1. Putus Asa
“Maaf, Kinara. Aku lengah. Aku pikir dia enggak akan pergi secara diam-diam, tapi ... saat tadi pagi aku coba lihat ke kamar ... dia sudah tidak ada,” ujar Monika, sahabat semasa SMA-ku yang berprofesi sebagai bidan.
Lemas seluruh sarafku. Tanpa terasa, aku meluruhkan tubuh begitu saja. Menangisi kepergian seorang perempuan yang kupikir akan menjadi dewi penolong di hidupku.
“Sabar, Nara. Kamu harus kuat.” Terdengar bisikan di telinga kanan, juga sentuhan lembut di kedua pundak. Mas Rendra, suamiku. Dia menatapku dengan sorot sendu.
“Tapi ... kita sudah menyiapkan semuanya, Mas. Kamar, ranjang, pakaian, bahkan nama yang indah yang akan kita berikan pada calon anak kita.” Aku menahan sesak menyadari itu semua hanya akan menjadi hal sia-sia. Seiring pupusnya harapanku agar bisa menjadi seorang ibu.
Ya, menjadi ibu. Sesuatu yang mungkin mudah bagi kebanyakan perempuan, tapi teramat sulit untukku.
Ini terjadi sekitar empat bulan lalu. Berawal dari seorang perempuan berusia dua puluh tahun yang datang mengunjungi rumahku. Diana namanya, dan sedang mengandung anak pertamanya. Perempuan muda itu mengaku tidak ingin mengurus anak dalam rahimnya, karena lelaki yang menikahinya ternyata telah memiliki istri dan tiga anak. Diana memutuskan untuk memberikan bayi itu untukku, sebelum akhirnya dia pulang ke kampung halamannya.
Sebagai seorang perempuan yang sangat menantikan saat-saat seperti ini, jelas saja aku segera menyetujuinya tanpa banyak berpikir. Hari itu juga aku membawanya ke bidan kenalanku, Monika. Setelah diperiksa, ternyata kandungannya sudah berusia enam bulan. Betapa bahagianya hatiku mendengarnya. Hanya dalam hitungan bulan, aku bisa menggendong bayi itu.
“Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Nara?” tanya Mas Rendra malam itu, yang melihatku sedang membuka aplikasi belanja online untuk memilih beberapa perlengkapan bayi.
“Aku sudah yakin, Mas. Aku lihat Diana benar-benar membutuhkan bantuan kita. Ah, atau Diana yang sedang membantu kita,” sahutku. Akan tetapi, aku masih bisa melihat ada keraguan dalam sorot mata suamiku.
Aku tahu, sepertinya ini memang berat untuknya. Bukan hal mudah menerima kehadiran seorang bayi dalam rumah tangga kami, dalam artian dia bukanlah anak yang terlahir dalam rahimku.
Selama ini Mas Rendra selalu memintaku untuk menunggu. Menunggu keajaiban itu datang. Namun, ternyata di sini justru akulah yang tak sanggup lagi untuk menunggu. Aku sudah kehabisan rasa sabar. Berharap keajaiban itu datang setelah tujuh tahun usia pernikahan kami, bukanlah hal mudah bagiku.
“Jadi ... kamu enggak setuju dengan keputusanku ini?” tanyaku pelan.
“Aku bukannya tidak setuju. Aku hanya tidak ingin ada banyak kemungkinan yang terjadi setelah kita mengadopsi anak dari keluarga lain,” dalihnya.
Aku terdiam, menyimpan ponsel yang di mana layarnya itu menampilkan beberapa pakaian bayi lucu dan menggemaskan. Memang selama ini kami pernah mendengar banyak kejadian semacam itu. Terlebih setelah hal itu menimpa salah satu kerabatnya. Di mana anak yang mereka adopsi, ternyata lebih memilih tinggal bersama orang tua kandungnya setelah berhasil menyandang status sarjana. Padahal anak itu sudah dipasrahkan sejak masih duduk di kelas lima SD.
“Aku hanya ingin merasakan, bagaimana rasanya tengah malam terbangun untuk membuat sebotol s**u. Lalu, memandikannya, menyuapinya, mengajaknya jalan-jalan untuk berjemur di bawah sinar matahari pagi,” tuturku dengan nada berat.
Mas Rendra tidak memberi tanggapan apa-apa. Hingga tengah malam menjelang dan dia terlelap dalam buai mimpinya, tak ada sepatah kata pun yang diucapkannya. Padahal dia tahu, jika aku sedang menangis dalam sujudku. Bahkan ketika azan Subuh berkumandang, aku belum juga beranjak dari atas sajadah.
Selama berhari-hari kami saling diam. Puluhan telepon dari Diana aku abaikan. Aku tahu dia sedang menunggu keputusanku, tetapi aku pun tidak bisa mengambil langkah selanjutnya setelah mengetahui jika suamiku belum memberi izin.
Aku akui, di sini akulah yang salah. Aku sempat berpikir jika Mas Rendra tidak akan melarang atas keputusan yang aku ambil tanpa merundingkannya lebih dulu. Kupikir, dia pun sama berharapnya denganku. Menginginkan kehadiran seorang bayi yang bisa memberi kehangatan di rumah ini.
Terdengar ucapan salam ketika aku sedang menyiapkan makan malam. Meski tak saling bicara, tapi aku tetap menunaikan kewajibanku sebagai istri. Aku menyambutnya, mencium punggung tangan kanannya.
“Nara,” panggil Mas Rendra ketika aku hendak kembali ke dapur.
Aku berbalik tanpa menjawab panggilannya itu, karena seperti inilah aku selama beberapa hari ini. Mas Rendra sudah tahu seperti apa caraku dalam melampiaskan emosi yang terpendam.
“Kamu masih marah?” tanyanya, dengan satu tangan mengusap hijab di atas kepalaku.
Aku tetap diam, mengembuskan napas pendek seraya menundukkan kepala.
“Aku minta maaf,” ucapnya lagi sembari meraih kedua tanganku. “Jika memang ini bisa membuatmu tersenyum lagi, aku akan mendukung keputusanmu.”
Aku mengangkat wajah, menatapnya selama beberapa detik. Mencari kesungguhan dalam sorot matanya.
“Ayo, kita datangi rumah Diana. Dan kita minta dia untuk tinggal di rumah Monika. Aku rasa, itu tempat terbaik untuk menjaga calon anak kita agar tetap tumbuh sehat,” sambungnya.
Seketika, senyum bahagia terukir di wajahku. Sejak saat itu, hampir setiap hari aku mengunjungi rumah Monika untuk menjenguk Diana juga bayinya yang akan menjadi anakku kelak. Mas Rendra juga bersedia untuk menanggung semua kebutuhannya selama kehamilan hingga waktu melahirkan tiba. Namun, semua di luar dugaan.
Kini, setelah tiga bulan penantian. Ternyata hanya kekecewaan yang kami dapatkan.
Mas Rendra mengajakku pulang, setelah aku menangis selama hampir satu jam. Aku menangis sembari memeluk sepasang kaos kaki berwarna putih, yang rencananya akan kupakaikan pada bayi itu agar dia tidak merasa kedinginan selama di perjalanan menuju ke rumah.
Ya Allah, tidak bisa kuungkapkan lagi betapa sakitnya hati ini.
“Nara, belum tidur?”
Aku menoleh, lalu mengerjapkan kedua mata. Seulas senyum kuberikan pada Mas Rendra karena merasa berat untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku ambil wudhu dulu. Kita solat Subuh sama-sama,” tandasnya, yang kemudian turun dari ranjang dan berjalan ke luar dari kamar.
Selepas menunaikan kewajiban, aku melakukan rutinitasku seperti biasa. Menyiapkan sarapan juga pakaian untuk Mas Rendra pergi bekerja.
“Nara, kamu masih ingat Haris, teman kuliahku yang tinggal di Bogor?” tanya Mas Rendra selepas menghabiskan sarapannya.
Aku memberi sebuah anggukan kepala, karena belum selesai mengunyah makananku.
“Dia punya saudara jauh ... seorang janda.”
“Janda?” ucapku tak mengerti.
“Ya, suaminya meninggal satu bulan lalu. Meninggalkan dua anak yang masih kecil-kecil,” ujar Mas Rendra.
“Lalu?” Aku bertanya kembali karena belum paham dengan maksud perkataannya.
“Kamu mau, mengurus salah satunya?”
Aku menyimpan gelas yang baru selesai kuteguk isinya. Terdiam tanpa tahu harus menjawab apa.
“Anak pertamanya laki-laki, berusia tiga tahun. Dan anak keduanya perempuan, berusia satu tahun,” terang Mas Rendra.
Terbayang kembali kamar bayi yang sudah aku persiapkan selama berbulan-bulan. Lalu suara tawa dan tangis yang mungkin bisa mengisi kekosongan kamar itu. Namun, lagi-lagi hatiku mengatakan jika itu hanya akan menjadi mimpiku semata.
“Tidak usah, Mas,” ucapku diakhiri senyum kelu. “Jika mau membantunya, berikan saja santunan untuk mereka.” Aku beranjak dari duduk seraya meraih piring kotor.
“Bukannya kamu sangat berharap untuk bisa memiliki anak yang bisa menemani kesendirian kamu di rumah ini?”
“Ya, tapi itu beberapa waktu lalu. Sekarang, aku merasa sudah tidak menginginkannya lagi,” ucapku tak acuh.
“Kenapa?”
“Sepertinya aku memang belum pantas untuk menjadi seorang ibu. Mungkin ini cara Allah memberitahukanku,” jawabku sebijak mungkin.
Mas Rendra tak berkata lagi. Dia lebih memilih pergi ke kamar untuk mengambil tas kerjanya, lalu berpamitan berangkat ke kantor. Aku pun melanjutkan kegiatanku membereskan rumah.
Saat membersihkan kamar, tanpa sengaja aku menemukan amplop di atas meja. Aku ingat, itu adalah amplop berisi hasil USG bayi Diana. Aku dan Mas Rendra sengaja membawanya ke rumah sakit demi mengetahui jenis kelamin juga perkembangan calon anak kami, yang ternyata kini tak bisa aku lihat rupa dan wujudnya sama sekali.
Ya Allah, apa aku berdosa, jika membenci Diana?
Apa aku berdosa, jika menganggap dia perempuan jahat?
Aku memasukkan amplop itu ke dalam tong sampah di sudut kamar. Kemudian teringat sesuatu yang selama ini selalu membayangiku. Dengan langkah cepat aku keluar dari kamar dan masuk ke kamar di sebelah.
Ranjang bayi dengan kelambu berwarna putih gading, berikut hiasan-hiasan berupa mainan yang tergantung di atasnya. Aku menyentuh ranjang itu diiringi air mata yang tak tertahankan lagi. Kupandangi seluruh sudut kamar berisikan banyak pernak-pernik dan segala macam mainan anak, yang ternyata kini hanya menjadi sia-sia saja.
Kenapa ini harus terjadi padaku, Ya Allah?
Aku, seorang perempuan yang menginginkan bayi. Aku benar-benar mengharapkan kehadiran buah hati dalam pernikahanku dengan Mas Rendra. Namun, kenapa Engkau malah memberiku cobaan seperti ini?
*****