6 : No More Tears for Him

1892 Words
"Perhatian semuanya! Kami beri kalian waktu tiga puluh menit untuk istirahat sholat dan makan. Tepat pukul satu siang, semuanya sudah harus berkumpul lagi di lapangan." Arkan, sang ketua OSIS berdiri di podium, menyampaikan instruksi kepada adik-adik kelasnya yang sedang berkumpul di lapangan untuk mengikuti kegiatan pemilihan anggota OSIS yang baru. Semua yang ada di sana memandang Arkan dengan segan dan serius. Tidak ada yang berani berbicara saat Arkan sedang menyampaikan pengarahannya. Tentu saja karena mereka menghormati Arkan, siswa yang paling berpengaruh di sekolah mereka. "MENGERTI?" "SIAP MENGERTI KAK!" Seluruh siswa kelas X dan kelas XI yang berada di lapangan menjawab pertanyaan Arkan dengan tegas. Lalu, setelah aba-aba bubar barisan, mereka semua pun segera meninggalkan lapangan. Sebagian menuju ruangan tempat istirahat mereka dan sebagian menuju musholla sekolah. Setelah semua adik kelasnya meninggalkan lapangan, Arkan segera turun dari podium dan menghampiri anggota OSIS yang lainnya. Tanpa sepengetahuan Arkan, ada seseorang yang sedari tadi memerhatikan setiap gerak-gerik yang dilakukannya. Tentu saja, hanya memerhatikan dari jauh. Aurora duduk dibawah pohon yang terletak tidak jauh dari lapangan. Ia memerhatikan semua yang dilakukan oleh Arkan, bahkan Aurora juga memerhatikan ekspresi yang ada di wajah adik kelasnya saat mereka menatap Arkan dengan serius, penuh dengan rasa hormat. Dulu, ia juga mempunyai rasa hormat itu dan sangat mengagumi Arkan dengan kepemimpinannya yang baik. Namun, dengan mudahnya semua itu hilang karena luka yang telah Arkan torehkan pada hati Aurora. Pandangan Aurora terus mengikuti Arkan hingga lelaki itu sampai di sisi lain lapangan tempat anggota OSIS yang lain berkumpul. Mereka semua pasti tidak ada yang sadar bahwa Aurora menghilang. Ya, memang tempat Aurora duduk tidak terlihat oleh mereka. Tetapi, Aurora bisa melihat mereka dengan jelas. Lebih baik begitu, karena Aurora sedang tidak ingin dicari. "Lah kenapa lo di sini? Yang lain lagi briefing disana." Tapi, selalu ada satu orang yang dapat menemukan Aurora, dimanapun ia bersembunyi. Regan, tentu saja. "Males aja, capek," jawab Aurora lesu. "Baru tes wawancara aja udah capek, sesi marah-marah di tes mental dan fisik kan belom," Regan mengambil tempat duduk disebelah Aurora. "You know lah." Regan hanya diam, mengerti dengan mood Aurora yang tiba-tiba saja turun. Padahal, seharusnya ia merasa senang karena menjadi panitia pemilihan anggota OSIS baru di akhir jabatannya. Namun, ada hal lain yang membuat Aurora tidak nyaman. Saat Aurora menyenderkan kepalanya pada pundak Regan, lelaki itu membiarkannya. "Pasti bentar lagi dia dateng," gumam Aurora. "Yaudah biarin aja, pura-pura nggak tau." Aurora diam lagi, menatap sepatunya lalu menatap Regan, merasa beruntung dengan lelaki yang ingin datang menemaninya hari itu. Regan memang bukan anggota OSIS, tetapi ia merupakan ketua ekstrakulikuler futsal di sekolah mereka dan sebagai ketua, ia mendapat undangan sebagai panitia dalam kegiatan pemilihan OSIS yang baru. Aurora pikir lelaki itu tidak akan datang memenuhi undangan karena haram hukumnya bagi Regan bangun di bawah jam sepuluh pada hari Minggu. Tetapi, tadi pagi saat Aurora keluar rumah, Regan telah menunggunya. "Untung lo dateng hari ini, jadi gue ada temen deh." "Yaelah kayak kaga punya temen aja, pasti di sana mereka semua lagi nyariin lo," balas Regan. "Lagian, gue juga sebagai ketua ekskul yang baik harus memenuhi undangan ketos," ucapnya dengan menekankan kata terakhir. Aurora hanya tertawa datar mendengar nada suara Regan yang seperti itu. Lalu, ia bangkit berdiri. "Nyari makan yuk mumpung lagi istirahat. Perut gue juga udah minta diisi nih." "Baru duduk juga is," Regan pun ikut bangkit berdiri. "Ke kelas aja, gue tadi udah beliin burger McD buat makan siang kita." Mendengar kata McD, mata Aurora langsung berbinar senang. "Tau banget apa yang gue pengen, yaudah ayok ke kelas." Regan hanya pasrah saja saat Aurora menarik tangannya keluar dari tempat persembunyian mereka di balik pohon. Hal pertama yang ditangkap oleh kedua mata Aurora adalah teman-teman anggota OSIS nya yang masih berkumpul di sisi lain lapangan tempat mereka tadi. Namun, ada yang berbeda di sana. Tidak hanya ada teman-teman anggota OSIS Aurora, ada juga alumni. Ternyata mereka sudah datang, entah sejak kapan. Ya, alumni anggota OSIS dari bertahun-tahun yang lalu memang diundang untuk datang di tes pemilihan kepengurusan OSIS baru ini. Entah apa tujuannya, hal itu sudah menjadi tradisi turun-temurun setiap tahunnya. Hal itulah yang membuat Aurora menjadi malas. Tidak, bukannya Aurora membenci alumni yang merupakan seniornya, sama sekali bukan itu. Masalahnya ada pada seorang alumni, Naya namanya, dan ia dua tahun lebih tua dari Aurora. Mata Aurora menatap ke sekeliling lapangan, mencari seseorang yang bernama Naya itu. Ia mempunyai firasat bahwa Naya sudah datang. Boom. Benar saja, perempuan yang lebih tua dari Aurora itu sudah datang dan ia sedang duduk di salah satu bangku di depan kelas. Bersama Arkan. Naya merupakan mantan pacar Arkan sebelum lelaki itu bersama dengan Aurora. Dan Naya juga merupakan alasan mengapa Arkan meninggalkan Aurora. That's why. Rasa sesak langsung memenuhi d**a Aurora saat melihat pemandangan tersebut. Arkan sedang memegang kotak bekal dan memakan apa yang ada di dalam kotak tersebut, sambil sesekali menyuapi Naya. Mereka juga terlihat sedang bercanda, dilihat dari senyum lebar dari keduanya. Melihatnya membuat Aurora ingin menangis. "Dia nggak pernah keliatan sebahagia itu pas sama gue," tanpa sadar, Aurora mengucapkan apa yang ada dipikirannya. Regan yang tadinya tidak mengerti pun segera mengikuti arah pandangan Aurora. Tahu dengan apa yang dirasakan oleh Aurora saat itu, tangan Regan langsung bergerak untuk menutupi kedua mata gadis itu. "Kalo sakit, jangan diliatin." Dengan lembut Regan memutar tubuh Aurora dan sambil terus menutup matanya, ia membawa gadis itu berjalan berlawanan arah dengan jalan mereka sebelumnya. Sehingga, Aurora tidak perlu melihat apa yang ia lihat sebelumnya. "Jangan nangis dong." Itulah hal pertama yang dikatakan Regan setelah membuka mata Aurora dan melihat mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Aurora mengerjapkan matanya dan tidak ada airmata yang keluar. "Okay. No more tears for him, promise." "Senyum dong." Dengan kedua jari telunjuknya, Regan menarik sudut bibir Aurora, membentuk senyuman lebar di bibir gadis itu. "Apaan sih, kelebaran!" Aurora memukul lengan Regan lalu tertawa. Regan membalas perkataan Aurora itu dengan ekspresi konyol, membuat gadis itu tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. Seketika lupa dengan rasa sesak yang tadinya ada. Lagi, Aurora merasa berterimakasih dengan kehadiran Regan sekarang. Jika saja ia tidak ada, mungkin saat ini Aurora sudah menangis. "Udah ah ayok ke kelas, keburu burger McD nya lenyap." *** Hari sudah menjelang sore saat tes kepengurusan OSIS berakhir, namun tidak cukup sore untuk membuat Regan dan Aurora pulang ke rumah. Mereka tidak ingin menghabiskan hari minggu mereka begitu cepat, oleh karena itu, mereka sekarang sudah berada di mall. Berniat untuk menonton film di bioskop mall tersebut. Masih dengan pakaian yang mereka pakai sejak pagi, ditambah lagi belum mandi, keduanya tidak terlalu peduli. Mereka hanya ingin bersenang-senang, jadi biarlah. "Entar mau nonton apaan?" Tanya Aurora saat mereka sudah setengah jalan menuju bioskop. Regan mengangkat bahunya santai. "Terserah lo sih, gue ngikut aja soalnya pasti lo nggak akan setuju sama pilihan gue." Aurora hanya bisa nyengir mendengar jawaban dari Regan. Sahabatnya itu benar-benar pegertian. Regan selalu membiarkan Aurora yang memilih film apa yang akan mereka tonton setiap kali mereka berdua pergi ke bioskop. Selera mereka dalam genre film memang berbeda. Namun, Regan tidak pernah keberatan dengan film apa saja yang ingin ditonton Aurora, bahkan jika kartun sekalipun. "Eh kita keliatan kumel banget nggak sih sekarang? Belum mandi gini, muka berantakan pasti," ucap Aurora tiba-tiba saat mereka melintasi sebuah pilar yang dilapisi cermin di mall tersebut. "Biasa aja kali, orang juga kaga tau kalo kita belom mandi," jawab Regan santai. Aurora hanya mengangguk lalu melihat ke arah segerombolan anak perempuan seusianya yang berjalan tidak jauh dari Aurora dan Regan. Melihat penampilan mereka yang rata-rata semuanya memakai dress atau mini skirt yang sedang tren saat ini, membuat Aurora