matahari terasa menyengat puncak kepalanya. Dia sempat berpikir “kalau ngga ada Mba Dian, Matahari-nya jadi galak.” Diapun melangkah masuk, menyusul langkah Dian, dan karena sudah waktunya dia mengisi Kampung-Tengahnya (Perutnya) kembali. Setelah makan siang, Reli menuju kembali ke-dipan-nya, tapi sebelum terlelap tidur, dia sempat melirik ke sebelahnya, tidak ada Dian disitu, Reli pun belum peduli. Dian menikmati minumannya disebuah lounge yang berada di kapal itu, sambil menggeser-geser Hp-nya. (telepon genggam). Sambil mendengarkan alunan musik lembut, musik yang pernah populer di tahun 90-an. Dian benar-benar menikmati suasana itu. Walau sebenarnya pikirannya dipenuhi oleh sosok yang baru-baru ini mencuri perhatiannya, Sosok Tegap nan kokoh, sosok gagah berusia belia, berwajah polos dan kampungan dengan daya makan yang super-duper, sehingga membangkitkan perasaannya untuk semakin ingin mengenalnya. Semangat petualangan Dian semakin membara jika dia melihat Reli. Semangat yang mengantarkan dia sampai mau naik kapal laut kelas ekonomi, semangat supaya dia dapat menemukan sosok yang dia cari, sosok imajinatif Dian berwujud pada Reli. Antara rencana dan harapan mulai terangkai, walau masih dalam khayal namun diarahkan untuk dibentuk dalam bingkai realita. Dian tersenyum-senyum sendiri. Diseberang meja Dian, terdapat beberapa pasang insan manusia yang berhadapan sambil menikmati beberapa hidangan yang telah disediakan oleh para pelayan. “Boleh kami menempati kursi disebelah anda” terdengar suara yang mengganggu konsentrasi Dian, Dian mengangkat kepalanya dan dia melihat dua orang pria dengan penampilan yang santai dihadapannya. Dian pun menjawab “ Maaf, sebenarnya saya ingin sendiri.” Jawabnya. “tapi di meja anda ada tiga buah kursi yang kosong, sementara kami membutuhkannya, untuk makan sekarang, meja lainnya telah terisi”. Jawab pria kawannya. Dian melihat ke sekeliling ruangan itu, memang meja-meja itu sudah terisi, paling juga beberapa meja dengan dua buah kursi yang kosong selebihnya dipakai beberapa pasangan. “Baiklah..., silahkan” kata Dian, mereka pun lalu duduk dan mulai memesan makanan dengan beberapa tambahan lainnya. Dalam hati, Dian sedikit menggerutu, dia menilai bahwa mereka adalah para penumpang di kelas dua di kapal itu. Dian dapat mengetahui itu semua karena dari pembicaraan mereka yang dengan sendirinya menjelaskan letak kamar mereka. “Sesampainya kita nanti di Surabaya, kita langsung di jemput oleh orangnya pak Darto, and then (kemudian) kita langsung menuju kantornya, yang masih disekitaran Tanjung Perak daerah pelabuhan..., terus bagaimana bungkusan...” kata salah satu diantara mereka, yang segera dipotong oleh kawannya itu. “Ssstttt...,” potong kawannya sambil melirik ke arah Dian. Dian pura-pura tidak mendengar, karena matanya hanya tertuju pada Hp di tangannya. “Kowe (kamu)ini mulut bocor...., meledak-ledak ga lihat situasi” hardik temannya dengan logat Jawa Timur-an yang kental. “ Sorry Yu,” jawabnya, “I know, I know...” lanjutnya ke-inggris-inggris-an. “Maaf..., bu atau Nona..., perkenalkan saya Wahyu dan ini kawan saya Ido” kata orang yang dipanggil ‘Yu’ oleh yang satunya. “mari makan..,” kata Wahyu ke Dian ber-basa-basi. Dian hanya mengangguk kepalanya dengan sedikit tersenyum, sebagai balasan dan tanda mempersilahkan makan. Ketika keduanya masih lahap menyantap hidangan, Dian menggeser-kan kursinya ke belakang dan bangkit berdiri, lalu dia sedikit membungkukkan badannya ke arah dua lelaki itu, untuk pamit meninggalkan mereka. Mereka mengangkat kepalanya dengan mata sedikit mendelik dengan mulut penuh makanan dan berkata tidak jelas, karena terhalang oleh penuhnya makanan pada mulut mereka. Namun Dian dapat menangkap maksudnya, bahwa dia dipersilahkan pergi. Dian menganggap bahwa kedua lelaki itu bermaksud mendekati dia, entah secara seksual atau maksud-maksud lainnya, karena Dian dapat melihat mata mereka seperti mau menelanjanginya, maka Dian pun bergegas meninggalkannya, untuk berpindah ke ruangan lain. Ditemukannya-lah sebuah ruangan lain yang banyak menyediakan berbagai jenis minuman, baik beralkohol maupun non alkohol. Dian masuk dan menghampiri kursi yang agak tinggi dihadapan Bartender, dia hempas-kan pinggulnya seraya menyebutkan sebuah jenis minuman beralkohol dengan kadar yang rendah, baginya minuman seperti itu adalah kebiasaanya ketika dia ingin bersantai ditengah-tengah urusan bisnisnya.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD