Perasaanku setabah hujan di malam hari
Ia tetap turun
Meski tidak dihadiri pelangi
_suarahujan_
☂☂☂☂☂
Raira mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Mobil peninggalan almarhumah bapaknya. Hadiah pencapaiannya menjadi Master di usia muda.
“Di ruangan mana Naima, Mas?” tanya Raira sesaat setelah Riski menjawab salamnya.
“Kamu dimana Ra?”
“Ra udah di rumah sakit. Ruangannya yang mana Mas?”
“Kamu ke lantai tiga, nanti cari ruang ICU khususnya.”
“Bukan di kamar rawat Mas?”
“Kemarin dipindahkan, Ra. Sudah, kamu kesini aja, nanti aku ceritain detailnya.”
“Iya Mas.” Raira mengucapkan salam untuk mengakhiri panggilannya.
☂☂☂☂☂
Raira terisak dibalik jubah rumah sakit yang dikenakannya, tak sanggup melihat sosok wanita cantik yang sangat dikenalnya terbaring lemah di tempat tidur, dengan ventilator terpasang di mulutnya dan tangan yang bertempelkan selang infus.
“Ngobrol lah Ra dengannya, insyaallah dia masih bisa dengar. Mas keluar sebentar.”
Raira menganguk, menghantarkan kepergian Riski dengan tatapannya.
“Naaii… Ini aku Raira. Naii… kenapa kamu bisa gini sayang, bangun dong Nai, sadar dong. Aku rindu kamu Nai, aku rindu kamu marahin. Lihat, ini aku udah balik, aku disini Nai….”
Raira mengelus lembut pipi wanita yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri.
“Nai, bangun dong sayang. Lihat tuh Mas Riski, dia kuyu banget sekarang, jambangnya udah mulai tumbuh, itu pasti karena nggak kamu suruh cukur, Nai. Makanya kamu sadar sayang, kamu harus kuat, lawan penyakitmu sayang. Aku janji nggak bakal ngilang lagi asal kamu mau bangun, Nai. Aku rindu bawel kamu…”
☂☂☂☂☂
Raira merapihkan jilbabnya, berjalan mendekati Riski yang tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit.
“Bagaimana bisa seperti ini Mas?” tanyanya sambil mendudukkan dirinya perlahan pada kursi yang terletak di depan Riski.
Riski menggeleng, tangannya terkepal. “Ini cobaan buat kami, Ra. Allah amat mencintai Naima, Allah terus uji dia.”
“Dokter bilang apa Mas?”
“Cuma keinginan Naima untuk hidup yang bisa membuat dia bertahan. Karena hampir rata-rata yang mengidap penyakit ini sulit bertahan hidup.”
“Innalillahi… Kenapa begitu Mas?”
“Biaya pengobatannya mahal Ra. Obatnya sampai saat ini hanya ada satu, harganya jutaan perbotol…”
“Lalu, Naima?”
“Alhamdulillah untuk Naima semua biaya ditanggung perusahaanku. Tapi kalaupun tidak ada tanggungan, aku siap menanggung biayanya walau harus sampai menjual rumah.”
“Ya Allah Mas. Apa penyebabnya, Mas? Kenapa bisa kayak gini?”
Riski menggeleng, “Seperti yang kemarin ku ceritakan padamu. Awalnya Naima stress, lalu keguguran. Setelah proses pembersihan entah kenapa sepertinya terjadi infeksi. Lalu selanjutnya seperti apa aku juga nggak paham, Naima hanya mengeluh kakinya kram, kami kira mungkin efek dia harus bedrest selama beberapa hari setelah proses kuret kemarin, lagipula terkadang kramnya hilang, makanya kami tidak melakukan pemeriksaan apapun sampai suatu hari dia jatuh dan dia bilang kakinya seperti lumpuh.”
“Lumpuh? Maksudnya?”
“Ya lumpuh, nggak bisa jalan, nggak bisa bangun.”
“Lalu?”
“Seperti biasa, kau tahu mertuaku kan, mereka memaksa untuk membawanya ke terapis, mungkin ini sarafnya. Hasilnya memang seperti itu, ini sarafnya terjepit dan segala macam. Mereka bilang kalau diterapi rutin bakal baik, aku ikutin. Dua minggu nggak ada perubahan, malah tangannya mulai ikut tidak bisa digerakkan. Aku mulai panik, pasti ada yang nggak beres."
"Apa kata orangtuanya begitu tau, mas?"
Riski menggelengkan kepalanya, "Aku tidak menghubungi mereka lagi. Waktu itu hari sabtu, aku telpon Arfan untuk bantu aku bawa Naima ke sini, sampai disini, dokter langsung tes darah dan segala macam lah. Seminggu itu dia tes bolak-balik dan selama proses itu muncul gejala-gejala lain, mulai batuk berdahak, tapi sulit untuk mengeluarkan dahaknya, mau batuknya aja sulit. Pokoknya tambah parah.” Riski menarik nafasnya dalam-dalam, menyelesaikan ceritanya.