meringis dengan penampilannya sendiri. Dibandingkan dengan mereka, Aurora hanya memakai celana jogger berwarna hitam, sweater putih dengan tulisan 'i'm so f*****g awesome' yang kebesaran, dan sepatu vans andalannya. Tak lupa ditambahkan, rambut Aurora pun hanya diikat asal-asalan. Berbeda sekali dengan mereka. "Lucu ya mereka pakek dress unyu terus rok kiyut gitu," komentar Aurora sambil terus memandangi gerombolan itu. Regan pun mengikuti arah pandangan Aurora, lalu mengernyit. Apa lucunya? Regan tidak bisa menemukan hal yang lucu atau cute dari salah satu anak perempuan itu. Baginya, Aurora lebih lucu dan tentu saja lebih cute dari mereka. Tapi, tidak mungkin Regan mengakuinya. "Iya ya lucu. Coba kapan-kapan lo pake dress gitu deh." Aurora tertawa mendengarnya. "Ya kali seorang Aurora pake dress? No thanks lah ya," ucapnya. "Satu-satunya rok yang mau gue pake cuma rok sekolah." Regan menggelengkan kepalanya geli mendengar jawaban dari gadis itu. "Cewek tapi nggak mau pake rok, pantes aja diduain," candanya. Namun, perkataan Regan barusan sukses membuat ekspresi Aurora berubah. "Oh. Jadi gitu? Gue diduain karena nggak suka pake rok ya?" Tanya Aurora sarkastis. Sadar bahwa ia telah salah berbicara, Regan pun langsung panik. Ia mulai menyamakan langkah dengan Aurora yang sudah berjalan duluan. "Ra, gue nggak maksud gitu, sumpah!"  Aurora tetap berjalan tanpa menoleh sedikitpun kearah Regan. Tentu saja, karena perkataan Regan tadi sudah menyinggungnya. Membuatnya merasa yah you know lah. "Ra, maaf. Gue cuma bercanda serius nggak maksud ngomong gitu, nggak sadar juga kenapa ngomong gitu," ucap Regan dengan wajah memelasnya. Dalam hati, Regan mengutuki dirinya yang bisa salah berbicara. "Sumpah nggak maksud, Ra. Jangan marah dong," bujuknya. "Nggak marah kok. Mungkin lo bener, mana mungkin ada yang mau sama cewek yang nggak cewek banget kayak gue," ucap Aurora kesal. "Gue kaga bilang gitu, ya ampun." "Tapi kan intinya gitu." Aurora terus berjalan cepat, pintu depan bioskop sudah ada di depannya. Tetapi, sebelum Aurora masuk ke dalam, Regan berhasil menahannya. "Nggak boleh masuk kalo masih marah." "Siapa yang marah coba? Udah ah, lepasin." Regan menatap Aurora dan menggenggam tangan gadis itu lembut. Now tell me, siapa yang tidak akan luluh jika diperlakukan seperti itu? Bahkan Aurora pun sampai harus membuang pandangannya dari Regan yang entah mengapa berubah menjadi lebih tampan. "Denger ya Ra, gue sama sekali kaga maksud ngomong yang tadi. Serius deh, gue cuma bercanda dan gue tau itu salah. Jadi, gue minta maaf," Regan memulai speech dadakannya. "Terus, lo tuh salah besar kalo ngomong nggak ada yang mau sama lo karena lo nggak suka pake rok atau karena lo tuh nggak cewek banget. Can't you see? You're beautiful in your own way. Even, the most beautiful girl I've ever seen," kata-kata itu keluar dari mulut Regan, sahabat yang sudah dikenal Aurora sejak bayi. Tetapi, Aurora tidak bisa menahan wajahnya yang tiba-tiba memanas, pasti wajahnya memerah sekarang karena mendengar itu. She just can't stand sweet words like that. "Lo kayak gombal ala-ala playboy gitu duh malu tau didenger orang," gumam Aurora. "Bodo," Regan balas bergumam. "Dan kalaupun emang nantinya nggak ada yang mau sama lo, which is impossible, gue mau kok pacarin lo. Bahkan, nikahin lo pun gue mau," Regan melanjutkan speech-nya. Aurora tertawa mendegarnya. "Ya ampun sejak kapan lo gombal gini? Ngeri gue dengernya," ia menggelengkan kepala dan menatap Regan geli. "Eh tapi, emang lo mau jadi pilihan terakhir?" "Mau. Asal jadi pilihan terakhir lo, bukan orang lain," jawaban Regan pun diiringi tawa Aurora lagi. "Why so cheesy?" Tanyanya lalu menarik Regan untuk memasuki bioskop. "But, apology accepted. Bless your sweet jokes, dude." Regan menghela nafas, memandang Aurora yang kini sedang menariknya menuju tempat antrian tiket. Seandainya Aurora tahu bahwa Regan tidaklah bercanda dengan semua yang dikatakannya tadi. Dan seandainya Regan tahu bahwa Aurora tertawa bukan karena perkataan Regan yang lucu. Melainkan, karena gadis itu mencoba untuk menutupi debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila, dan rasa gugup yang secara tiba-tiba muncul. Well, seandainya. [].
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD