6. Insecure Garis Keras

2103 Words
Riyo berkeliling bandara seorang diri. Dia mencari kedai roti favoritnya. Setelah mendapatkan Almond choco cream steak yang diinginkannya, Riyo kembali ke restoran cepat saji tempat Madilyn dan Sasha sedang menunggu kedatangan Oma dan Opa. Riyo berjalan riang sembari memakan kue kesukaannya itu. Namun karena tidak berhati-hati ketika melangkah Riyo menubruk tubuh seseorang. Karena tangannya sedang memegang kue otomatis kuenya ikut menempel di tubuh bagian depan orang yang ditabrak oleh Riyo. Dan berita buruknya karena coklatnya lumer sangat mengotori pakaian orang tersebut. “I apologize for my mistake,” ujar Riyo merasa sangat bersalah telah mengotori pakaian seorang laki-laki yang kini tengah menatapnya lurus-lurus. “Makanya kalau jalan itu lihat lurus ke depan. Jangan sambil makan juga. Apalagi ini tempat ramai,” balas laki-laki itu. “Apa yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku? Apa kita ke restroom? Biar aku cucikan bekas coklat di baju, Om.” Riyo sama sekali tidak menunjukkan wajah ketakutan. Dia justru terlihat sebagai anak remaja yang sedang sedang menunjukkan sikap gentleman layaknya laki-laki dewasa sedang mengakui perbuatan salahnya. Dia tidak takut juga karena di sini tempat ramai dan dia yakin laki-laki itu tidak akan berbuat jahat padanya. “Memangnya kamu bisa nyuci baju? Umur kamu saja paling masih SD,” ujar laki-laki itu seperti tidak memercayai kemampuan anak seumuran Riyo bisa mencuci baju. Terlebih anak itu laki-laki. Riyo mengangguk dua kali, sedang mencoba untuk meyakinkan laki-laki itu. “Meski masih SD tapi aku sudah diajarin caranya mencuci oleh ibuku. Bagaimana, Om? Mumpung bekasnya masih basah, jadi nggak terlalu sulit untuk dibersihkan.” “Serius kamu mau nyuciin pakaian saya?” “Ya, nggak semua juga, sih, Om. Paling cuma bekas coklatnya aja. Kalo dicuci semua baju Om nanti jadi basah. Memangnya Om bawa pakaian ganti?” “Ada, tapi di koper. Ya, sudah kalau kamu memaksa. Kita ke restroom sekarang.” Kemudian Riyo dan laki-laki asing itu berjalan menuju rest room. Sesampainya di toilet laki-laki Riyo meminta laki-laki itu untuk membuka pakaiannya yang kotor. Dengan cermat Riyo mencuci bagian yang terkena tumpahan coklat menggunakan sabun cuci tangan yang tersedia di dekat wastafel. Riyo mengucek kaus warna coklat muda milik laki-laki asing itu hingga noda yang tadinya tampak jelas kini tersisa samar-samar bekasnya. “Ini, Om. Sorry kalo nggak bersih banget karena aku juga nyucinya hati-hati takut jadi basah semua,” ujar Riyo sembari memberikan kaus tersebut pada pemiliknya. “Not bad. Saya juga tidak perlu menggunakan kaus basah itu. Coat ini saja sudah cukup. Lagi pula di sini panas. Sepertinya saya sudah salah kostum,” canda laki-laki asing itu. “Kalo gitu apa aku boleh pergi sekarang? Ibu dan saudaraku pasti lagi nyariin aku sekarang.” “Biar saya antar kamu ke tempat ibu dan saudara kamu. By the way, nama kamu siapa?” Riyo tersenyum ramah. “Kata ibu nggak boleh menyebutkan nama pada orang asing,” ujarnya. “Kalau begitu saya akan memperkenalkan diri terlebih dulu. Nama saya Veri. So, nama kamu siapa?” ujar laki-laki yang tak lain adalah Saveri sambil menyodorkan tangannya. “Riyo,” jawab Riyo sambil menjabat tangan laki-laki asing tersebut penuh percaya diri. “Oke, Riyo! Sekarang kita berangkat ke tempat ibu dan saudaramu sedang menunggumu.” “Okay, let's go.” Keduanya kemudian berjalan beriringan menuju restoran cepat saji tempat Riyo tadi makan siang bersama ibu dan kembarannya. Beberapa meter hendak mendekati restoran cepat saji yang hendak dituju oleh Riyo, anak itu menunjuk ke arah restoran. Dia kemudian berhenti melangkah dan berdiri di hadapan Saveri. “Sampai di sini aja, Om. Thank you so much,” ujar Riyo kemudian menundukkan kepalanya sebelum bergegas pergi meninggalkan Saveri. Saveri tersenyum melihat Riyo yang berjalan setengah berlari menuju ke arah restoran cepat saja. Bertepatan dengan itu ponselnya berdering. Tanpa melihat ke layar ponsel Saveri menerima panggilan telepon tersebut sambil berbalik badan dan berjalan menuju ke arah sebaliknya. “Ya, ini aku sudah jalan. Kamu tunggu di lounge saja. Sebentar lagi sopir keluarga sampai untuk menjemput kita,” ujar Saveri kemudian mengakhiri panggilan telepon tersebut secara sepihak. ~ Madilyn tidak tahu lagi mesti bagaimana menghadapi Riyo yang kini sedang berdiri sambil tersenyum lebar di hadapannya. “Dari mana aja kamu, Riyo?” tanya Madilyn penuh selidik. “Aku beli kue terus nabrak orang. Coklat dari kue itu kena ke baju orang itu. Kita ke rest room dan sebagai permintaan maaf aku mencuci noda coklat di baju orang itu,” jelas Riyo. “Sudah Mom bilang, jangan berinteraksi dengan orang asing! Bandel banget sih, kalau dikasih tahu.” “Bukan gitu, Mom. Aku tadi yang salah. Nggak enak aja kalo pergi gitu-gitu aja. Nggak tanggung jawab namanya. Dan seperti yang Mom bilang, sebagai laki-laki sejati itu harus mau mengakui kesalahan dan bertanggung jawab pada kesalahannya.” Madilyn mengembuskan napas kasar. Dia lupa kalau anaknya ini cerdas dan mudah belajar. Jadi apa pun yang diajarkannya sekalipun itu hal kecil dan sepele, anaknya akan terus mengingatnya. “Yeah, kamu benar kali ini. Lain kali jangan pergi tanpa seizin Mommy apalagi sendirian.” “Okay, Mom. Tapi untung Om tadi nggak ngamuk-ngamuk bajunya kena coklat. Mana lumayan banyak lagi coklat yang numpah ke bajunya. Dia laki-laki yang baik bukan, Mom?” Tiba-tiba Madilyn berdecak kesal tanpa Riyo tahu penyebabnya. Membuat anak itu bingung dan bertanya-tanya, kesalahan apa lagi yang diperbuatnya sampa-sampai membuat ibunya yang sudah lega tiba-tiba kembali kesal pada sesuatu. “Are you okay, Mom?” tanya Sasha yang juga ikut memerhatikan reaksi Madilyn. “Mommy nggak apa-apa. Tadi kamu bicara apa saja sama orang itu?” selidik Madilyn. “Nggak banyak. Cuma bicarain dari mana aku belajar mencuci. Aku bilang my best Mommy yang mengajarkan. Trus kenalan secara formal. Udah gitu aja.” Kedua mata Madilyn nyaris melompat dari tempatnya mendengar pengakuan Riyo kali ini. “Kamu kenalan sama orang asing? Pakai nama siapa? Kamu nggak diapa-apain, kan?” Emosi Madilyn kembali berubah buruk. Nada bicaranya juga sedikit lebih tinggi dari biasanya. “Calm down, Mom. Dia bukan orang jahat, kok. Aku yakin itu. Lagian aku kenalan cuma pakai nama Riyo doang. Udah gitu juga bilang kalo nggak sendirian di bandara.” “Dia nggak nanya-nanya hal lain sama kamu? Kayak alamat rumah kamu, sekolah kamu, dan orang tua kamu,” cecar Madilyn dengan raut wajah cemas. Riyo menggeleng. Bukan pertanyaannya yang membuat Riyo curiga, melainkan cara dan nada bicara ibunya ketika bertanya yang membuatnya heran dan merasakan keanehan pada ibunya. ~ Sepanjang jalan Madilyn menjadi pendiam. Dia tampak fokus pada roda kemudi di hadapannya, akan tetapi pikiran melayang jauh memikirkan laki-laki yang tadi ditemui oleh Riyo. Hatinya bertanya apakah mereka merasakan sebuah getaran yang aneh ketika bertemu untuk pertama kalinya. Madilyn tahu darah lebih kental dari air. Madilyn tidak bisa memungkiri itu. Namun satu hal yang patut Madilyn syukuri, Saveri bertemu Riyo bukan Sasha. Karena menurutnya, meski perempuan Sasha cenderung lebih identik dengan Saveri. Secara garis besar wajah Sasha lebih mirip Saveri. Hanya beda di warna mata saja. Sasha juga cenderung tidak mudah akrab dengan orang asing, berbanding terbalik dengan Riyo. Jadi bila tiba-tiba Sasha yang bertemu Saveri lalu langsung akrab di pertemuan pertama, barulah Madilyn perlu waswas. Sementara Riyo dia memang ramah pada siapapun. Jadi sebenarnya Madilyn tidak terlalu heran kalau tadi dia mudah akrab dengan Saveri. “Medy? Kamu lagi sakit? Ibu lihat dari tadi kamu diam aja?” tegur Ibu Madilyn yang menyadari hal tidak biasa pada anaknya. “Nggak, Bu. Medy sehat-sehat aja. Cuma lagi fokus aja. Jalanan lagi agak kacau. Meleng dikit kena semprot angkot,” jawab Madilyn. “Jalanan apa pikiran kamu yang lagi kacau?” “Jalanan, Bu,” jawab Madilyn sabar. Bertepatan dengan itu mobil Madilyn berhenti di depan pintu gerbang rumah kedua orang tuanya. Madilyn menekan klakson dua kali. Tidak lama kemudian pintu terbuka secara otomatis. Setelah terbuka sepenuhnya Madilyn melajukan mobilnya lagi memasuki pekarangan rumah. Dia berhenti tepat di depan beranda utama. Seorang wanita sedikit lebih muda dari ibunya berjalan cepat menghampiri mobil sekaligus membantu Ayah Madilyn mengeluarkan koper dari bagasi mobil. “Biar saya saja, Tuan,” ujar wanita tersebut. “Terimakasih Mbak Sum,” ujar Ayah Madilyn sembari menggandeng tangan kedua cucunya memasuki rumah. Sebenarnya setelah mengantar kedua orang tuanya sampai rumah, Madilyn akan kembali lagi ke galeri lukisannya. Ada banyak hal yang harus dia selesaikan untuk mempersiapkan lukisan-lukisan hasil karyanya yang akan diikutkan di lelang penggalangan dana untuk korban perang di negara yang saat ini sedang mengalami konflik panas. Madilyn tidak suka acara seperti itu. Dia tidak ingin hasil karyanya diperebutkan dengan cara seperti itu. Dia lebih suka memajang hasil lukisannya di galeri pribadinya lalu dibeli oleh orang-orang yang benar-benar tertarik pada lukisannya sehingga berusaha untuk mendatangi galerinya atau memang dia sengaja membuat pameran. Itupun hanya dilakukan belum tentu dua tahun sekali. Namun karena ide ikut lelang ini adalah ide dari Ayah Madilyn yang merupakan anggota lama dari yayasan amal yang kini sedang mengadakan acara penggalangan dana, dan Madilyn tidak bisa menolak ide itu. “Rencananya kamu akan melelang berapa lukisan, Medy?” tanya Ayah ketika memanggil Madilyn ke ruang kerjanya. “Tiga, Yah.” “Nggak kurang itu?” “Medy bukan jualan pisang goreng, Yah. Bikin satu lukisan aja butuh waktu berbulan-bulan. Itu aja salah satu di antaranya lukisan lawas yang paling Medy sayang. Beberapa kolektor lukisan pernah nawar lukisan itu, tapi nggak pernah Medy lepas.” “Lagian kamu ngapain aja? Bikin satu lukisan sampai berbulan-bulan,” cibir ayahnya. Madilyn mendesah lesu mendengar pertanyaan bernada menyindir dari ayahnya itu. “Yah, Medy itu punya anak kembar yang sedang aktif dan berkembang, nggak pakai baby sitter dan ART. Selain melukis Medy juga melakukan pekerjaan lain untuk cari tambah-tambah biaya hidup anak-anak dan Medy nggak punya suami yang bisa bantu apalagi membiayai hidup Medy dan anak-anak. And now, Ayah tanya Medy ngapain aja sampai-sampai untuk menyelesaikan sebuah lukisan butuh waktu berbulan-bulan?” “Kamu sendiri yang memutuskan memilih kehidupan yang seperti itu. Ayah dan Ibu sudah beberapa kali merayumu agar membawa anak-anak tinggal di rumah dan kamu kerja di perusahaan Ayah. Di sini ada tiga ART yang bisa membantu ibumu mengurus kebutuhan anak-anakmu. Tapi kamu bersikeras untuk mandiri, jadi salah kalau Ayah tanya seperti itu?” “Medy yang salah. Ayah nggak pernah salah,” jawab Madilyn tak mau melanjutkan perdebatan. “Ngomong-ngomong kamu sudah tahu rules-nya, kan? Tiga perempat dari hasil penjualan lukisan kamu akan disumbangkan ke yayasan amal?” “Iya, Yah. Medy tahu dan sama sekali nggak merasa keberatan. Tapi Medy boleh minta sesuatu.” “Apa?” “Lukisan Medy nanti no name aja. Nggak perlu dipamerkan ke khalayak kalau itu karya Medy. Trus nanti Medy nggak perlu tampil waktu penyerahan lukisan ke pemenang lelang. Biar diwakilkan Ayah atau orang yayasan aja.” Madilyn tahu acara penggalangan dana itu pasti dihadiri oleh pemilik-pemilik perusahaan ternama. Madilyn merasa rendah diri berada di tempat publik yang diisi oleh orang-orang penting seperti itu apalagi harus membawa nama ayahnya. Kening Ayah berkerut. Dia menatap Madilyn lurus-lurus. “Memangnya kenapa? Jangan gitulah. Orang-orang juga perlu tahu kalau lukisan itu hasil karya seorang Madilyn Advic anak perempuan satu-satunya Marlov Advic.” Madilyn tersenyum getir dan menggeleng tak habis pikir pada sikap ayahnya kali ini. “Bukannya waktu itu Ayah sendiri yang bilang kalau malu punya anak perempuan tapi kelakukannya kayak perempuan jalang? Ayah sendiri juga yang minta padaku untuk nggak muncul dimanapun apalagi membawa-bawa nama keluarga Advic?” Ada bunyi seperti patahan ranting dalam hatinya saat ini ketika Madilyn mempertanyakan soal perubahan sikap ayahnya. “Ya, itu dulu, Medy. Sepuluh tahun lalu waktu Ayah di puncak kekecewaan karena kamu hamil tanpa tahu siapa laki-laki yang menghamilimu,” jawab Ayah santai. “Sekarang apa bedanya? Meski anak-anakku sudah lahir dan sekarang usianya sudah sembilan tahun, Ayah dan Ibu juga belum tahu siapa laki-laki yang menghamiliku.” “Maafkan, Ayah. Waktu itu Ayah memang memang sangat keterlaluan padamu. Tapi seiring berjalannya waktu Ayah sudah menerima kehadiran si kembar meski tanpa tahu siapa ayah biologisnya. Kamu sudah membuktikan kata-kata yang waktu itu kamu ucapkan ketika Ayah menyuruhmu menggugurkan kandunganmu. Yang justru Ayah khawatirkan sekarang adalah kamu, Medy.” Madilyn menatap penuh tanya pada ayahnya. Dia menggeleng tidak mengerti dan meminta ayahnya untuk menjelaskan maksud dari pernyataannya. “Sudah waktunya kamu membuka diri. Carilah laki-laki yang sepadan denganmu dan yang terpenting bisa menerimamu sepaket dengan si kembar.” “Medy belum memikirkan soal itu.” “Maka dari itu pikirkan dari sekarang. Atau kamu perlu bantuan Ayah untuk mencarikan pendamping yang tepat untukmu?” tanya Ayah sembari menaik turunkan alisnya. Madilyn memutar bola matanya lalu mengibaskan tangannya ke udara. Tanda dia tidak tertarik pada topik pembicaraan yang baru saja coba dibuka oleh ayahnya. Demi tidak memperpanjang pembahasan topik itu, Madilyn buru-buru meninggalkan ruang kerja ayahnya. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD