Bab 2

1049 Words
Sampai di depan kelas, untungnya Dosen belum datang. Matanya melirik ke arah Billa yang melambaikan tangannya menyuruh Dellia mendekat ke arah sana. "Assalamualaikum Bil, aduh aku telat banget ya," Billa hanya terkekeh dan mengangguk singkat. "Waalaikumsalam, untung aja Dosennya belum datang Del," ujar Billa. "Mana Intan?" Dellia mengernyit bingung, biasanya Intan pasti sudah duduk berduaan dengan Billa, karena berhubung rumah mereka se arah jadi biasanya Intan akan menjemput Billa untuk berangkat kampus bersama. "Dia nggak ke kampus hari ini katanya sih dia mau pergi ke acara kawinan gitu," Dellia mengangguk paham. Tidak lama kemudaian Dosen yang terkenal tegas itu masuk ke dalam ruangan kelas mereka, langsung saja yang awalnya kelas sangat ribut seketika menjadi sunyi. "Assalamualaikum semua." "Waalaikumsalam Pak," jawab seluruh mahasiswa di salam kelas. Dan akhirnya kelas merekapun di mulai. *** Dellia dan Billa ke luar dari kelas dengan wajah lega sekaligus dengan wajah seperti baru saja mentalnya tersentil. Bagaimana tidak Dosen yang mengajar tadi marah-marah karena ada salah satu mahasiswa yang berbicara saat Dosen itu sedang menjelaskan materi. Padahal yang kena marah itu orang lain, tapi Dellia dan Billa ikut merasa seperti Dosen itu memarahi mereka juga. "Aku mau cepat-cepat tamat, nggak enak banget sama Dosen begituan. Enek banget sumpah," Billa mengeluh dengan wajah ia buat seolah-olah ingin memuntahkan sesuatu. "Jangan geluh Bil, bagi syukur kita bisa kuliah. Nggak semua orang bisa kuliah kayak apa yang kita jalani sekarang," Dellia menasehati temannya dengan suara selebut mungkin, tidak ingin membuat sahabatnya merasa tersinggung. Karena ada beberapa temannya yang lain ketika dinasehati mereka malah mengatakan "nggak usah ngurusin hidup orang deh, hidup lu aja belum bener,". Billa mengangguk dengan pelan, tapi tetap saja wajah temannya itu masih terlihat kesal dengan Dosen Fiki. "Oh enek ya," tubuh Billa dan Dellia membeku , sungguh suara itu membuat getaran di tangan mereka berdua. Suara itu, suara Dosen Fiki. Mata Billa sudah berkaca-kaca, Billa yakin matanya tidak akan bisa menahan air mata ini. Karena melihat situasi seperti ini Billa sudah mengira jika ia akan mendapatkan hukuman. "Maaf Pak," ujar Billa tanpa berbalik badan, sedangkan Dellia hanya diam tidak tau harus bagaimana. Ia jadi ikut tegang, sama tegangnya dengan perasaan Dellia di kelas tadi. Emang bukan Dellia yang dimarahin tapi ia juga ikut takut. "Sekarang ikut saya," Billa benar-benar sudah menangis, air matany luruh begitu saja. "Oh nangis," Dosen itu meledek Billa. "Cepat ikut saya!" Dellia dan Billa berjalan beriringan mengikuti Pak Fiki yang sekarang sudah di depan mereka. "Kamu nggak usah ikut, dia aja yang ikut," Pak Fiki menyuruh Dellia untuk tidak ikut. Dan Billa harus sendirian untuk mengikuti Pak Fiki. Air mata Billa sudah berjatuhan, sungguh ini sangat menakutkan. Sumpah Billa tidak ingin menangis karena ia malu dengan Pak Fiki apalagi dengan beberapa siswa yang menatapnya. Dellia memberikan senyumannya dengan tangan mengusap bahu Billa. Ada rasa senang dan sedih yang menjalar dibenak Dellia, senang karena tidak ikut dengan Pak Fiki dan sedih karna Billa harus sendirian menghadapi Pak Fiki. Billa hanya menganggukkan kepalanya dengan tangan mengusap air mata diwajahnya. *** Dellia berjalan sendirian di koridor kampus sambil tersenyum tipis dengan beberapa teman seangkatannya. Saat berjalan menuju pakiran langkahnya langsung terhenti saat Riski tiba-tiba berdiri di hadapannya. "Del, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," Dellia mengangguk, mendengar perkataan Riski barusan membuat Dellia penasaran tidak biasanya jika Riski bilang terlebih dahuku ketika ingin mengatakan sesuatu. "Mau ngomong apa Kak?" tanya Dellia. "Jangan di sini boleh?" "Boleh, tapi jangan di tempat sepi ya Kak," balas Dellia sambil tersenyum canggung. "Iya," balas Riski. Dellia pun mengikuti langkah Riski yang menuju samping pakiran, di mana di sana ada lapangan kecil. Di lapangan itu adalah tempat anak kuliah di fakultas ini untuk nongkrong, karena jarang sekali Dosen melewati tempat ini. Dosen jarang lewat ke sini juga karena tempat parkir Dosen berbeda dengan tempat parkir mahasiswa. Dellia mengernyitkan dahinya heran, melihat banyaknya mahasiswa pria maupun wanita buka karena ramainya yang membuat Dellia tapi para mahasiswa yang memegang balon. Ada apa ini sebenarnya? Apa Kak Riski sedang berulang tahun? Deg, jantung Dellia berdetak dua kali lebih cepat saat tiba-tiba Kak Riski berlutut sambil memegang sebuah boneka yang Dellia sendiri heran sejak kapan boneka itu ada digenggaman pria itu. Dellia gugup ini seperti adegan di tv di mana pria berlutut ingin mengajak menikah atau mengajak pacaran. "Gue udah lama mendam semua rasa ni De, gue harap banget lo ngerasain apa yang gue rasa," Riski menatap wajah Dellia dengan pandangan cinta, membuat Dellia semakin salah tingkah. "De, lo mau nggak jadi pacar gue?" tanya Riski sambil menatap wajah Dellia. Dellia terdiam, ia sendiri jadi tertekan dengan pertanyaan seperti itu, apalagi dengan sorakan demi sorakan yang menyuruhnya mengatakan "mau," Delia menatap tempat lain, jangan sampai menatap wajah Riski. Ini sungguh tidak pernah ia duga, ia kira selama ini rumor jika Kak Riski menyukainya itu hanya gosip. Tapi ternyata itu semua adalah kebenaran. Ini sungguh mendadak, dan lagi ajakan pacaran itu adalah sebuah bom baginya. Sudah sejak SMA Dellia sudah tidak pacaran lagi, ia tidak ingin cowok bisa dengan mudahnya mempermainkannya. "Mau," akhrinya hanya ucapan itu yang bisa dikeluarkan oleh Dellia. Setelah ucapannya itu suara sorakan bahagia terdengar sangat kencang. "Kak ikut aku," ucap Dellia sambil mengambil boneka yang berada ditangan Riski. Boneka paus pink ini sangat lucu, membuat Dellia sangat ingin memeluknya. Riski mengangguk, Dellia berjalan duluan dengan Riski yang mengikutinya dari belakang. Dellia melirik ke belakang sekilah dan tampak wajah Riski yang sangat bahagia. Dellia menghentikan langkah mereka di sebuah kantin dan duduk di bangku itu. "Kak maaf banget," ucap Dellia saat Riski sudah duduk dihadapannya. "Maaf kenapa De?" "Jujur Kak, aku nggak mau pacaran sama Kakak. Bukan aku nggak suka sama Kakak, tapi aku nggak mau pacaran," ucap Dellia dengan cepat. Dengan ragu, Dellia melirik wajah Riski melihat apa tanggapan pria itu setelah ucapan yang barusan Dellia lontarkan. "Tapi kenapa tadi kamu bilang mau?" Dellia merasa bersalah saat mendengar suara Riski yang memelan sarat dengan kesedihan. Dellia menghela nafasnya pelan. "karena tadi ramai Kak," awalnya Dellia ingin menjawab tidak, tapi ia sadar jika dia bilang "tidak" pasti Riski akan malu. "Karena kamu nggak mau bikin aku malu?" tanya Riski. "Iya Kak. Maaf sekali lagi." "Oke, nggak papa. Jadi kamu maunya langsung menikah gitu? Emang kamu cinta sama aku?" tanya Riski yang membuat Dellia jadi kaku, apa yang harus dijawab oleh Dellia sekarang. Karena jujur belum pernah mencintai pria yang bukan muhrimnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD