Lihatkah kamu rinai hujan itu
Dibawahnya kita biasa menari
Berpengan tangan sambil menguatkan
Dan kini aku sendiri....
☂☂☂☂☂
“Kamu masih belum memaafkannya Ra?”
Raira tersenyum, masih menikmati hujan yang menambah sejuk tempat pengasingannya. Ia akhirnya mampu bercerita pada Ratih setelah satu minggu menginap disana.
“Kau tahu mbak, cara terbaik untuk menghidupkan kembali kenangan-kenangan yang telah mati adalah dengan lebur bersama hujan. Aku jadi ingin mandi hujan…” bisiknya.
Ratih menarik nafasnya, ia tahu sepupunya itu mengalihkan pembicaraan.
“Ini sudah lebih tiga bulan sejak kau pergi, Ra. Setidaknya kau hubungi dia. Mungkin dia tidak jadi menikah…”
Raira menggeleng, “Aku takut mbak. Takut kalau ternyata dia sudah menikah. Baginya mama adalah segalanya, apa yang diinginkan mama selalu diturutinya…”
“Bagaimana kalau kali ini dia menolak?”
Raira kembali menggeleng, “Tidak, aku tidak yakin, mbak.”
“Aku masuk dulu, Ra.” Bisiknya sambil menyentuh lembut pundak Raira.
Raira kembali menikmati keindahan hujan. Walau tatapannya jauh melayang pada malam sebelum ia meneguhkan hati untuk pergi.
"Sayang..." panggil Arfan lirih.
Tangannya sudah berada dibahu sang istri.
"Mas kenapa? Santai saja," ujar sang istri menenangkan.
Tiga tahun menikah, tak pernah sedikitpun wanita yang dipilihnya menjadi istri itu membantah bahkan meninggikan suara kepadanya. Dia selalu mencoba dewasa menghadapi rumah tangga mereka.
Pertengkaran yang barusan terjadi contohnya, dianggapnya sudah berakhir kala matanya terpejam dan menenangkan hati.
"Kita pulang ya," bujuk Arfan.
Raira menggelengkan kepalanya lemah, "Jangan lah, Mas. Gak enak sama mama. Lagipula sudah malam."
"Gak, ayo kita pulang. Aku gak tenang lama-lama disini. Bisa gila aku!"
"Istigfar sayang. Mas gak boleh ngomong gitu. Mama itu satu-satunya orangtua yang kita punya. Kita harus tetap hormat. Lihat aku, seberapa ingin aku bertemu dan memeluk ayah dan ibu, tapi semua udah gak mungkin. Mereka udah gak ada. Jadi bersyukurlah, mas.." tegurnya
"Mama sama saja seperti menyuruh aku memilih antara kamu dan dia, Ra. Dan aku gak bisa melakukan hal itu. T0lol rasanya aku kalau melakukannya. Jelas kalian berdua wanita yang paling aku cintai di dunia ini. Kenapa mama harus hadapkan aku dengan pilihan itu?"
"Karena aku gak bisa memberikan apa yang mama mau, Mas..." jawabnya datar.
Raira meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Arfan
"Aku cinta kamu, mas. kamu satu-satunya laki-laki dalam hidup aku. Tapi itu semua gak cukup, kita butuh keturunan untuk meneruskan silsilah keluarga, dan aku masih belum mampu memberikanmu itu,"
"Cukup Ra, semua cukup bagi aku. Kamu ikhlas menerima aku dengan segala tingkah lakuku, kamu cinta aku, kamu selalu menjadi rumah untuk aku pulang, itu semua udah cukup bagi aku, Ra..."
"Mas cinta aku?" Tanyanya lembut.
Arfan mengangguk mantap,
"Pertanyaan macam apa itu. Aku sangat mencintai kamu!" Tegasnya
"Mas cinta mama?" Tanyanya lagi
Arfan terdiam. Raira seorang guru bahasa inggris, sebelum menikah dia sudah menyandang gelar masternya. Terkadang kata-katanya sering membuat Arfan terjebak. Tapi mereka sudah tiga tahun hidup bersama, Arfan mengerti arah pembicarannya.
"Jangan jadikan cinta aku ke kamu dengan cinta aku ke mama sebagai perbandingan, Ra. Mama memang wanita yang melahirkan dan membesarkanku, tapi kamu wanita yang akan merawat aku sampai aku menutup mata nanti. Jadi kalian tidak bisa dibandingkan. Bahkan kalau aku meninggal nanti, hanya kamu yang sah untuk memakai pakaian berkabung hitam, bukan mama." Terangku.
"Aku gak minta kamu membandingkan cinta untuk kami berdua mas, tapi cobalah bijaksana. Mama begitu menginginkan cucu, dan sampai di tiga tahun pernikahan kita ini aku masih belum mampu memberikannya. Maka cobalah mewujudkan impiannya sebagai tanda kamu mencintainya. Menikahlah, dengan siapa tadi itu? Ah, Mutia." ujarnya tersenyum pilu.
"No. Big no! Ucapan kamu buat aku seram." Arfan menggenggam tangan Raira yang memegang pipinya.
"Wanita yang aku nikahi hanya kamu, Raira Asyifatul Hakim binti Rahman Hakim, bukan wanita lain. Gak akan aku nikahin wanita lain, dengar itu." sambungnya tegas.
Raira memeluk Arfan, sedikit terisak dia berkata,
"Janganlah membuatku menjadi durhaka, ikhlaskan aku, Mas..." pintanya menusuk jantung.
☂☂☂☂☂
Raira bangkit, meraih ponselnya diatas meja. Membuka kontak dalam ponselnya, mencoba mengurangi rasa sesak dalam dadanya.
Cukup lama nada sambung terdengar sampai akhirnya panggilan itu diangkat, jantungnya berdesir hangat.
“Assalamu’alaikum, hallo…” sapa suara serak diseberang.
“Wa’alaikumussalam…” jawab Raira ragu.
“Raira?” tanya suara itu memastikan.
“Iya Mas, ini aku, Raira…”
“Ya Allah Ra, kamu kemana aja selama ini?”
“Maaf Mas, aku mencoba menenangkan diri. Apa kabarmu Mas?”
“Alhamdulillah aku baik. Kamu gimana Ra?”
“Alhamdulillah aku juga baik, Mas. Naima gimana Mas? Bagaimana kondisi kehamilannya?”
Terdengar tarikan nafas di seberang.
“Kamu tega Ra. Kamu ninggalin kami semua seperti ini. Tiga bulan lebih dan baru ini kamu menghubungi kami, kamu benar-benar makhluk paling tega.”
“Maaf Mas Riski, Ra nggak tahu harus seperti apa menghadapi ini semua. Lebih baik Ra yang pergi dari pada harus menanggung luka.”
“Ya sudah lah Ra, aku mau nyalahin kamu juga bingung, yang jelas kalian berdua ini seperti orang idi0t. Tapi aku nggak nyangka Ra kamu pergi ninggalin kami semua begitu saja. Bahkan kamu sanggup nggak ngabarin aku dan Naima.”
“Maaf Mas, Ra benar-benar minta maaf…”
“Sudahlah Ra, simpan maaf mu untuk Arfan. Dia sangat mencintaimu, Ra.”
“Entahlah Mas." Jawab Raira ragu. "Ah ya, mana Naima, aku rindu dia…” sambungnya
“Naima sedang tidur Ra…” terdengar perubahan nada dalam suara Riski.
“Tidur? Tumben banget dia tidur jam segini, kamu suruh tidur siang ya Mas?”
“Dia tidur Ra, dan aku nggak tahu kapan dia bisa bangun dari tidurnya ini Ra…”
“Maksud Mas?”
“Sejak kepergian kamu, Naima ikut stress, dan berakibat buruk untuk janinnya, kami kehilangan calon anak kami, Ra…”
“Astagfirullah Mas. Jadi sekarang kalian dimana?”
“Naima dirawat di rumah sakit umum. Alhamdulillah ada asuransi dari perusahaanku. Kalau kau ada waktu, kemarilah.”
“Maaf Mas, Ra…”
“Aku nggak akan beritahu Arfan kalau itu bisa membuatmu kembali kesini.” Potong Riski.
“Bukan begitu maksud Ra, tapi…”
“Ya sudah lah Ra, kalau kamu memang belum bisa kesini aku nggak akan memaksa. Itu terserah kamu. Mudah-mudahan kamu masih ada waktu untuk bertemu Naima lagi.”
“Apakah kondisinya separah itu Mas?”
Terdengar Riski menarik nafas panjang, “Aku bahkan ikhlas kalau Allah memanggilnya sekarang, Ra…”
“Astagfirullah Mas…”
“Begitulah Ra. Ah ya, sudah dulu ya, sudah waktunya dokter masuk untuk memberi obat.”
“Iya Mas…” ujar Raira lirih.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…”
☂☂☂☂☂