Tidak terasa bahwa sekarang Sankara sudah beranjak besar, putra pertama Adam dan Deliia itu tampak gembira dengan wajah yang memerah karena sejak tadi tersenyum terus. Dellia tau kebahagian ini karena Sankara akan mulai sekolah untuk pertama kalinya. Anaknya ini emang sudah tidak sabar sekolah karena menonton sebuah kartun yang menceritakan keseharian anak-anak yang bersekolah.
"Jangan gerak-gerak sayang, Mama susah ni pakain dasinya." Dellia memegang kedua lengan kecil Sankara agar dapat tenang. Dasi yang sudah terpasang dengan benar membuat Dellia langsung mengambil bedak dan bedak dan menabur pelan ke wajah anaknya.
"Abimayu jangan sobek buku abang," ucap Dellia sambil melirik ke arah meja yang berada di sampingnya. Di sana ada Abimayu yang sedang memegang buku.
Sankara yang mengerti maksud dari Dellia langsung menuju Abimayu dan menghempaskan tangan kecil adiknya itu dari buku barunya.
Bibir kecil Abimayu sudah kebawah sepertinya akan menangis sebentar lagi. Mungkin karena Sankara yang sedikit kasar saat mengambil buku itu.
"Nangis, nangis yang kencang." Ledekan dari Sankara membuat Abimayu menghentikan rencananya yang hendak menangis.
Dellia terkekeh melihat wajah kedua anaknya yang mengemaskan. Apalagi dengan Abimayu yang tiba-tiba tidak jadi menangis.
"Sini Abi."
Abimayu berdiri dan berjalan pelan menuju Dellia. Setelah berada di dekat Dellia, Abimayu mengulurkan tangannya minta digendong.
"Udah gede masa digendong."
"Mama, Abi mau di gendong," seru Abimayu yang tetap mengulurkan kedua tangannya.
Dellia mengendong tubuh Abimayu memilih duduk disofa dengan Abimayu yang berada dipangkuannya. Jika sambil berdiri mengendong anaknya yang ada hanya akan melelahkan.
"Mama, abang jahat sama Abi."
"Buku tulis itu buat abang belajar, jadi kalau dirobek nanti nggak bisa ditulis lagi kasian dong abang kalau nggak bisa nulis," jelas Dellia.
Abimayu mengangguk pelan.
"Abang ke meja makan aja ya duluan, dibawah udah ada ayah. Mama mau mandiiin adik dulu."
Sankara langsung keluar, di meja makan sudah ada Adam yang sedang membaca sebuah majalah dengan kopi hitam yang ada di depannya.
"Ayah," seru Sankara dengan keras dan gembira.
"Wah, anak Ayah udah wangi dan rapi." Adam mencium kedua pipi anaknya.
Sankara duduk di kursi samping Adam, lalu mengambil piring dan manaruh nasi dan lauk ke atas piring. Sankara makan sendiri dengan tenang, sejak empat tahun anak itu sudah diajar makan sendiri walaupun terkadang Sankara akan manja dan minta disuapin.
Adam tidak terfokus terhadap ponselnya lagi, kini Adam hanya terus memandang Sankara. Anak yang membuat Adam sadar bahwa kelakuannya pada masa lalu sudah sangat keterlaluan. Melihat Sankara membuat Adam terkadang mengingat masa lalunya itu. Rasa bersalah masih ada di dalam hatinya. Adam harap usahanya untuk membuat keluarganya bahagia benar-benar dirasakan oleh anak dan istrinya.
"Ayah nggak makan?" tanya Sankara pelan karena terlihat Adam tidak menyentuh makanannya sendiri. Padahal niatnya Sankara ingin makan bersama.
"Makan juga sayang," jawab Adam yang sekarang ikut mulai sarapan.
Pakaian yang digunakan Sankara membuat Adam semakin sadar bahwa anaknya semakin tumbuh besar.
"Belajar yang benar ya disana nanti jangan nakal ya. Nurut sama gurunya," jelas Adam setelah mereka sama-sama selesai makan.
"Iya tadi mama udah bilang sama Abang." Tadi malam Dellia emang sudah mengatakan apa yang Adam ucapkan barusan. Mama dari Sankara itu emang sudah menjelaskan semua tentang sekolah, peraturan sekolah dan apa saja yang nanti bisa aja terjadi di sekolah.
Adam terkekeh dan mengangguk, sungguh ajaran Dellia sangat melekat pada Sankara. Dellia benar-benar istri dan ibu yang luar biasa.
Tidak lama, Dellia datang dengan Abimayu digendongannya.
"Ayah," panggil Abimayu.
Abimayu berontak dari gendongan Dellia, setelahnya diturunlan dari gendongan Sankara langsung berlari pelan menuju Adam dan minta dipangku.
Adam membiarkan anaknya duduk dipangkuannya dan langsung mengambil nasi dan lauk untuk untuk Abimayu. Lalu Adam menyuapi Abimayu.
"Yah, kok Abi makan disuapi, nggak adil tu. Abangkan juga mau."
"Sayang Abi masih kecil." Bukan Adam yang menjawab tapi Dellia. "Bentar ya abang habis makan kita langsung ke luar."
Dellia pun ikut makan dengan tenang.
Setelah semua selesai makan, keluarga kecil itu menuju mobil. Hari ini Sankara akan diantar dengan keluarganya yang lengkap agar anaknya itu semangat belajar nantinya.
"Mama nanti temanin Abang ya di dalam." Raut wajah yang tadinya bahagia saat di rumah berubah seketika menjadi takut. Entah kenapa Sankara jadi takut sendiri saat melihat orang disekelilingnya yang sangat ramai.
"Nggak bisa dong sayang, kan di sana nanti ada banyak teman jadi Abang nggak perlu ada Mama di sana," jelas Dellia.
Sankara cemberut, Dellia ikut sedih melihat raut wajah anaknya.
"Jangan sedih, boleh nanti Mama temanin. Tapi hari ini aja ya." Sebenarnya Dellia tidak sungguh-sungguh saat mengatakan tidak akan menemani Sankara. Karena dulu Dellia saat kecil juga ditemani oleh ibunya saat pertama sekolah.
Wajah Sankara sudah tidak sekhawatir tadi. Anak itu mengenggam tangan Dellia dengan erat.
"Ayah ke kantor dulu ya." Adam nencium kening satu persatu anak dan istrinya. "Semangat ya belajarnya," lanjut Adam sambil mengusap kepala Sankara.
"Nanti jangan lupa telepon pak Beni buat jemput kamu ya." Pak Ibrahim yang tadinya mengantar mereka, akan mengantar Adam dan akan mengantar Adam jika ingin keluar bertemu dengan rekan kerjanya.
"Iya Mas," jawab Dellia.
"Ingat jangan nakal di kelas, belajar yang rajin," ucap Adam lagi sebelum benar-benar pergi ke kantor.
"Udah jangan nangis, udah kayak Ayah baru pertama ninggalin Abimayu aja ke kantor." Adam mengusap kepala Abimayu sayang, anaknya satu ini emang sangat dekat dengannya.
"Mau ke kantor," ujar Abimayu yang mengenggam lengan Adam dengan erat.
"Tapi nanti jangan nangis ya minta pulang."
Perkataan Adam membuat Abimayu berpikir dalam beberapa detik. "Iya."
Setelah Adam mengemudikan mobilnya menjauh, kini hanya tersisa mereka berdua.
"Ayo." Dellia mengandeng Sankara dengan tangan kananya menuju kelas.
Sankara memandang sekeliling dengan teliti, banyak anak seumurannya, ada yang menangis dan ada yang tidak menangis tapo tetap dengan erat memegang tangan Mama mereka sendiri.
"Nah masuk kedalam kelas ya di dalam udah ada temannya." Sankara mengeleng pelan saat Dellia berniat meninggalkannya di ruangan itu.
Emang didalam kelas sudah ada lima anak yang duduk dikursi mereka masing-masing, kelima anak itu tampak sangat mandiri berbeda dengan beberapa anak lainnya yang masih menangis di luar. Dan Dellia sadar anak kecil itu tidak menangis karena rupanya orangtua mereka menunggu di belakang kelas.
"Mama tunggu disitu ya." Dellia menunjuk ke arah kursi yang berada di luar kelas. Di kursi itu sudah ada beberapa wali murid yang duduk.
"Iya, Mama jangan pulang duluan ya."
"Iya sayang, sekarang masuk."
"Bentar Ma."
"Ayo Dek masuk." Tidak lama seorang guru tk datang dan menghampiri mereka.
Sankara langsung masuk, Dellia tersenyum melihat anaknya yang terlihat percaya diri saat berjalan masuk. Ia sebagai seorang ibu tau bahwa Sankara bukan anak yang penakut, jadi mungkin tadi hanya sedikit khawatir karena terlalu ramai. Berhubung hari pertama jadi banyak orangtua yang berdatangan.
Dellia duduk dikursi belakang bergabung dengan para orangtua yang lainnya. Sekarang Sankata tampak tenang dalam membaca doa belajar, dapat Dellia dengar suara Sankara yang kencang saat membaca doa. Dellia sangat bangga dengan anaknya itu.
***
Di kantor beberapa karyawan mencuri pandangan bahkan ada yang terang-terangan menatap ke arah Adam yang sekarang berjalan masuk ke kantor dengan Abimayu yang berada digendongannya.
Ini sudah ke lima kalinya Abimayu ikut dengannya ke kantor. Jika di kantor yang akan sesekali menjaga Abimayu adalah Aya, adiknya.
Tiba di dalam ruangan kerja, Adam akan lanjut kerja berbeda dengan Abimayu yang hanya ia letakkan dilesehan karpet tebal yang sengaja ia taruh di dekat mejanya. Lalu mengambil beberapa mainan yang ada disimpan diruang kerjanya.
"Main disini dulu ya." Abimayu mengangguk patuh.
Walau sedang bekerja sesekali Adam akan melihat ke arah Abimayu. Anaknya itu hanya akan betah selama tiga jam biasanya, setelahnya pasti akan meminta pulang. Jika sudah meminta pulang Adam akan mengantar anaknya itu.
Tidak lama pintu ruangannya terketuk.
"Masuk," ucap Adam.
"Om Ziar." Abimayu memanggil Ziar dengan raut bahagia. Tentu saja Abimayu kenal karena ada beberapa kali Ziar datang ke rumahnya saat ada pekerjaan yang mendesak.
"Halo bos kecil."
Abimayu tertawa kecil mendengar panggilan itu.
"Begini Pak, setelah saya menghubungi pihak Pak Hariyanto, beliau mengatakan bahwa kerja sama kita akan diberi kabar seminggu lagi." Ziar menjelaskan tujuannya ke ruangan Adam.
"Tolong kerja sama kita dengan Pak Hariyanto bisa dipercepat. Bilang dengan beliau jika ragu tidak usah dilanjutkan jangan membuat saya menunggu," ucap Adam pada Ziar-Sekretaris terbaru Adam. Sekretaris lama sudah ia pindahkan ke tempat bagian kerjaan yang lain karena menurut Adam pekerja lamanya itu belum bisa bekerja dengan baik.
"Baik."
Ziar mengundurkan diri dari hadapan Adam, sekarang tinggal Adam yang sedang fokus mengerjakan tugasnya.
Beberapa menit kemudian suara ketukan pintu kembali terdengar.
"Masuk."
Karena tidak mendapat sahutan dari orang yang masuk keruangannya Adam langsung mengangkat wajahnya dan terkejut melihat siapa yang ada dihadapannya sekarang.
Tidak lama Ziar masuk dengan terburu-buru.
"Maaf pak, saya baru tau jika ada yang masuk, tadi saya ke toilet." Pria berkaca mata itu agak terkejut saat selesai dari kamar mandi dari kejauhan ia melihat ada seorang wanita yang masuk ke dalam ruangan bosnya. Tanpa menunggu lama Ziar langsung berlari ikut masuk ke ruangan itu.
Pasalnya sebelumnya Adam sudah jelas memperingatinya agar tidak membiarkan orang yang tidak berbuat janji kecuali keluarga Adam agar tidak masuk ke dalam ruangan kerjanya.
"Saya akan menyuruh orang ini untuk ke luar." Ziar tau sangat jika Adam pasti akan marah kalau Ziar tidak segera mengusir wanita ini.
"Tidak apa, kamu boleh keluar."
Ziar langsung keluar dari ruangan Adam walaupun agak memandang heran pada Adam. Sebelumnya ada juga wanita seperti ini yang memaksa masuk keruangan Adam dan hasilnya Adam marah besar karena wanita itu berhasil masuk.
Adam beranjak dari duduknya menuju wanita itu. Tapi belum sempat mempersilahkan duduk disofa wanita itu sudah duluan memeluk tubuhnya erat sambil menangis.
"Bisa lepas? Kita bicara disana." Adam berucap pelan.
Wanita itu melepaskan pelukannya dan duduk disofa. Karena ada tisu di meja, wanita itu mengambil tisu dan langsung mengelap wajahnya menggunakan tisu itu.
"Dam kamu masih tau aku kan?" tanya perempuan yang sekarang menatapnya dengan pandangan penuh harapan.
Adam mengangguk singkat, bagimana bisa Adam lupa dengan wanita yang pernah singgah dikehidupannya.
"Aku tau kamu Kia kan."
Kia adalah teman Adam dari SMP hingga SMA hanya saja mereka tidak pernah bertemu lagi setelah lulus SMA. Masih teringat jelas saat Kia, satu-satunya wanita yang mau berteman dengannya disaat yang lain menjauh dikarekan Adam yang cuek dan gampang emosi. Tentu kecuali saja Hito, pria itu sepertinya sudah kebal dengan semua perbuatan Adam.
Alasan Kia terus berdekatan dengannya adalah karena Kia menyukai Adam hanya saja saat itu Adam sendiri tidak mengerti atau tidak terlalu paham dengan rasa suka itu. Adam hanya tidak perduli dengan pengakuan Kia dan berprilaku seperti biasa saja. Anehnya Kia seperti tahan dengan semua sikap Adam yang tidak sopan itu, berbeda dengan beberapa wanita lain yang akan langsung mundur saat Adam membentak mereka.
"Ada apa?" tanya Adam.
"Sudah lama kita tidak bertemu, kamu semakin tampan saja." Kia memandang Adam tabjuk, perubahaan Adam tidak terlalu besar karena sejak masa sekolah pun Adam sudah tampan tapi hanya saja saat ini Adam lebih terlihat dewasa dan gagah.
Adam hanya bisa tersenyum tipis.
"Jadi kenapa?" tanya Adam lagi karena Kia terlalu banyak berbasa-basi.
"Aku juga nggak tau Dam, aku cuman butuh teman aja saat ini. Kan kamu sendiri tau kalau aku cuman punya teman kamu."
"Oh."
"Jadi Dam boleh nggak aku curhat?"
Walau aneh, Adam hanya bisa mengangguk kaku.
"Sebelumnya itu aku tinggal di Medan sama saudara, terus saudara aku tu ternyata nggak baik Dam. Mereka menjodohkan aku dengan salah salah anak teman mereka. Aku pun menikah dengan pria itu hanya saja pria itu bukan suami yang baik dan dengan segala bukti akhirnya aku bercerai. Walaupun kami sudah bercerai mantan suami aku itu terus ikut campur urusan aku Dam, karena itulah aku kembali kesini."
Adam mengangguk. Dan Adam sendiri ikut sedih mendengarkan cerita temannya itu. Walaupun dulu Adam tidak menganggap Kia teman tapi seiring bertambahnya umur Adam ia tidak boleh setega itu hingga tidak perduli dengan orang yang pernah berbuat baik padanya
"Jadi kamu maunya gimana?" Adam sendiri tau Kia tidak mungkin jauh-jauh kesini jika tidak ada tujuan.
"Kasih aku pekerjaan Dam." Adam mengangguk singkat, itu hal yang mudah untuk ia lakukan. Adam akan mencari posisi yang cocok untuk Kia diperusahaannya.
"Hm Dam apa boleh aku tingga di rumah kamu? Tidak lama kok sampai aku menemukan rumah sewa aja."
"Aku sudah menikah jadi harus tanya sama istri aku dulu."
"Istri?" tanya Kia terkejut.
"Iya."
"Bukannya kamu pernah bilang nggak akan menikah?"
Adam hanya tersenyum singkat saat mengingat saat di mana Adam menolak Kia dengan alasan ia tidak ingin berhubungan serius dengan wanita dan Kia juga bertanya apa Adam akan menikah nantinya dan dengan gampang Adam berkata bahwa Adam tidak akan menikah.
"Udah jodoh." Hanya itu yang bisa Adam katakan, sebab Adam hanya malas bercerita banyak hal. Lagi pula ia juga tidak akan menceritakan hal pribadi pada orang lain.
"Bagaimana kalau aku ikut ke rumah kamu untuk minta izin juga?" Kia ingin melihat wanita seperti apa yang sudah meluluhkan pria sekeras Adam.
Adam melirik ke arah jam nya. "Tiga jam lagi kamu datang ke sini, biar ke sana. Tapi kalau istri aku nggak izinin. Kamu nggak bisa menginap."
"Oke," jawab Kia.
"Itu siapa?" tanya Kia sambil menunjuk anak kecil yang masih asik dengan mainannya.
"Anak aku."
Kia mengangguk dengan kaku, kehidupan Adam emang sudah sangat berubah.
***
"Ayah," ucap Sankara senang saat melihat Adam sudah pulang.
Kia yang duduk di belakang menatap keluar melalui kaca mobil. Anak itu sangat mirip dengan Adam, berarti Adam juga memiliki anak lebih dari satu. Kia masih tidak percaya dengan semua ini, Adam sangat banyak berubah.
Adam keluar dari mobil dan mengulurkan tangan kanannya dan Sankara langsung mencium tangan Adam. Abimayu yang berada digendongannya saat ini hanya asik menyenderkan kepala di bahu Adam. Tampaknya Abimayu sudah sangat mengantuk.
Kia tidak bisa mengalihkan sedetik pun dari permandangan di depannya ini walaupun hanya sebentar saja.
Wajah Adam terlihat sangat bahagia apalagi senyuman yang sangat jarang Kia lihat. Kehidupan Adam tampak sudah sangat sempurna sekarang.
"Nggak mau keluar?" tanya Adam dari luar.
Kia gelagapan saat ketahuan sedang memperhatikan mereka. Kia buru-buru memuka pintu mobil dan berjalan menuju rumah sederhana tapi terkesan mewah ini. Dan luar biasanya orang kaya raya malah tidak tinggal di rumah seperti kerajaan.
"Mama mana?" tanya Adam pada Sankara.
"Di kamar."