8 : Princess Aurora and Her Prince

2323 Words
Lelaki itu duduk diam di kafe tersebut, tidak menghiraukan temannya yang sedang sibuk mengobrol, dan tidak menanggapi seseorang yang sedari tadi berusaha untuk megajaknya berinteraksi. Regan, lelaki itu, terlalu sibuk dan fokus memandangi benda tipis berbentuk persegi panjang dan berwarna hitam yang hanya diam di atas meja. Ia tidak bisa berhenti untuk memerhatikan ponselnya, menunggu benda itu bergetar dan menunjukkan sebuah notifikasi yang sangat ingin dilihatnya. Namun, sudah hampir setengah jam dan hasilnya nihil. Membuat Regan risau sendiri. Ia meraih ponsel tersebut, kemudian dengan cepat membuka aplikasi LINE dan megirim sederet pesan kepada seseorang yang tak kunjung muncul membalas semua pesannya. Berharap dengan itu semua, pesannya akan segera terbalas. "Kenapa sih lo? Daritadi kayak gelisah banget." Ucap Rio yang duduk tepat disamping Regan. "Gak." Regan menggeleng. "Jelas lo keliatan nggak nyaman gitu," Rio menggelengkan kepalanya, "Tania aja yang ngajakin lo ngomong nggak ditanggepin daritadi." Mendengar nama yang disebutkan Rio tadi, Regan langsung mendongak untuk melihat seorang gadis yang memang sudah cukup lama duduk di hadapannya, bersama Amel, kekasih Rio tepat disebelahnya. "Sorry deh." Tania hanya mengangguk dan tersenyum kecil pada Regan. Tapi gadis itu harus menelan pil pahit karena Regan tidak membalas senyumnya sama sekali. Bahkan, ekspresi wajah Regan sangatlah datar.  Regan kembali memandangi ponselnya, dan benda yang sedang terhubung dengan sebuah power bank itu masih tetap bungkam. Pada akhirnya, ia melepaskan power bank dari ponselnya. "Udah nih Mel, thanks ya." Ia memberikan power bank itu kepada Amel, gadis manis berbehel yang merupakan teman satu sekolah Regan sejak SD. "Sama-sama, Re," Amel mengambil benda miliknya itu dan memasukkannya ke dalam tas sekolah miliknya. "Eh iya, lo daritadi ngeliatin hape aja, nunggu kabar dari siapa sih?" "Dari Aurora pasti." Rio menjawab pertanyaan kekasihnya itu. "Oh, Aurora," respon Amel terdengar tidak senang, "emang penting banget ya kabar dari dia?" Sungguh, demi apapun, Regan sangatlah menyesal karena tadi ia menerima ajakan Rio untuk mampir ke kafe ini sepulang sekolah. Jika tahu bahwa akan ada Amel dan Tania di sini, ia tidak akan mau memenuhi permintaan teman baiknya itu. Regan tidak suka pada Amel karena ia tahu bahwa Amel tidak suka pada Aurora tanpa alasan yang jelas, sejak mereka duduk di sekolah dasar. Maka dari itu, Regan tidak suka dengan gadis itu, dan sifat Amel yang sedikit angkuh tambah membuatnya tidak suka. Ya, walaupun Regan tidak menunjukkan dan memberitahunya secara langsung. "Penting banget." Jawab Regan tegas dan itu cukup untuk membuat Amel menutup mulutnya. "Emang Aurora nya kemana, Re? Tumben kalian nggak bareng." ucap gadis berambut ikal disamping Amel, sahabat karib gadis itu sejak dahulu kala, Tania. Masalahnya bukan Regan tidak menyukai Tania seperti ia tidak menyukai Amel, bukan itu masalahnya. Setidaknya sifat Tania lebih baik daripada Amel, setahu Regan. Tania juga selalu bersikap baik pada Aurora. Jadi ia pun bersikap biasa saja padanya. Namun, ada satu masalah menyangkut Tania. Gadis itu menyukai Regan, sejak SD hingga sekarang. Membuat Regan selalu merasa canggung berada didekatnya. Alasannya simpel, Regan tidak mempunyai perasaan yang sama dengan gadis itu walaupun Tania telah melakukan pendekatan selama bertahun-tahun, Regan tak pernah memberi respon. "Kerja kelompok." Jawab Regan singkat, kemudian ia berdiri dari duduknya, menyampirkan ranselnya ke bahu dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Berniat ingin meninggalkan tempat tersebut sebelum ia merasa semakin muak dengan keadaannya sekarang. "Gue cabut duluan ya, bro." Ucapnya pada Rio. Belum sempat Rio menjawab, sang kekasih sudah mendahului. "Eh, Regan anterin Tania dong, kasian dia nanti pulang sendirian." Alis Regan terangkat mendengarnya. Apa-apaan lagi ini? "Bukannya dia ke sini sama lo?" "Iya tadi naik taksi sama gue, tapi kan gue nanti pulangnya sama Rio," jawab Amel manis. "Boleh ya?" "Udah bro, anterin aja lagian rumah kalian kan searah." Tambah Rio. Regan melirik Tania yang hanya diam dengan ucapan kedua temannya. Ia bersikap biasa, tapi Regan tahu, jika Regan menolak untuk mengantarnya maka gadis itu akan patah hati (lagi). "Yaudah." Dalam hati Regan mengutuki Rio, seharusnya ia sudah tahu sejak awal lelaki itu mengajaknya ke sini, ada maksud terselubung. Dan ternyata, Rio masih terlibat dalam rencana Amel untuk menjodohkan Regan dan Tania. Masih belum puas walaupun sudah gagal berulang kali. Menyedihkan. *** "Thanks ya, Re. Maaf udah ngerepotin." Tania turun dari motor Regan saat mereka berdua sudah sampai di depan rumah gadis itu. Regan tidak meggubrisnya, karena hal pertama yang dilakukan Regan saat motor yang dikendarainya berhenti adalah memeriksa ponsel. "Re, ngelepasin helm ini gimana sih?" Tania terlihat kesulitan untuk melepaskan helm yang melekat di kepalanya. "Pencet aja yang warna merah itu sambil ditarik talinya." Jawab Regan tanpa melihat Tania sama sekali, ia sibuk dengan ponselnya. Setelah mengetikkan sesuatu di ponsel dan memasukkan benda itu lagi ke saku celananya, mood Regan seketika berubah. Ia tersenyum kecil pada diri sendiri. "Nih helm-nya, Re." "Gue langsung cabut ya." Regan mengambil helm yang diserahkan oleh Tania. "Nggak mampir dulu?" "Mau jemput Aurora, udah mendung juga nih." "Oh oke, makasih ya." Tania tersenyum kecut. Regan mengangguk kecil sebelum ia menghidupkan mesin motornya dan kemudian berjalan pergi meninggalkan Tania di depan rumahnya. Sedangkan gadis manis bernama Tania itu hanya bisa memandangi punggung Regan yang perlahan menjauh dari pandangannya, dengan rasa iri yang tersimpan dalam hati. Ya, Tania merasa iri. Amat sangat iri pada seorang gadis yang selalu menjadi prioritas utama Regan sejak dulu. *** Tangan Aurora mencengkeran erat bagian belakang jaket lelaki itu, rambutnya berkibar-kibar karena tertiup angin akibat kecepatan motor yang sedang ditumpanginya, dan wajahnya terasa dingin. Motor yang dikendarai oleh Regan ini melaju sangat cepat, seperti kesetanan. Membuat Aurora beberapa kali mencubit lengan lelaki itu. Ia takut jatuh, jujur saja. "Regan gila, ngebut banget woy!" Aurora sedikit berteriak agar Regan bisa mendengarnya. "Udah mendung banget ini fix mau hujan, diem aja deh!" "Jangan kayak kesetanan gini juga kali!" Regan tidak menjawab dan semakin menambah kecepatan motornya saat perlahan rintik-rintik hujan mulai turun. Mulanya hanya tetes-tetes kecil, namun dengan cepat intensitasnya berubah menjadi sedang dan besar. "Anjir hujan kan!" "Udah terus aja Re, udah setengah jalan juga." ucap Aurora. "Gak!" Kecepatan motor Regan berkurang, sampai pada akhirnya menepi di depan sebuah halte yang sepi. Keduanya dengan cepat langsung turun dari motor dan masuk ke dalam halte tersebut untuk berteduh. "Ngapain sih teduhan dulu gini, nanggung banget," gerutu Aurora saat keduanya sudah duduk di bangku halte tersebut, "udah terlanjur basah juga." "Iya enak ngomong gitu, terus kalo udahnya sakit gimana?" "Enak dong sakit, jadi libur sekolah." Ekspresi Aurora yang seperti anak kecil benar-benar membuat Regan gemas. Ditambah lagi helm yang melekat di kepalanya semakin membuatnya terlihat lucu. Astaga, bagaimana mungkin helm yang tadinya dipakai Tania memiliki efek yang berbeda saat dipakai Aurora? "Elah ngelepas ini gimana sih? Susah banget." Aurora memiliki kesulitan yang sama dengan Tania tadi, tidak bisa melepaskan helm berwarna merah di kepalanya itu. "b**o banget sih, ngelepas ini aja nggak bisa." Walaupun Regan mengomeli Aurora seperti itu, tangannya tetap bergerak untuk melepaskan helm tersebut dengan lembut dari kepala Aurora. Kemudian, ia merapikan rambut Aurora yang sedikit berantakan. "Dasar manja." "Biarin." Kemudian keduanya diam, memandangi hujan yang turun semakin deras. Tapi, Regan tahu bahwa gadis di sebelahnya merupakan pemandangan yang lebih menarik daripada hujan. Ia menatap Aurora, merasa sudah rindu pada gadis itu, padahal mereka hanya berpisah untuk beberapa jam saja tadi. Mungkin karena sudah terbiasa pulang sekolah bersama, maka Regan merasa ada sesuatu yang kurang saat tidak pulang bersamanya.  Maka dari itu, Regan merasa bahwa sebuah keharusan baginya untuk menjemput Aurora dari rumah Saif dan membawanya pulang, supaya harinya terasa lengkap. Aurora menghembuskan nafas pelan, tangannya bersidekap di depan d**a untuk menghalau rasa dingin. Ia tidak memakai jaket sehingga rasa dingin langsung menusuk tubuhnya yang dilapisi seragam sekolah saja. "Pinjem jaket lo dong, Re. Gue kedinginan ih nggak kuat." Aurora menatap Regan, kemudian menatap jaket berwarna cokelat gelap yang dipakai lelaki itu. "Biasanya ya, cowok yang nawarin, bukannya cewek yang minta," Regan melepaskan hoodie miliknya itu, "dasar cewek agresif!" "Dih lo yang nggak gentle, dasar cowok posesif!" Aurora dengan cepat mengambil jaket yang ada ditangan Regan, kemudian menenggelamkan tubuhnya yang mungil dalam balutan jaket itu. Saat ia menarik nafas, aroma tubuh Regan langsung memenuhi rongga hidungnya. Rasanya nyaman. "Ah jadi kangen kasur di rumah," rengek Aurora, "pasti lama nih hujannya, bete deh." "Lo sih tadi kelamaan pulangnya, jadi kehujanan kan. " Dengus Regan. "Gue ngerjain tugas keles, 50 soal Fisika dan itu banyak, wahai Regan." "Halah, paling yang ngerjain si bule itu, lo kan bloon Fisika." Regan mengetuk kepala Aurora dengan jari telunjuknya. "Iya sih," gumam Aurora, "eh tapi kan gue terjemahin soalnya ke bahasa Inggris biar bisa dikerjain sama Saif, jadi gue ada gunanya!" "Kalo gitu sih gue juga bisa." "Oh iya, si Saif nawarin jadi tutor gue gitu deh, mau ngajarin gue Fisika sama Matematika sampe UN." Jelas Aurora, dan informasi itu tidak membuat Regan senang sama sekali. "Dan gantinya gue ngajarin dia bahasa Indonesia." "Hari apa aja lo belajar sama dia?" "Pokoknya setiap ada waktu luang pas pulang sekolah." "Oh." Regan mendegus. Dasar modus. Dia berpikir seperti itu terhadap Saif. Ah, rasanya tidak rela sekali jika Regan harus berbagi Aurora dengan Saif disela waktu luang mereka. Saat Aurora menoleh ke arah Regan, wajah lelaki itu sudah berubah masam dan itu membuat Aurora tertawa saat melihatnya. Lucu sekali. "Kenapa jadi bete gitu? Cemburu ya?" Goda Aurora. "Dih ngapain juga gue cemburu?" "Kan lo posesif." Ucap Aurora sambil menahan tawanya melihat ekspresi Regan. "Serah deh," balas Regan malas. "Oh iya, gue tadi nganterin Tania pulang masa." Kening Aurora berkerut mendengar perkataan Regan. "Hah? Tania anak IPA 4? Yang suka sama lo dari SD itu?" "Iya." "Kok bisa? Cie lo mulai ngerespon dia ya?" Entah mengapa, pertanyaan yang dilontarkan oleh Aurora itu membuatnya merasa aneh sendiri, seperti ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. "Kaga." Aurora menghembuskan nafasnya pelan mendengar jawaban dari mulut Regan. Dan ia baru sadar bahwa ia sempat menahan nafasnya tadi. "Tadi kan gue ke kelas lo tuh, tapi kata Loli, lo nya kerja kelompok di rumah Saif." "Gue kan udah kasih tau lo di LINE." "Iya, tapi hape gue low. Pas gue mau pulang malah ketemu Rio terus diajak nongki sama dia, taunya dia ngajak Amel sama Tania juga. Gitu deh jadinya, gue terjebak." Jelas Regan panjang. "Masih aja mereka semangat jodohin lo sama Tania. Haha." Mendengar tawa datar dari Aurora, Regan jadi tersenyum. Ia menoleh ke arah gadis itu dan menunduk agar wajah mereka lebih dekat. "Kalo nanti, suatu saat, rencana mereka berhasil gimana?" "Yaudah, gue dukung apapun keputusan lo kok." Jawab Aurora manis, sebisa mungkin ia mengabaikan debaran jantungnya yang tiba-tiba saja lebih cepat. "Yakin?" "Emangnya lo ada niatan buat jadian sama dia beneran ya?" "Kenapa? Lo cemburu?" Tanya Regan dengan senyum jahil diwajahnya. "Bukannya tadi yang cemburu lo ya?" Aurora mendongak, menantang Regan. Wajah mereka beradu. "Udah ngaku aja." Regan semakin menunduk, mengurangi jarak di antara wajah mereka. Secara otomatis Aurora langsung mencondongkan tubuhnya kebelakang. "Apaan sih deket banget, entar kecium!" Omelnya. Regan tidak bisa menahan tawanya saat mendengar kata-kata yang meluncur keluar dari mulut gadis itu. Mudah sekali untuk menggoda Aurora, dan Regan sangatlah menikmati kegiatan itu. "Boleh juga tuh, hujan gini pas banget buat yang ena-ena." Regan menaik-turunkan kedua alisnya. Sebagai hadiah dari tindakannya itu, Regan mendapat sebuah cubitan di pinggangnya. "Jijik banget lo dasar omes!" "k*****t, Ra! Sakit banget s****n, gue canda doang elah." Aurora hanya bisa tertawa setan melihat Regan yang mengaduh kesakitan sambil memegangi pinggangnya yang mungkin langsung memar akibat dari cubitan mautnya itu. "Gue cium beneran, tau rasa lo." Omel Regan. "Coba aja, entar gue tendang masa depan lo." Jawab Aurora galak. Astaga. Sambil mengaduh kesakitan, Regan tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya. "Anjir, serem amat dah ngeri." Aurora mencibir, kemudian pandangannya teralih lagi ke hujan yang masih turun dengan deras. Tidak ada tanda-tanda untuk berhenti. Saat sedang memerhatikan tetesan air hujan itu, tiba-tiba saja sebuah kenangan masa kecilnya bersama Regan muncul. "Eh tapi dulu pas masih kecil gue pernah janji kan kalo first kiss gue harus lo dan gitu sebaliknya, iya nggak?" Regan punya kekuatan baru untuk membaca pikiran atau apa? Kenapa ia tahu apa yang ada di pikiran Aurora? "Ya kali, janji anak umur lima tahun gitu kaga berlaku lagi." Jawab Aurora tanpa memandang Regan. "Janji kan harus ditepatin. Pokoknya nanti gue cium lo, titik." "Najiss, nggak mau gue iyuh." "Liat aja entar, waktu perjanjiannya pas udah lulus SMA, kan? Sebentar lagi dong." Walaupun tidak memandang Regan, tapi Aurora tahu bahwa lelaki itu sedang tersenyum jahil ke arahnya sekarang. Dan sialnya, pipi Aurora memanas mendengar perkataannya. "Tunggu aja ya, Ra. Muah." "Najis jijik banget is ngimpi aja lo." *** "Sang Pangeran lalu berlutut dan mencium Putri Aurora. Saat itulah sang Putri membuka matanya dan terbangun, tersenyum kepada Pangeran karena kutukan peri jahat telah patah. Lalu, mereka jatuh cinta dan pada akhirnya menikah, kemudian hidup bahagia selamanya." Aurora yang baru saja lancar membaca menutup buku cerita Sleeping Beauty miliknya dan ia tersenyum pada Regan yang tadi telah mendengarkan ceritanya. Regan juga tersenyum pada Aurora, walaupun sebenarnya ia merasa bosan dengan cerita dongeng itu, tapi ia berusaha untuk tetap terlihat tertarik. Tidak ingin membuat sahabatnya itu merajuk, tentu saja. "Ceritanya bagus, Ra." Ucap Regan dengan cengiran lebarnya. "Bener kan yang aku bilang? Ceritanya emang bagus." Aurora memeluk buku cerita kesayangannya itu. "Nanti kalo udah gede, aku mau dicium juga sama pangeran aku kayak Princess Aurora." Mendengar itu, Regan menjadi antusias. Ia menatap anak perempuan yang rambutnya diikat dua itu. "Kenapa harus tunggu udah gede? Regan mau kok jadi pangeran buat Aurora terus cium Aurora sekarang." Aurora menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ih, Regan. Nggak boleh tau. Kata mama, aku baru boleh dicium sama Pangeran tunggu udah lulus SMA." "Emang kenapa nggak boleh?" Tanya Regan dengan polosnya. "Soalnya kita masih kecil, belum cukup umur. Harus tunggu tujuh belas tahun dulu." Jelas Aurora dan Regan mengangguk mengerti. "Kalo gitu, Regan mau kok nunggu buat jadi pangerannya Aurora sampe umur kita tujuh belas tahun terus udah lulus SMA nanti." "Beneran?" Mata Aurora berbinar senang mendengarnya. "Iya, Aurora jangan cari pangeran lain ya! Cuma Regan yang boleh jadi pangerannya Aurora, cuma Pangeran Regan yang boleh cium Putri Aurora untuk yang pertama kali. Janji ya?" "Iya janji!" [].
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD