Selamat membaca
Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang terdengar di ruang meja makan itu.
Tidak ada canda tawa atau suara orang-orang yang sedang berbincang-bincang tentang keseharian mereka.
Hanya keheningan yang selalu menyelimuti rumah mewah itu setiap saat.
Sayang sekali rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi setiap orang, sekarang malah menjadi tempat yang membuat seseorang semakin tertekan.
Ajeng melirik ke arah Sultan yang sedang meneguk minuman di dalam gelas sampai habis.
Sultan sudah selesai menghabiskan makan malamnya. Ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara.
Sebenarnya Ajeng sudah ingin mulai berbicara sejak tadi. Tapi ia menunggu Sultan selesai makan terlebih dahulu, karena suaminya itu adalah orang yang teramat sangat perfeksionis dan tidak suka berbicara ketika sedang makan.
"Apa kamu ada waktu besok Minggu?" tanya Ajeng cepat saat melihat Sultan ingin beranjak pergi dari tempat duduknya.
Sultan terdiam sejenak dan menatap Ajeng dingin.
"Aku sibuk," jawabnya singkat, padat, dan jelas.
"Aku tidak punya waktu untuk melakukan hal yang tidak berguna." tambah Sultan tajam, dan langsung pergi meninggalkan Ajeng yang masih terdiam.
Ajeng tersenyum sinis.
Apa yang aku harapkan?
Sudah jelas dia tidak ingin membuang waktu berharganya hanya untukku!
Ajeng menghela napas panjang.
Setelah selesai menenangkan diri, ia membereskan piring di meja makan, dan membawanya ke wastafel.
Sebenarnya di rumah itu banyak sekali pelayan. Tapi Ajeng tidak suka merepotkan orang lain hanya untuk hal sekecil ini. Karena ia lebih suka melakukan apapun sendiri.
Ajeng mencuci piring itu sambil mengusap air matanya kasar.
Ia menangis tanpa suara. Sungguh saat ini ia sangat merindukan kakek Prabu. Hanya kakeknya lah satu-satunya anggota keluarga yang sangat menyayanginya. Kakeknya adalah seorang pahlawan sekaligus guru dalam hidupnya. Beliau lah yang selama ini menjaga, dan merawatnya dari kecil. Kakeknya juga yang mengajarinya ilmu beladiri. Ia tidak mungkin bisa seperti sekarang, jika tidak ada kakek Prabu yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya.
Walaupun kakeknya itu sangat tegas dan keras. Tapi beliau adalah kakek yang terbaik di dunia, ia yakin kakek Prabu mendidiknya dengan keras selama ini agar ia bisa menjadi anak yang mandiri dan kuat.
Karena sudah terbiasa hidup dengan kakeknya. Ia sampai lupa jika masih memiliki kedua orang tua yang sudah membuangnya.
Orang tuanya sudah bercerai sejak ia masih kecil, saat itu usianya sekitar lima tahun.
Mereka sudah menikah dengan pasangan mereka masing-masing. Bahkan mereka terlihat sangat bahagia tanpa kehadirannya. Karena keegoisan kedua orang tuanya itulah yang akhirnya membuat dirinya menjadi korban.
Ia masih ingat betul ketika kedua orang tuanya itu pergi meninggalkannya demi keluarga baru mereka. Saat itu ia hanya bisa menatap polos punggung kedua orang tuanya yang semakin menjauh darinya.
Bahkan salah satu pun dari mereka tidak ada yang berniat membawanya pergi hidup dengan keluarga baru mereka.
Karena itulah, ia dibawa pergi oleh kakeknya. Saat itu kakeknya benar-benar sangat murka ketika anak laki-laki dan menantunya tidak ada yang mau merawat cucunya.
Karena sudah sangat geram dengan tingkah kedua orang tua Ajeng yang tidak mempunyai hati nurani. Akhirnya Prabu pindah ke Yogyakarta. Dia menutup semua akses informasi tentang Ajeng dan memutus komunikasi dengan anak dan menantunya yang tidak tau diri itu.
Agar suatu saat nanti, jika mereka tiba-tiba sadar dan ingin bertemu dengan cucunya, mereka tidak bisa menemui Ajeng. Biarkan saja mereka tenggelam dalam rasa penyesalan seumur hidup karena sudah membuang darah daging mereka sendiri.
Setelah selesai mencuci piring, Ajeng mengelap tangannya dengan kain. Setiap ia merasa sedih, ia pasti akan memukul samsak tinju atau berlatih boxing dengan adik angkatnya untuk menyalurkan semua perasaan yang menganggu hatinya.
Ia mempunyai adik laki-laki angkat yang lebih muda enam tahun darinya. Saat pertama kali bertemu dengan adik angkatnya ia masih berusia 19 tahun. Saat itu, ia dan kakeknya tidak sengaja melihat adik angkatnya dipukuli oleh seorang preman. Tanpa membuang waktu, ia langsung berlari untuk menolong adik angkatnya dan menghajar preman ecek-ecek yang beraninya hanya menindas orang yang lemah.
Dan ternyata adik angkatnya adalah seorang anak yatim piatu dan sudah lama hidup di jalanan seorang diri. Dia bekerja sebagai penjual koran di jalan, setidaknya itu lebih baik daripada dia harus mengikuti preman yang tadi untuk mencopet. Karena merasa simpati akhirnya kakeknya menjadikannya cucu angkat.
Ajeng membuang napas kasar.
Sudah beberapa bulan ini ia tidak mengunjungi kakeknya di Yogyakarta.
Sekarang bagaimana kabarnya?
Seandainya kakek dan adiknya tinggal di sini. Pasti ia tidak akan kesepian seperti ini.
Sungguh saat ini ia benar-benar sangat ingin pulang ke rumah kakeknya. Lagi pula disini ia juga tidak ada kegiatan. Lebih baik tinggal di Yogyakarta dan melatih kembali murid-muridnya. Daripada harus tinggal dengan suami yang seperti patung.
TBC.
Ya ampun????
Ternyata udah selama ini nggak update????
Efekkk kurang piknik zeyeng??
Kesel juga nulis ini nggak selesai" ????
Untuk sekarang segini dulu yesss, nanti aku panjangi"in deh chapter selanjutnya?????