H-3 PERNIKAHAN
Pagi ini hanyalah pagi yang sama selama beberapa hari ini, tidak ada Baskara yang mengucapkan selamat pagi, atau kadangkala hanya berupa pesan apabila dia tidak bisa menghubungi Amelia karena kesibukan pekerjaan yang mengharuskannya turun ke lapangan dengan daerah yang sulit dijangkau oleh sinyal ponsel.
Ritual pagi Amelia yaitu mencoba berkali-kali menghubungi ponsel Baskara berharap perangkat itu bisa terhubung. Hanya butuh sedikit keyakinan agar Amelia memutuskan bahwa keputusannya benar.
Laporan mengenai berita jatuhnya pesawat hanya berupa euforia sesaat, digantikan oleh berita korupsi yang dilakukan oleh salah satu oknum pejabat pemerintah. Tidak ada kejelasan, pencarian hanya dilakukan hingga tujuh hari ke depan. Setelah itu, bisa dipastikan semua orang akan kembali melupakan terkecuali oleh beberapa keluarga yang menangisi kerabatnya yang meninggalkan mereka tanpa ada jasad yang menyertai. Sungguh berat dan memilukan.
Sekali lagi memastikan penampilan sebelum memasuki kantor tempatnya bekerja, memantapkan hati dan perasaan. Bisa dipastikan semua rekan kerja akan memberikan ucapan bela sungkawa dimana kebenaran itu mentah-mentah ditolaknya.
Tepat dugaannya, semua menoleh ke Amelia saat dia membuka pintu kaca itu. Rapat pagi hari sebelum duduk di unit kerja masing-masing, membuat semua orang berkumpul dan perhatian mereka tentu saja terpusat pada kedatangan Amelia.
Para pria bergantian menjabat tangan dan mengelus punggung tangan Amelia sedangkan para wanita bergantian memeluk tubuh Amelia yang bergetar menahan tangis karena elusan tangan mereka di punggung Amelia seolah mengisyaratkan ada kedukaan mendalam di hati mereka.
Amelia pribadi yang ceria tetapi karena berada di dalam lingkup kerja yang menuntut keseriusan, ketegasan, kecakapan dan kejujuran, membuatnya menjadi pribadi serius dan tegas. Barulah bersama Baskara pribadinya berubah seratus delapan puluh derajat. Yah, hanya Baskaralah dia bisa menunjukkan sisi urakan dan childish-nya, tanpa merasa takut bahwa pria itu akan ilfeel dan menjauh darinya.
Amelia hanya menunjukkan anggukan dan bahasa tubuhnya bahwa dia baik-baik saja dan semua kejadian ini pasti akan berlalu. Jalannya masih panjang, bahkan dia bisa berdiri kokoh karena harapan kedua orangtuanya. Orangtua yang tanpa perlu banyak bicara akan selalu berdiri di samping kiri dan kanannya memberikan dukungan, hanya itulah kekuatannya saat ini.
Kembali berkutat dengan pekerjaan, melayani nasabah satu ke nasabah lainnya. Tapi Amelia menemukan satu keganjilan, ya, dia hanya melayani nasabah perempuan ataupun pria tapi berusia lanjut, pria seumuran dan dewasa akan diarahkan untuk dilayani dengan Yanti rekan kerjanya. Entah hanya perasaannya ataukah dia yang kelewat sensitive.
Tepat jam makan siang, gawai Amelia berbunyi sesaat dia meninggalkan tempat duduknya untuk bersiap menuju rumah makan padang bersama kawan-kawan lainnya.
Sopir saya sudah menunggu, saya tunggu anda di kantor
Hanya sebuah pesan dan dia sudah tahu siapa pengirimnya.
Flashback on
“Ataukah saya boleh mengusulkan anda sekali lagi tawaran?”
“Apa?” tanya Amelia penasaran dengan penawaran kali ini.
“Menikahlah dengan saya, hingga adik-adik Baskara menyelesaikan pendidikannya. Saya yang akan membiayai mereka. Apalagi anda sangat peduli dengan kehidupan mereka bukan?” Ganindra mencoba peruntungannya kali ini. Mengajukan penawaran yang diyakininya Amelia akan mempertimbangkannya.
“Anda benar-benar sosok yang teguh pendirian,” Amelia menggeleng tak percaya.
“Apakah ini trik lainnya agar bisa menikahi saya? Apakah semudah itu anda jatuh cinta dengan saya?” tanya Amelia percaya diri.
“Hahaha…astaga ternyata anda suka bercanda juga rupanya. Jatuh cinta, tidak dan tak akan, saya jamin itu. Satu yang pasti, saya juga punya kepentingan akan pernikahan ini”
“Oh artinya saya juga mempunyai nilai jual bukan. Mungkin saja…saya berhak untuk mengajukan penawaran,” senyum misteri terbit di sudut bibir Amelia. Perkataan Ganindra tadi mengartikan bahwa dia harus menikah secepatnya dan Amelia mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi.
“Hmm…tentu saja. Saya akan mempertimbangkan itu. Saya akan menunggu anda di kantor tepat jam makan siang. Anda akan masuk kantor besok bukan?” tanya Ganindra dan Amelia hanya menatap heran darimana dia dapat informasi secepat itu. Bahkan dia menginformasikan ke kantornya tepat sebelum keberangkatannya menuju kediaman Baskara.
Flasback End
Mobil yang sama menyambut Amelia di parkiran kantornya. Sopir Ganindra dengan cekatan turun dan membuka pintu mobil hitam tersebut. Semua teman kantor Amelia hanya menatap kepergian Amelia tanpa ada niatan bertanya kemana Amelia akan pergi.
Kedua kalinya Amelia berada di gedung ini tanpa perlu menunjukkan kartu nama, hanya melihat sosoknya. Resepsionis bergegas mengantarkannya dengan hormat ke lift menuju lantai atas tempat pimpinan mereka berada.
Tok…Tok…Tok…
“Tuan, ibu Amelia sudah disini,” ijin resepsionis mengetuk dan setengah berbisik di pintu masuk.
“Silahkan masuk,” suara pria licik itu yang menjawab.
Wanita itu mempersilahkan Amelia dengan hormat sembari menarik gagang pintu agar Amelia bisa masuk ke dalam ruangan atasannya.
“Silahkan duduk,” perintah Ganindra dan Amelia duduk di tempat yang diarahkan oleh Ganindra. Pria bernama Adimas berada di ruangan itu juga.
“Jadi bagaimana? Apakah anda sudah memikirkan penawaran saya itu?” Ganindra duduk di hadapan Amelia layaknya bernegosiasi bisnis.
“Iya saya terima, dengan syarat. Pernikahan kita hanya berlangsung 1 tahun. Anda harus membiayai pendidikan adik-adik Baskara hingga 5 tahun ke depan, dan saya menuntut perjanjian pra nikah bahwa saya akan mendapatkan tunjangan setelah perceraian sebesar 100 milyar,” jelas Amelia. Adimas yang berdiri terbelalak tak percaya. Ganindra hanya mengelus dagunya, terlihat menimbang-nimbang perkataan Amelia. Anggaplah kali ini Amelia berjudi. Dia sengaja memberikan persyaratan yang sulit agar Ganindra mundur. Namun andaikan Ganindra dengan bodohnya menerima itu, dia tidak akan rugi. Dia yakin dengan membiayai pendidikan adik-adik Baskara, kelak mereka akan lepas dari tangung jawab siapapun.
Tunjangan 100 milyar juga mungkin digunakan untuk kehidupan keluarga Baskara. Dia akan mengelolanya dengan membuatkan usaha yang akan menjamin keluarga Baskara untuk bertahan hidup selamanya. Semua ide yang dianggap brilian oleh Amelia.
“Hmmm…baiklah,” tidak disangka Ganindra menjawab tanpa perlu mempertimbangkan hal itu berhari-hari. Amelia dan Adimas tercengang atas penyataan Ganindra itu.
“Tentu saja ikutsertakan di dalamnya, tidak ada sentuhan fisik kecuali atas kesepakatan berdua. Kita tidak tidur sekamar. Jangan mengganggu kehidupan pribadi masing-masing. Tetapi di luar itu kita harus menunjukkan bahwa pernikahan kita ini bukan sandiwara terutama di depan orangtua saya,” tegaskan Amelia sekali lagi.
“Ya saya setuju, tapi bolehkan saya mengusulkan satu hal?”
“Apa?”
“Saya ingin anda berhenti bekerja selama setahun kita menikah. Anda boleh kembali bekerja setelah kita berpisah. Saya akan menjamin anda akan tetap bekerja di kantor anda, setelah perceraian kita”
“Hmm…baiklah. Anda menginginkan istri yang menanti suaminya pulang bekerja ternyata…”
“Yah seperti itu atau lebih tepatnya, saya hanya takut nanti akan banyak orang meremehkan Nyonya Adiwiguna yang harus bekerja di saat suaminya hanya berkedip saja, saldo banknya akan otomatis terisi,” ucap Ganindra menyombongkan diri.
Nyonya Adiwiguna
Amelia bergidik ngeri dengan nama yang akan disematkan kelak kepadanya. Impiannya menjadi Nyonya Adiwisastra, dalam sekejap menjadi Nyonya Adiwiguna. Permainan takdir benar-benar misteri dan membingungkan.
“Baiklah tidak masalah, setidaknya saya bahagia tanpa perlu bekerja keras. Saya hanya duduk manis, saldo bank saya akan terisi otomatis seperti yang anda katakan tadi. Anda tahu kan saya memang menyenangi uang,” perkataan Amelia ini bisa saja berkonotasi ganda. Dia tidak ingin terlihat munafik di hadapan Ganindra, selain itu dia juga berharap dirinya yang dianggap wanita materalistis membuat Ganindra menjaga jarak darinya.
Keputusan mereka berdua sudah bulat. Hal pertama adalah memberitahukan kepada orangtua Amelia tentang rencana pernikahannya dengan Ganindra dengan alasan yang masih berputar-putar di benak Amelia. Apakah orangtuanya tidak merasa heran dengan keputusannya tiba-tiba. Siapa Ganindra, sejak kapan mereka berhubungan dan banyak hal yang mungkin ditanyakan oleh Ayah Amelia tentu saja. Bahkan dengan Baskara yang menjalin hubungan dengannya selama tujuh tahun, tidak pernah lepas dari berbagai pertanyaan Ayahnya.
Setelah itu, Ganindra dan Amelia akan melangsungkan konfrensi pers terkait pernikahan mereka yang mungkin terkesan dadakan. Ganindra meyakinkan Amelia hanya perlu mengikuti semua arahannya.
Perjanjian pernikahan atas dasar kepentingan masing-masing telah disepakati. Keduanya menuju restoran yang dipilih oleh Ganindra untuk sekedar makan siang.
Ganindra berjalan berdampingan Amelia menuju restoran. Seorang pelayan mengangguk hormat dan mempersilahkan tempat. Kali ini Ganindra tidak memilih tempat yang tertutup dan private. Sebuah tempat yang berdinding kaca transparan, membuat keduanya gampang dikenali.
“Anda pesan apa?” tanya Ganindra, melihat buku menu di hadapannya.
“Hmm…ada baiknya kita mengawali hubungan ini dengan menghilangkan bahasa formal diantara kita. Apa tidak kelihatan canggung di hadapan orang lain saat kedua pasangan yang katanya akan menikah berbicara formal satu sama lain,” saran Amelia.
“Baiklah kali ini aku setuju,” Ganindra menjentikkan jarinya dan tersenyum. Terlihat aneh di mata Amelia.
“Saya pesen yang ini dan minumnya yang ini,” tunjuk Amelia di buku menu dengan sigap pelayan mencatat pesanan Amelia.
“Saya yang ini mba dan ini” berganti Ganindra yang memilih hidangannya.
“Baik tuan dan Nona harap tunggu hidangan anda. Kami akan menyajikannya segera,” pelayan itu berlalu.
“Apa sekretaris kamu tidak bergabung dengan kita?” tanya Amelia setelah mengedarkan pandangannya mengetahui Adimas tidak ada di sekitar mereka.
“Tidak usah, dia sudah dewasa untuk mencari makanan bagi dirinya sendiri” Amelia paham dan tidak bertanya lagi.
“Amelia, wartawan ada di luar. Bisakah kali ini kamu tersenyum dan aku memegang tanganmu?” tanya Ganindra.
“Ah?”
“Aku ngelakuin ini saat kamu setuju but it’s okay kalau kamu keberatan,”
“Hmm…okey kali ini saja,” Amelia menuruti Ganindra. Tangan pria itu mengenggam tangan Amelia. Tangan yang halus namun kokoh juga dingin. Amelia hanya menahan senyum, Ganindra layaknya pria yang pucat pasi dengan tangan dingin bergetar memegang tangan pujaan hatinya. Apakah pria ini baru memegang tangan seorang wanita, jangan katakan ini pertama kali bagi Ganidra. Amelia benar-benar ingin terkekeh geli.
“Secepat ini wartawan mendapati informasi mengenai makan siang kita,” ucap Amelia keheranan. Kedua tangan itu terlepas, setelah memastikan wartawan telah membidikkan kameranya, dengan senyum bangga mendapat pemandangan eksklusif dari Tuan Muda Adiwiguna yang selama ini tidak pernah terekspos berjalan bersama dengan wanita bahkan makan siang.
“Bukankah kita memberikan dia kesempatan lebih awal, agar besok mereka tidak terlalu kaget dengan pengumuman kita,”
“Terserah kamu,”
Makanan datang, pelayan menghidangkan masing-masing di hadapan mereka berdasarkan pesanan.
“Apakah kamu emang beneran kaya?” tanya Amelia yang kedua kalinya melihat Ganindra hanya memakan salad sayuran dan air putih. Pantas saja pria ini bergelimangan harta karena dia tahu bagaimana cara berhemat.
“Maksud kamu apa?” tanya Ganindra mengernyitkan alisnya
“Ah gak lupain aja,” Amelia menggeleng lemah dan kembali menikmati hidangan di hadapannya. Pertanyaan ini dikhawatirkan oleh Amelia bahwa Ganindra akan mengganggap dirinya perhatian.
Tidak ada pembicaraan mengiringi makan siang itu, karena Ganindra hanya sibuk menghabiskan makan siangnya dan menunduk, terlihat menghindari kontak mata dengan Amelia.
Amelia kembali ke kantor, molor sejam dari jam yang diijinkan oleh kantornya untuk makan siang. Namun sesampainya dia disana, kepala unitnya memaklumi keterlambatannya, sungguh aneh. Tapi setidaknya keberuntungan Amelia kali ini, bukankah menjadi hal baik baginya. Dia kembali ke tempat duduknya dan kembali beraktivitas.
Ganindra dan Amelia membuat janji untuk mengunjungi kediaman Amelia dan makan malam bersama orangtua Amelia sekaligus memberitahukan keduanya mengenai rencana pernikahan mereka dua hari lagi.
Amelia sepulang kerja terus merapalkan berbagai alasan yang mungkin akan digunakannya saat kedua orangtuanya mempertanyakan soal keputusan mereka berdua.
Amelia menitip pesan kepada ibunya bahwa makan malam nanti dia akan mengundang seorang tamu malam ini. Ibunya tentu saja bertanya, tetapi Amelia lebih memilih diam dan mengatakan ini adalah sebuah kejutan. Bukankan saat kedatangan tamu tersebut, ibunya otomatis akan mendapatkan jawabannya.
Tepat pukul 7 malam, suara deru mobil yang sudah terdengar familier di telinga Amelia. Ibunya yang telah menyelesaikan masakannya dibantu Amelia yang menyajikan makanan di meja makan. Ayah Amelia menunggu hingga makanan tersaji sembari menyaksikan siaran berita di televisi.
Tok…tok…tok…
Amelia bergegas membukakan pintu agar tamu tersebut bisa masuk.
“Hai selamat malam,”
“Selamat malam,”
“Amelia, tamunya sudah datang nak?” Ibu Amelia menyusul Amelia menuju pintu. Ibu Amelia berdiri dan menatap takjub pria di hadapannya yang tersenyum ramah melihatnya.
“S-s-siapa ni Mel?” tany Ibu Amelia.
“Perkenalkan bu, nama saya Ganindra,” Ganindra menunduk dan mencium tangan ibu Amelia.
“Ah iy-iya. Silahkan masuk nak Ganindra”
“Ini bu, bunga untuk Ibu,” sebuah buket mawar merah yang disembunyikan Ganindra di belakang punggungnya.
“Ah aduh dikasih bunga. Gak salah ini, bukan untuk Amelia?” tanya Ibu tidak percaya tetapi tetap menerima sodoran bunga tersebut.
“Hehehe...bukan bu. Ini memang buat ibu.”
“Ya udah, terima kasih yah. Aduh mana wangi lagi,” ibu tidak henti menghirup wangi bunga di tangannya.
Sambutan hangat ibu Amelia, membuat satu langkah maju bagi Ganindra. Terlihat mudah di awal. Ketiganya berjalan menuju ruang makan.
”Ayaaaah, tamunya udah dateng nih. Ayok makan bersama,”
“Iya tunggu,” Ayah Amelia beranjak dari kursinya dan mematikan televisi dengan menggunakan remote bergegas menuju ruang makan.
“Loh, siapa ini?” tanya Ayah Amelia heran, di tempat duduk yang menandakan bahwa dirinya adalah kepala keluarga di rumah ini. Ganindra yang ditunjuk masih bersikap tenang, berbeda dengan Amelia yang cemas dan bingung dengan jawabannya.
Tidak ada jawaban dari Amelia membuat Ganindra memutuskan dialah yang menjawab pertanyaan Ayah Amelia itu “Maaf perkenalkan nama saya Ganindra, Ganindra Perkasa Adiwiguna, saya datang kesini ingin melamar putri bapak dan berencana akan menikahinya dua hari ke depan,” jawab Ganindra tenang.
“APA!!!?” pekik kedua orangtua Amelia bersamaan, menatap Amelia dan Ganindra bergantian.
“Tunggu anda adalah pewaris Adiwiguna Corporation kan?” bagi Ayah Amelia yang bekerja di pemerintahan setidaknya tahu mengenai perkembangan dunia bisnis dan sosok Ganindra Perkasa Adiwiguna yang lumayan sering bersliweran di televisi atas usahanya mendongkrak saham perusahaannya di Bursa Efek. Sosok pewaris yang disegani di kalangan pebisnis.
“Iya benar sekali pak”
“Ah!!!?” pekikan kedua kalinya secara bersamaan dilakukan oleh orangtua Amelia. Amelia meringis sedangkan Ganindra tersenyum samar melihat reaksi kedua orangtua Amelia.
“Kita makan dulu aja Yah, setelah itu kami akan jelasin,” saran Amelia menengahi kecanggungan.
Makan malam kali ini mendadak kikuk dan canggung, namun semuanya pasti tahu, cepat lambat mereka akan tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Keempat orang ini telah berpindah ke ruang tengah. Interogasi bagi orang tua Amelia atau negosiasi bagi Ganindra.
“Jadi kalian bisa jelaskan apa maksud kalian tadi?”
“Iya pak, seperti yang saya katakan. Saya dan Amelia akan menikah dalam dua hari ke depan,” Ganindra menjawab.
“Tapi kenapa?” Ayah menggeleng dan meralat ucapannya “Maksudnya kok bisa sih? Kamu tahu kan yang dialamin oleh Amelia. Dia sudah mempunyai tunangan dan…”
“Dia terlibat dalam kecelakaan jatuhnya pesawat bukan?” Ganindra melanjutkan.
“Ya…”
“Saya tahu itu pak”
“Terus Amelia, kamu yakin secepat ini menerima lamaran dari seseorang yang datang ke kehidupanmu secara tiba-tiba,” Amelia menggeleng namun mendapati tatapan tajam Ganindra secepat kilat merubah jawabannya mengangguk.
“Maaf pak, setahu saya langgeng tidaknya hubungan tidak hanya didasari sejak kapan mereka bersama. Bahkan yang bertahun-tahun bersama, bisa saja tidak berjodoh,” sindiran ini mungkin saja Ganindra tujukan untuk Amelia, dengan cepat Amelia bereaksi dengan memicingkan mata.
“Jadi…mungkin saja kami ditakdirkan untuk saling mencintai setelah menikah,” lanjut Ganindra lagi.
“Udah sih Yah, mungkin seperti yang ayah bilang kemarin jodoh kan rahasia Allah SWT, mungkin inilah jawaban dari Yang Maha Kuasa,” sambung Ibu.
“Jangan anda berpikir anda dari keluarga terpandang anda bisa meremehkan keluarga kami. Kami tidak akan silau harta anda. Jangan pernah berpikir anda membeli kami. Saat ini anda masih saya kasih kesempatan untuk mundur jika ingin bermain-main dengan putri saya,” ancam Ayah Amelia.
“Tidak, saya tidak akan mundur. Pernikahan ini akan berlanjut atas keinginan Amelia dan akan berakhir pula atas keinginannya. Saya akan konsisten dengan ucapan saya,” janji Ganindra.