Raira terisak perih, tak henti-hentinya menyebut nama Naima. “Jadi sekarang ini bisa dibilang Naima koma, Mas? Sejak kapan?”
“Dia mulai seperti ini sejak seminggu yang lalu, tapi belum di masukkan ke ruangan ini, masih di kamar rawatnya. Kalau dibilang koma juga aku nggak tahu, Ra. Yang jelas menurut dokter saat ini dia sadar, dia mendengar kita, hanya saja otaknya nggak mampu untuk bekerja, nggak mampu mengirimkan pesan untuk saraf-sarafnya, karena penyakit ini memang menyerang sarafnya.”
“Penyakit apa sih Mas? Kenapa bisa Naima kena?” tanyanya bertubi-tubi.
Riski menggeleng, “Dokter sebut GBS, Guillian Barre Sindrom. Sistem kekebalan tubuh yang menyerang sistem saraf. Hanya menyerang satu dari empat ribu orang, penyakit langka, Ra. Mungkin menurut Allah, Naima yang terpilih.”
“Ya Allah Mas… lalu obat yang Mas bilang mahal itu? Nggak ada efeknya?”
“Menurut dokter, Naima cukup terlambat dibawa ke sini, karena untuk pasien seperti Naima, dalam waktu sebulan aja saraf bisa lumpuh total. Tapi Naima cukup beruntung juga karena selama dua minggu masih kakinya saja, ada orang yang langsung lumpuh total.”
“Lalu sekarang? Mas bilang tadi baru kemarin dipindahkan ke sini.”
“Iya, lima hari yang lalu. Nafasnya mulai sesak. Dokter harus memasang ventilator. Penyakit ini, Ra, karena sistem imun yang menyerang, termasuk menyerang syaraf sistem imun itu sendiri, jadi sistem kekebalan tubuh kacau, cairan sistem kekebalan tubuhpun dikeluarkan ditempat-tempat yang nggak seharusnya, makanya penyakit pun gampang masuk.”
“Ya Allah…” Raira menggelengkan kepalanya tak habis fikir. “Lalu obat itu tadi?”
“Sampai saat ini tetap disuntikkan kedalam infusnya, untuk Naima satu hari masuk lima botol. Kau bayangkan, Ra, lima botol dikali lima juta. Makanya banyak yang nggak sanggup dengan biaya pengobatannya.”
“Cairan apa yang disuntikkan?”
“Semacam imuglobin, untuk membantu meluruskan kekacauan di sistem imun.”
“Proses penyembuhannya?”
Riski mengangkat bahunya, “Entahlah, dokter nggak bisa mastiin sampai berapa lama pengobatanya. Tapi dari yang aku cari-cari di internet, maksimal pengobatan itu empat tahun. Pun kalau sembuh, hanya delapan puluh persen, belum ada yang pulih dengan sempurna. Masih butuh waktu untuk mengembalikan fungsi otot yang udah terlanjur lumpuh itu.”
“Jadi Naima bakalan seperti bayi yang baru lahir lagi? Belajar jalan lagi? Ya Allah Nai, aku merasa berdosa ke kamu…” Raira menundukkan kepalanya, tak sanggup membayangkan penderitaan yang dirasakan Naima.
“Insyaallah Naima kuat, Ra. Kau do’akan saja. Yang pasti menurut dokter, jangan berhenti berkomunikasi dengan dia.”
“Pekerjaanmu bagaimana, Mas?”
“Apa gunanya aku bekerja keras, mencari uang sebanyak-banyaknya kalau aku nggak bisa ngelihat senyum istriku untuk menghapus semua lelahku, Ra?” Pertanyaan Riski sedikit menyentil hati Raira, ia hanya bisa menundukkan kepalanya, mengangguk lemah.
“Setiap hari aku bercerita untuk Naima, bercerita tentang pertemuan pertama kami, bercerita tentang kehidupanku sebelum bertemu dengan dia, aku nggak mau ketika sadar nanti dia jadi lupa. Dia harus tahu betapa hebatnya dirinya. Sehabis magrib aku mengaji di sampingnya, permintaannya sejak aku menjadi suaminya.”
“Naima itu seperti mutiara, diantara ketiga saudaranya, dia yang paling menonjol, entah kenapa dia pula yang lebih mendalami ilmu agama, dia juga yang menyesatkanku untuk kembali ke jalan Allah,” gumam Raira.
Riski mengangguk, “Kau benar. Walau kadang masih suka cepat putus asa, tapi dia mampu tiba-tiba bangkit. Itu juga hal yang membuat aku tertarik padanya.”
“Mas beruntung ya…”
“Setiap orang punya keberuntungannya masing-masing, Ra. Kau sendiri kurang beruntung apa? Pintar, cantik, master pula, suamimu mapan, hmm….”
“Kau jangan lupa Mas, aku sekarang yatim piatu.”
“Ya Allah Ra, jangan kau buat kondisimu yang itu sebagai poin untuk menjatuhkan nilaimu, mereka syahid Ra. Kau bayangkan, berapa orang yang ingin kembali tepat dirumah Sang Pemilik? Orangtuamu pasti sangat bahagia.”
Raira mengangguk, “Iya Mas, hanya kadang aku berfikir, saat seperti ini, andai saja mereka masih ada, pasti nasehat mereka yang akan ku dengar. Apalagi bapak, ya Allah Mas, aku rindu sekali petuah beliau.”
“Iya Ra, bapakmu sangat bijak. Beliau mampu melihat segala kondisi dari sisi positifnya. Aku ingat ketika ta’aruf kita batal, dan beliau berkata, andai saja semua proses ta’aruf berakhir di pelaminan, tidak akan mungkin aku bangga memiliki istri seperti ibu Raira.”
Raira tersenyum, “Iya ya Mas, beliau juga yang kemudian berkata kalau Mas lebih pantas jadi anaknya ketimbang menantunya.”
“Hmm, makanya walaupun batal aku malah menjadi bagian dari keluargamu.”
"Iya, dan akhirnya Mas Arfan yang meluluhkan hati bapak," Raira tersenyum mengingatnya.
“Akhirnya kau sebut namanya. Ini dari Arfan,” Riski menyerahkan sebuah amplop untuk Raira yang mendadak terdiam.
“Tadi dia kesini. Maaf aku nggak bilang kamu, dia sangat ingin bertemu kamu, atau paling tidak melihatmu pun jadilah, begitu katanya.”
“Kapan Mas?”
“Waktu kau di dalam tadi. Ra, kau benar-benar akan meninggalkannya?” tanya Riski perlahan.
Raira membuka amplop yang diserahkan Riski. Tiket umroh miliknya yang beberapa bulan lalu diberikan Arfan, tapi hanya satu, hanya miliknya, tanggalnya pun sudah berubah, bukan lagi tanggal yang sama seperti kemarin.
“Maaf kalau kau merasa aku ikut campur dalam urusan rumah tanggamu, tapi sebagai abangmu, aku merasa kau begitu bodoh, Ra. Arfan begitu mencintaimu, dia lelaki yang baik. Kalau kau pergi dan meninggalkan dia, maka aku yakin kau pasti tidak akan mampu berpaling hati.”
“Aku sudah kalah, Mas. Lawanku berat, mama, ratu dalam hidupnya.”
“Dan bagaimana jika dia meninggalkan wanita yang melahirkannya itu dan memilih bersamamu? Kau bahagia?”
Raira menggeleng, “Kau tahu bagaimana hancurnya hatiku ketika kehilangan kedua orangtuaku kan Mas, begitu juga dia, aku nggak mau dia kehilangan ibunya. Suatu saat dia pasti membutuhkannya. Makanya Ra bilang udah kalah, Ra nggak sanggup bersaing dengan wanita mulia itu.”
Riski menyenderkan tubuhnya,
“Semua terserah padamu, Ra. Apapun yang terjadi dalam hidupmu sekarang menjadi tanggung jawabmu sendiri.”
Raira mengangguk, “Insyaallah, Mas. Kalau begitu Ra pamit dulu ya Mas, insyaallah besok Ra datang lagi.”
“Kau pulang ke rumah kan?”
Raira diam sejenak, “Lihat nanti lah Mas.”
“Nomormu yang tadi itu kan?”
Raira mengangguk.
“Kau nggak pesan nih biar aku jangan kasih tahu nomormu ke Arfan?”
“Ah Mas, kemarin juga Mas bilang nggak bakal kasih tahu dia kalau Ra ke sini, tapi buktinya hari ini dia datang. Kalian sahabatan, sukanya sekongkol. Ra bilang jangan juga paling Mas kasih.”
Riski tertawa, “Udah ku kasih juga sih tadi, waktu dia kesini.”
“Tuh kan, apa Ra bilang. Dasar tukang ngibul,” cibir Raira.
“Demi kebaikan kamu Ra…”
“Insyaallah lah. Pamit dulu ya Mas, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati dijalan.”
Raira mengangguk, berjalan menuju lift yang akan membawanya turun ke lantai dasar.
Riski memandanginya dari jauh sambil menggelengkan kepala.
“Semoga Allah mengetuk pintu hatimu, Ra.”
☂☂☂☂☂