"Cobalah untuk percaya diri, Arisa. Jangan terlalu sering menundukkan kepala dan mengatakan iya pada orang lain."
Aku mendongak, menatap sosok berkharisma di sebelahku. Mudah bagi seorang beliau untuk berkata demikian, beliau adalah seorang yang tampan, menawan, berpendidikan, dari keluarga terpandang, dan juga mempunyai jabatan yang bonafide di perusahaan Baja dan stainless ini, tapi untuk aku mempraktikkan apa nasihat beliau adalah hal yang sulit. Aku tidak mempunyai cukup kekuatan untuk berkata tidak pada orang yang lebih kuat.
Di dalam perusahaan, aku rasa bukan hanya perusahaan ini saja, hukum rimba berlaku dengan kejam, mereka yang kuat akan menindas mereka yang lemah untuk menunjukkan kuasanya.
Dan sebisa mungkin aku menghindari masalah yang terjadi, aku sadar mencari pekerjaan di luar sana begitu sulit. Untuk itu aku menjaga benar pekerjaanku di perusahaan ini.
Memilih untuk tidak menjawab aku memberikan sesendok kecil kopi yang baru saja aku racik ke hadapan Pak Utama. "Tolong cobain dulu, Pak. Saya nggak mau perkara kopi nggak enak saya jadi di pecat sama Pak Bos!"
Pak Utama tersenyum kecil, sepertinya dia maklum aku tidak menanggapi nasihat beliau barusan, tapi yang mengejutkan untukku, bukannya meraih sendok kecil yang aku sodorkan kepada beliau, beliau justru meraih tanganku yang membawa sendok tersebut ke bibir beliau dan mencicipinya dengan kontak mata yang tidak lepas dari mataku.
Deg, deg, deg, deg, deg.
Suara keras jantungku karena tindakan Pak Utama membuat jantungku berdegup keras, bertalu-talu begitu kencang hingga membuat dadaku terasa sakit.
Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat betapa halusnya kulit wajah pria tampan yang menjadi material husband para wanita lajang di kantor ini, bukan hanya kulitnya yang halus terawat, mata almondnya yang bersinar teduh saat menatapku berpadu sempurna dengan bibir yang selalu tersenyum ramah.
Astaga, lututku terasa lemas merasakan serangan perasaan yang menusuk tepat di hati sekarang ini, seumur hidup aku nyaris tidak memikirkan tentang pria karena menurutku tidak penting, dan sekarang seorang Utama Mandala, Sang Asisten CEO perusahaanku menjerat diriku ke dalam pesonanya hanya dengan satu sikap yang sederhana.
Tidak bisa aku bayangkan wajahku sekarang yang terbengong-bengong di hadapannya, andaikan saja Pak Utama tidak meraih cup yang aku siapkan tersebut dari sebelah tanganku yang tidak memegang sendok, mungkin air liurku akan menetes saking terpesonanya.
"Terimakasih, Arisa. Seperti yang sudah aku duga, kopimu adalah kopi terenak yang pernah aku cicipi."
Seperti ABG alay, pipiku seketika terasa panas mendengar pujian dari seorang yang berhasil membuat jantungku berdegup kencang hanya dengan tatapan matanya tersebut.
"Mungkin saja Pak Boss langsung menikahimu saat merasakan nikmatnya kopi racikanmu ini, Ris!"
Mendengar gurauan dari Pak Utama seketika aku langsung tertawa, lucu sekali saat mendengar ucapan yang paling tidak masuk akal dari banyaknya nasihat yang beliau berikan. Di nikahi CEO kantorku yang aku dengar-dengar merupakan Putra bungsu Founder PH ini sendiri itu sama mustahilnya seperti semut yang bisa membawa roket menuju bulan. Jangankan menikahiku atau jatuh hati padaku perkara kopi, seorang staff administrasi sepertiku saja nyaris tidak pernah bertemu dengan para petinggi perusahaan seperti beliau, hanya kebetulan saja aku mengenal Pak Utama ini.
"Jika saya hidup di dalam dunia dongeng, mungkin saja hal itu terjadi, Pak. Tapi ini dunia nyata, pria mana yang mau menikahi itik buruk seperti saya, bukan hanya buruk dari segi fisik, dengan segudang masalah di hidup saya, saya bahkan tidak berani untuk menaruh mimpi."
*******
"Arrrggghhh, sampai kapan selesainya?"
Gumamku lelah saat melihat tumpukan dokumen yang harus aku selesaikan, rasanya tubuhku nyaris rontok semua dan pekerjaan ini bukannya semakin berkurang justru semakin menggunung tidak karuan.
Di saat tubuhku terasa b****k seperti sekarang ini aku sungguh merindukan kasur usangku di sudut kamar rumah mungil milik Bibik, ingin rasanya mengistirahatkan punggungku ini barang sebentar mengusir penatnya duduk seharian.
Salahku yang mau di suruh-suruh seharian ini oleh mereka yang enggan mengangkat pantatnya dari kursi mereka sampai aku yang kini kewalahan mengerjakan tugasku hingga lewat jam pulang.
Dan sepertinya takdir begitu bersemangat dalam menyiksaku. Bukannya membuat keajaiban pekerjaanku tiba-tiba selesai dengan sendirinya, Isni, sang Penguasa ruang divisi administrasi justru membawa setumpuk dokumen ke mejaku.
Wanita cantik yang tampak menggoda dengan gincu merahnya tersebut tanpa dosanya memerintahku, "selesaikan pekerjaanku sekalian, Ris."
"Memangnya kamu mau kemana, Is?" pekerjaanku sudah menumpuk banyak, jika aku harus menyelesaikan satu gunung dokumen lagi, mungkin aku akan pulang tengah malam hari ini.
"Tentu saja aku mau ngedate, Arisa. Ini satnight, aku bukan jomblo nggak laku sepertimu yang nggak ada pacar." dia memerintahku dan juga menghinaku dengan begitu entengnya.
Terang saja hal ini membuatku teringat akan ucapan nasihan Pak Utama tadi siang, semakin aku diam, semakin mereka menginjak-injakku. "Ya sudah kalau gitu selesaikan sekarang atau senin saja, Is. Tugasku sendiri masih banyak."
Senyuman merekah di wajah cantik yang terpoles banyak makeup mahal tersebut saat Isni menunduk di depanku, sebuah tepukan agak keras aku dapatkan di pipiku dari jemari lentik tersebut, "kamu sudah berani menolak permintaan tolong rekan satu divisimu ini, Ris?" keberanian yang sempat memenuhi dadaku karena ucapan Pak Tama seketika menciut mendengar nada mengancam dari Isni, "Kamu lupa sudah berapa banyak anak baru songong yang nggak bahkan nggak bisa melewati magang mereka hanya karena mereka nolak 'permintaan tolongku'? Tapi jika kamu sudah punya tempat kerja lain ya nggak apa-apa sih Ris kamu nggak mau nolongin temanmu ini lagi."
Aku hanya bisa menelan ludahku ngeri mendengar ancaman tersebut karena aku tahu Isni tidak main-main, entah apa hubungannya dengan petinggi HRD apa yang dia ucapkan tentang mudahnya memecat orang bukan isapan jempol belaka, dan akhirnya inilah yang membuatku mengangguk mengiyakan permintaan Isni.
"Good girl!" Ucapnya di sertai dengan usapan di ujung kepalaku sebelum akhirnya wanita cantik nan seksi tersebut pergi meninggalkan sendirian di ruangan divisi yang nyaris kosong.
Aku menghela nafas panjang, mengeluh hanya akan menunda pekerjaanku yang segunung ini, memangnya aku ada pilihan lain selain segera mengerjakan semua dokumen ini? mereka nggak akan beres jika hanya aku pelototi.
Berbekal kopi dan biskuit yang baru saja aku isi ulang, aku segera meraih setiap file yang ada di dalam dokumen, fokus mengerjakannya dan berharap segera selesai.
Dan saat akhirnya tepat pukul sebelas malam, semua dokumen yang tadinya menumpuk di atas mejaku selesai aku kerjakan. Suasana di lantai tempatku lembur sudah sunyi, beberapa yang lembur pun sudah pulang, mungkin di lantai ini hanya ada aku saja.
Untuk sejenak aku merenggangkan badanku yang serasa remuk sebelum akhirnya aku segera meraih tasku, berada di kesunyian malam kantor perusahaan besar ini walaupun tidak sepenuhnya sendirian tetap saja membuatku bergidik ngeri.
Baru saja aku keluar dari ruangan divisi, suara berat yang menegurku membuatku melonjak nyaris saja terkena serangan jantung.
"Lembur sampai di jam segini?"