10. Melihatmu Lagi

1578 Words
Saat ini Madilyn sedang berdiri di depan lemari pakaiannya. Dia menatap beberapa gaun malam yang tergantung rapi di dalamnya. Gaun-gaun itu dibelikan oleh ibu Madilyn setiap perayaan natal. Dulu Madilyn selalu menunggu momen datangnya gaun malam pilihan ibu yang akan datang sehari sebelum misa malam natal. Madilyn selalu excited dengan gaun malamnya. Pilihan ibu selalu cocok dan sesuai dengan seleranya. Dengan bangganya Madilyn akan mengenakan gaun cantik pilihan ibunya pada malam Misa hingga acara makan malam bersama keluarga besarnya di hari Natal. Namun momen itu sudah tidak lagi menjadi hal yang membahagiakan semenjak Madilyn pulang dari Amerika dalam keadaan hamil tanpa mengatakan siapa yang telah menghamilinya. Meski ibunya tetap membelikan gaun malam untuk Madilyn, tapi tidak pernah digunakan oleh Madilyn karena dia sendiri juga sudah tidak pernah bergabung dengan keluarga besarnya baik pada saat malam Misa maupun acara makan malam di hari Natal. Madilyn terlalu merasa rendah dengan kondisinya saat itu. Meski hubungan dengan kedua orang tuanya berangsur baik, tapi Madilyn masih belum memiliki muka untuk tampil di hadapan keluarga besarnya. Terlebih jika dia harus datang bersama si kembar. Madilyn belum siap baik batin maupun mentalnya jika mendapati si kembar akan menjadi bahan cemooh keluarganya karena tidak memiliki seorang ayah. Setelah laju pikirannya selesai berselancar ke masa-masa sulitnya ketika sedang mengandung si kembar dan melahirkan tanpa sosok suami yang rela berjibaku membantunya merawat buah hati mereka, Madilyn segera memfokuskan kembali pandangannya pada deretan gaun yang bisa dibilang tergolong paling baru karena merupakan gaun kiriman sang ibu di natal beberapa tahun terakhir. Pilihan Madilyn jatuh pada sebuah terusan berwarna hitam pekat. Modelnya seperti coat tapi kancingnya dipasang rapi sepanjang bawah lututnya beberapa sentimeter dan lengannya sedikit di bawah siku. Terusan tersebut dipercantik dengan obi yang dibuat dari bahan yang sama dengan bahan utama. Madilyn meletakkan terusan pilihannya itu di atas ranjang. Setelah itu segera pergi mandi dan mulai mendandani dirinya sendiri. Meski sanggup untuk memanggil make up artist, tapi hal itu tidak dilakukan oleh Madilyn. Dia lebih merasa puas dan pas dengan hasil dandanannya sendiri. Dia tahu bagian mana yang mesti ditutupi kekurangannya dan ditonjolkan kelebihannya. Tiga puluh menit kemudian Madilyn sudah siap. Dia lalu keluar kamar sambil membawa tas berbentuk bulan sabit berwarna hitam, yang nanti warnanya senada dengan sepatunya. Dari kamarnya Madilyn mampir ke rak sepatu untuk memilih sepatu yang akan dikenakan di acara lelang amal. Pilihannya jatuh pada stiletto dengan tinggi heels sekitar 13 cm. Merasa sudah siap semua Madilyn keluar rumah setelah memastikan rumahnya dalam keadaan aman saat ditinggal karena rumah akan kosong selama tiga sampai empat ke depan. Seperti biasa si kembar sudah dititipkan di rumah Oma Opa sejak siang tadi. Sementara Madilyn sendiri mengendarai mobil sendiri menuju lokasi acara lelang penggalangan dana. Acara lelang penggalangan dana diadakan di ballroom sebuah hotel yang cukup megah. Kelasnya adalah bintang lima dengan standar internasional. Nama hotel itu Dreame Hotel. Sebenarnya Madilyn sudah pernah dengar nama hotel itu sejak tiga atau empat tahun yang lalu. Hanya saja dia tidak pernah punya kepentingan apa pun dengan hotel itu sehingga bisa dikatakan Madilyn baru menginjakkan kakinya untuk yang pertama kalinya di hotel tersebut. Setelah menyerahkan kunci mobilnya pada petugas valet Madilyn berjalan memasuki hotel dengan langkah penuh percaya diri. Saat telah berada di dalam lobi utama Madilyn dibuat takjub pada interior lobinya. Sangat artsy, estetik dan menonjolkan kemewahan di dalamnya. Madilyn berjalan dengan santai sambil sesekali memerhatikan sekitar lobi. Tak ingin tersesat dan berbuat hal memalukan lainnya Madilyn memutuskan menanyakan lokasi ballroom yang sedang digunakan untuk acara lelang penggalangan dana. Dan tak sampai lima menit kemudian salah seorang petugas resepsionis keluar dari balik meja resepsionis lalu datang menghampiri Madilyn. “Mari saya antar, Bu,” ujar petugas resepsionis tersebut sopan. Madilyn mengangguk sembari tersenyum tulus. Lalu dia mulai mengikuti langkah petugas resepsionis tadi. Tak lama kemudian langkah petugas resepsionis berhenti di depan meja panjang yang sudah berdiri beberapa perempuan muda dengan dandanan cantik ala-ala pagar ayu dalam sebuah acara resepsi pernikahan. “Saya antar sampai sini, ya, Bu. Selanjutnya bisa langsung komunikasi dengan petugas acara lelang amalnya,” ujar petugas resepsionis sopan. “Terima kasih, ya,” balas Madilyn kemudian berjalan menuju meja bagian scan barcode. Madilyn menunjukkan barcode undangan yang sudah tersimpan di ponselnya. Setelah scan barcode sukses petugas mempersilakan Madilyn masuk sekaligus menunjukkan kursi yang bisa diduduki oleh Madilyn. Di dalam ballroom ternyata masih sepi. Hanya beberapa orang tamu undangan yang tampak hadir di sana termasuk Madilyn. Mereka tampak sedang saling berbincang seru saat Madilyn datang. Menunjukkan sikap sopannya Madilyn menundukkan kepala sambil tersenyum tipis untuk menyapa orang yang kebetulan beradu tatap secara tidak sengaja dengannya. Acara lelang ini bisa dibilang terbatas. Peserta hanya segelintir orang dari kalangan tertentu saja. Kebanyakan tamu undangan pasti adalah seorang pengusaha atau paling tidak seorang yang mewakili sebuah perusahaan tertentu karena pemilik atau pengelolanya sedang berhalangan hadir. Ada juga beberapa pejabat yang masih menjabat dan ada juga yang sudah mantan pejabat. Tak hanya itu saja beberapa wartawan dari stasiun televisi swasta dalam negeri juga ikut hadir untuk meliput acara. Setelah sepuluh menit Madilyn duduk di kursinya kursi-kursi lain di dalam ballroom mulai diduduki oleh pemiliknya. Madilyn mulai merasa lega karena artinya sudah ada tanda-tanda acara akan segera dimulai karena belum apa-apa Madilyn sudah merasa bosan berada di tempat ini. Dia mulai kehabisan topik obrolan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. “Selamat malam bapak ibu yang kami hormati. Selamat datang dalam malam lelang penggalangan dana yang disponsori oleh Advic Foundations bekerja sama dengan galeri lukis Twinny. Baiklah untuk mempersingkat waktu kami akan akan memulai pelelangan umum tahun ini yang akan akan diawali untuk melepas tiga lukisan karya pemilik Galeri Twinnya. Satu di antara tiga lukisan tersebutn merupakan masterpiece dari sang pemilik galeri,” ucap salah satu MC acara lelang mengawali pembukaan acara lelang. “Tiga perempat hasil lelang malam ini akan disumbangkan untuk membantu negara yang saat ini melewati masa perang dan sangat membutuhkan bantuan dari luar. Sementara itu sisa keuntungan akan disumbangkan ke Advic Foundation untuk nantinya disebar kepada anak-anak yang membutuhkan,” sambung MC yang satu lagi. Madilyn dan yang lainnya bertepuk tangan merespon sambutan hangat dari MC. Kemudian MC melanjutkan kembali pembukaan acara lelang malam ini. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda semua malam ini. Entah datang untuk ikut lelang atau sekadar untuk memenuhi undangan dari kami. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan selamat menikmati acara lelang ini.” ~ “Acara pasti sudah mulai. Kita benar-benar telat, Veri,” ujar Dafhina sembari melangkah cepat di koridor menuju ballroom tempat acara lelang penggalangan dana diadakan. “Yang penting sudah datang. Dari pada nggak sama sekali,” jawab Saveri seadanya. “Menurutmu begitu?” balas Dafhina cukup menunjukkan ketidak sukaannya pada jawaban Saveri. Tadi Saveri pulang terlambat dari yang jadwal pulang sudah diingatkan oleh Dafhina. Istrinya itu meminta Saveri pulang maksimal pukul lima sore karena acara akan dimulai tepat pukul tujuh malam. Tapi realitanya Saveri baru sampai rumah pukul enam sore. Ditambah drama harus mandi dulu, makan dulu, dan cekcok kecil karena Saveri tidak cocok pada pakaian yang dipilih oleh Dafhina. Dan alhasil mereka baru sampai hotel tempat acara pukul setengah delapan malam. Begitu mereka menunjukkan barcode undangan salah satu staf acara segera menghampiri mereka dan mengantar ke dalam ballroom. Ruangan di dalam sudah cukup gelap. Penerangan satu-satunya hanya berasal dari panggung tempat lukisan berada. “Kalau begitu kita mulai acara lelangnya. Untuk lukisan yang pertama adalah karya paling baru dari sang pemilik Galeri Twinny,” ujar kurator lukisan yang kebetulan membawakan acara lelang tersebut. Dua orang perempuan menarik kain penutup lukisan lalu muncullah lukisan dua burung merak dalam bentuk lukisan abstrak. Perpaduan warna-warnanya begitu cantik dan sangat tajam. Hanya dengan sekali lihat para pecinta lukisan pasti akan langsung jatuh hati pada lukisan tersebut. Kini semua mata sedang tertuju ke sana. Tak terkecuali Saveri. “Baiklah kita akan memulai penawarannya,” ujar sang pembawa acara. Beberapa orang mulai menyebutkan angka untuk lukisan tersebut. Dari mulai angka terkecil secara berurutan naik sedikit demi sedikit ke angka yang lebih besar. Lalu kemudian tiba-tiba ada sebuah suara dari sudut ruangan menyebutkan angka yang bisa dibilang naik sangat drastis dari angka-angka yang sebelumnya. Otomatis kamera mulai bergerak untuk mencari sumber suara. Pergerakan kamera menyoroti beberapa tamu lainnya yang kebetulan dilewati sebelum menuju ke sumber suara. Hasil rekaman juga tampil di layar proyektor besar yang bisa disaksikan oleh semua tamu undangan. Saveri terkejut ketika titik kamera menyoroti wajah seseorang yang berasal dari masalalunya. Karena pergerakan kamera begitu cepat dia jadi sangsi pada penglihatannya sendiri. Sampai akhirnya titik kamera berhenti pada sosok laki-laki dengan setelan jas warna navy sedang tersenyum menawan mengangkat kertas dengan tulisan angka yang nominalnya baru saja dia sebut. Kedua mata Dafhina terbelalak kaget ketika melihat sosok tersebut. Dia tidak menyangka akan bertemu laki-laki itu lagi di tempat ini. Keterkejutannya itu segera ternetralisir saat pembawa acara menanyakan, “Apakah ada penawaran lain? Kalau tidak ada lukisan karya pemilik Galeri Twinny akan menjadi milik tuan penawar terakhir.” Lalu pembawa acara menghitung mundur dari angka sepuluh sampai satu. “Selamat lukisan ini menjadi milik Anda.” Lagi-lagi pandangan Saveri seperti diuji ketika pergerakan kamera kembali menyoroti sosok yang begitu dirindukan kehadirannya selama sepuluh terakhir. Kepala Saveri terus mencari tahu sosok yang kini sudah ia temukan keberadaannya. Namun sayangnya dia hanya bisa melihat sosok itu dari punggungnya saja. Sebenarnya Saveri ingin segera menghampirinya. Tapi dia tidak ingin memaksa menemui sosok itu dan menimbulkan keributan di tempat umum. Dia khawatir kalau sosok itu masih sangat dendam padanya lalu bersikap seperti momen sepuluh tahun yang lalu dan Saveri kembali kehilangan jejaknya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD