Bab 56

1721 Words
"Masih ragu Mas salah apa nggak? Percuma minta maaf kalau besok ngelakuin lagi." Dellia menahan amarahnya sekuat tenaga agar tidak menaikan notasi suaranya. "Awas Mas, mau tidur." Besok setelah Dellia sudah lebih tenang akan kembali meminta penjelasan. Jika sekarang yang ada Dellia da hanya akan membuat keributan dan membangunkan kedua anaknya yang sekarang sudah tidur di kamar samping. "Aku salah." Adam memeluk pinggang Dellia erat. Adam merasakan jika Dellia marah sekarang. "Apasih nggak salah kan? Nggak usah minta maaf." "Bukan gitu De, Kia bilang minta tolong dicarikan rumah lewat ditelepon terus aku suruh orang buat nyari. Terus pas udah dapat Kia malah bilang uangnya nggak cukup, yaudah aku bilang biar aku bayar soalnyakan dia boleh disini cuman dua hari." "Kan bisa cari rumah yang lain yang lebih murah." "Nggak kepikiran, lagi pula murah kok." "Berapa uang sewanya?" "dua puluh dua juta." "Murah?" Dellia menatap Adam tidak percaya. Mana bisa uang segitu dikatakan sedikit? Ya, Dellia baru ingat jika Adam adalah pemimpin perusahaan jadi uang segitu emang bukan apa-apa bagi suaminya itu. Jadi orang kaya mana sadar kalau uang segitu banyak. "Iya, emang murah kan?" "Terserah." Dellia semakin geram saja jika pembicaraan ini terus dilanjut. "Maaf ya." Adam mengambil tangan Dellia dan menciumnya. "Janji setelah ini nggak lagi." "Dan bukannya Mas cuman punya teman Hito doang?" "Iya dulu sebenarnya aku enggak anggap dia teman, dia aja yang dekat-dekat. Terus kamu bilang juga nggak boleh jahat sama orang lain yaudah aku anggap aja dia teman sekarang." "Oke, sekarang tidur." Adam langsung beranjak bangun dan merebahkan badannya ke atas kasur begitu pun dengan Dellia. "Jangan marah lagi ya." Tiba-tiba sebuah tangan kekar memeluk tubuh Dellia melalui belakang, Dellia emang tidur membelakangi Adam. "Iya asal jangan gitu lagi." Dellia membalikkan badannya agar berhadapan dengan Adam. Dellia ikut memeluk tubuh Adam erat. *** Kia masuk ke perusahaan yang sebentar lagi akan ia duduki sebagai salah satu pekerja. Rupanya jika memiliki kerabat dari pemilik perusahaan akan lebih mudah untuk diterima seperti Kia yang bisa bekerja tanpa harus mengikuti tes terlebih dahulu. Tidak tau kenapa Kia merasa jika Adam tampak lebih baik sekarang dari pada saat masa sekolah mereka dulu. Dan lebih baiknya lagi Adam mau membayar rumah sewanya sekaligus mencari. Rumah yang di sewa oleh Adam untuknya sangat nyaman, karena tidak harua bayar untuk tahun ini Kia jadi bisa menabung. Di dalam kantor, Kia agak bingung harus ke mana hingga tanpa sengaja ia melirik Adam yang baru saja datang. "Dam," panggil Kia dan berjalan cepat ke arah Adam. Adam berhenti dan menatap Kia menunggu apa yang akan Kia katakan. "Boleh antarin aku nggak ke tempat kerja?" "Ziar antar Kia ke tempat kerja dia." "Baik Pak." Ziar langsung menuju Kia dan menutunnya sedangkan Adam melanjutkan langkahnya menuju lift khusus bagi petinggi diperusahaan. "Pak Adam emang gitu ya kalau sama karyawannya? Cuek banget." Ziar hanya berdehem pelan. Kia mendengus Sekretaris Adam yang sangat sombong itu. Lagi pula kenapa sih Adam tidak mau mengantarnya, Kia kan mau diantar sama Adam bukan sama Ziar. Setelah sampai di sebuah ruangan, Ziar langsung pamit dan Kia langsung diarahkan oleh karyawan lainnya. Pada jam makan siang Kia berjalan sendirian ke arah kantin, karena Kia sendiri belum menemukan teman yang cocok. Saat sedang melirik ke kanan kiri ia tanpa sengaja melirik Ziar yang membawa makanan. Pasti itu makanan buat Adam, lebih baik Kia makan dengan Adam dari pada sendirian. "Ziar." "Iya?" jawab Ziar. "Itu buat Adam?" Kia menujuk makanan yang berada ditangan Ziar. Ziar mengangguk. "Satu lagi punya kamu?" tanya Kia lagi sambil menatap dua kotak nasi itu. "Hm." "Saya ikut deh mau makan sama Adam juga, itu buat saya aja ya yang punya kamu. Kamu bisa pesan lain." Padahal makanan ini tidak bisa dipesan karena yang membuatkan makanan adalah istri dari Adam. Terkadang Dellia ikut memberinya makanan gratis saat siang hari untuknya. Ziar tampak tidak senang tapi tidak urung Ziar menelepon Adam, biarlah Ziar mengalah untuk kali ini. Padahal makanan satu lagi adalah punya Ziar. Lagi pula Ziar malas berurusan dengan Kia. "Gimana?" tanya Kia saat Ziar sudah memutuskan sambungan teleponnya dengan Adam. "Bisa buk, bisa ikuti saya." Kia bersorak didalam hatinya, tentu saja makan bersama bos bukan hal bisa dengan mudah. Ini pasti ya karena Kia adalah salah satu orang yang berarti bukan untuk Adam. Kia masuk ke dalam ruangan Adam, pria itu tampak sangat fokus dengan tab yang berada ditangannya. Kia sampai membeku beberapa saat karena mengangumi betapa kerennya Adam saat ini. "Makan Dam." Kia menaruh dua kotak nasi ke atas meja. Adam yang asik bekerja mengangguk dan berjalan menuju tempat dimana Kia duduk. Tanpa banyak kata Adam langsung makan, Kia pun ikut makan. "Kamu kerja disini udah berapa lama?" tanya Kia memecahkan keheningan diantara mereka. "Nggak hitung," jawab Adam ngasal. Setelahnya hanya keheningan yang menerpa hingga Adam dan Kia selesai makan. "Jadi ada apa?" tanya Adam. "Apanya?" tanya Kia balik yang bingung. Sedangkan Adam mengernyit, bukannya Kia mengajaknya makan bersama karena ada perlu. Adam yang malas berbicara panjang hanya diam. "Maksud kamu kenapa aku datang ke sini?" tanya Kia lagi yang sekarang sudah tau maksud dari ucapan Adam. "Iya." "Nggak ada sih, kan aku nggak punya teman di sini. Jadi ya lagi pula kamu makan sendirian juga kan, jadi lebih baik bareng aja makannya." "Tidak perlu, aku udah terbiasa makan sendiri." "Bukannya lebih enak makan berdua?" ujar Kia lagi mencoba membuat Adam mengizinkannya lagi untuk bisa makan berdua lagi esoknya. "Tidak perlu Kia, apa ada yang perlu dibahas lagi? Aku mau kembali bekerja." Adam beranjak bangun. "Tunggu Dam." Adam kembali duduk sambil menatap Kia. "Kamu cinta ya sama Dellia?" tanya Kia, sudah cukup rasa penasarannya selama ini. Kenapa bisa pria sekeras Adam bisa menyukai wanita yang tampak sangat muslimah, padahal dulu Dellia bahkan jarang melihat Adam shalat. Jarang? Tidak, bahkan tidak pernah melihat Adam shalat. "Tentu." Kia menutup mulutnya karena terkejut. "Apa karena kelahiran anak makanya kamu cinta dia?" Itu adalah opsi terakhir, ia rasa banyak di luar sana yang hubungannya membaik dikarenakan ada anak diantara mereka. "Jangan tanya yang tidak ada urusannya dengan kamu Kia, bahas yang penting saja," jawab Adam yang sekarang sudah malas menjawab, pertanyaan yang aneh. Padahal sudah sangat jelas bukan jika Adam mencintai Dellia dan tentu Adam sendiri tidak tau alasan kenapa bisa ia mencintai istrinya. "Kenapa harus Dellia?" Tidak dapat dicegah pertanyaan itu keluar begitu saja. Entah kenapa Kia jadi memikirkan perjuangan dulu yang terlalu giat mendapatkan hati Adam, tapi semuanya hanya sia-sia. Apa yang kurang dari Kia? Dan apa yang lebih dari Dellia? "Apa kelebihan Dellia?" tanya Kia lagi karena Adam tidak kunjung menjawab. Adam mengaruk belakang lehernya bingung. Adam sendiri tidak tau alasannya bisa mencintai Dellia segitunya. "Kenapa emangnya? Ya tentu karena itu Dellia, aku sendiri nggak tau jawabannya. Udah aku mau kerja, kamu bisa melanjutkan pekerjaan kamu sendiri, bentar lagi jam istirahat habis." Adam langsung beranjak bangun dan menuju kursi tempat ia bekerja. "Apalagi?" Adam menatap bingung Kia yang melamun dan tidak kunjung pergi. "Tidak ada, kalau gitu permisi." Kia langsung keluar dari ruangan Adam. Di luar Kia menatap sekilas Ziar. Berbeda dengan Ziar yang terus menatap punggung Kia. Zia hanya bingung saat Adam mengizinkan Kia untuk makan bersamanya padahal setau Ziar Adam tidak pernah mau jika bukan dari kalangan bisnisnya. Apa jangan-jangan? Ziar buru-buru mengeleng, tidak mungkin bosnya bermain api dibelakang. Istri Adam sangat sempurna dimata Ziar, jika benar Adam selingkuh. Ziar tidak bisa habis pikir apa yang dipikirkan oleh Adam hingga bisa selingkuh dengan wanita yang tidak sebanding dengan Dellia. *** "Kara udah dijemput?" tanya anak perempuan yang tiba-tiba duduk disamping Sankara yang sekarang menunggu jemputan. Setelah diajari oleh Dellia untuk menjadi anak pemberani, Sankara sudah bisa bersekolah tanpa harus ditemani hingga pulang jam sekolah berakhir dan tentunya juga sudah berani pergi ngaji tanpa harus ditungguin. "Belum, kan kamu bisa lihat sendiri." Anak perempuan itu terkekeh pelan. "Kenalin aku Sisi." Sisi menyodorkan tangannya pada Sankara, Sankara pun membalasnya. "Aku Sankara, panggil aja Kara." Tidak lama jemputan Sankara pun tiba. "Itu mobil ayah aku." Sankara menunjuk mobil yang sudah terpakir tidak jauh dari tempat duduk Sankara dan Sisi. "Wah itu mama kamu?" tanya Sisi sambil menunjuk wanita yang tidak mengunakan hijab. "Bukan, mama aku lebih cantik dari tante itu." Sankara menatap wanita yang berdiri di samping Adam dengan pandangan tidak suka, entah kenapa Sankara sejak pertama liat Kia sudah duluan tidak suka. Sankara tidak suka melihat Kia yang berdekatan dengan Adam. "Itu tante yang pernah nginap di rumah aku," lanjut Sankara lagi menjelaskan. "Mama kamu cantik? Mama aku gimana ya?" Sisi menampilkan wajah murungnya. "Emang kamu nggak pernah lihat mama?" "Enggak pernah, kata papa di langit. Kayaknya bidadari deh, kapan yang turun dari kayangan." Sankara ikut berpikir. "Satu tahun lagi mungkin, sabar aja. Nanti kamu minta papa kamu ke air terjun gitu, aku pernah nonton katanya nanti bidadari bakalan turun kesitu buat mandi." Sisi mengangguk pelan mengerti. "Iya pasti satu tahun lagi." "Ih ayah lama banget sih ngomong sama Om Ziar," gerutu Sankara pelan. "Ayah!" Sankara berteriak keras, hingga Adam langsung berjalan cepat menuju Sankara. "Duluan ya Sisi." Sankara melambaikan tangannya ke arah Sisi. Sisi membalas lambaian Sankara dengan senyuman lebarnya. "Ih Papa lama kali." Sankara cemberut pada Adam yang sekarang sudah mengendongnya. "Maaf sayang." Adam mengecup pipi Sankara. "Kara gimana enak belajarnya?" tanya Kia yang sekarang memegang tangan Sankara. Sankara menarik tangannya dari genggaman Kia. "Enak." Kia hanya bisa tersenyum masam, sejak awal bertemu dengan Sankara. Sankara tidak pernah ramah dengannya. Selama di mobil Sankara terus saja berceloteh banyak hal dengan Adam. Kia yang berada di samping Adam tidak bisa mengajak bicara Adam sedikit pun karena Sankara pasti memotongnya. "Dam aku mau." Lagi-lagi ucapan Kia terpotong oleh Sankara. "Ayah nanti bantu Abang buat pelangi yang indah ya." "Iya bentar ya,Tante Kia mau ngomong. Apa tadi?" tanya Adam pada Kia. "Nggak ada apa-apa," jawab Kia yang sekarang sudah agak kesal. Tidak lama mereka sampai ditempat tujuan. "Terima kasih Dam." Kia langsung berpamitan dengan orang yang berada di mobil saat Kia sudah sampai dirumah sewa. Adam mengangguk singkat. "Apa kita akan selalu mengantar Ibu Kia selalu Pak?" tanya Ziar saat Kia sudah keluar dari mobil dan memasuki rumah. "Tidak tahu, lagi pula searah kan." Ziar hanya bisa terdiam, entah kenapa Ziar merasa aura yang tidak baik pada Kia. Ziar rasa Kia mempunyai maksud tersendiri seperti sekarang yang meminta untuk diantar. "Apa ada masalah?" tanya Adam lagi. "Tidak ada Pak." Ziar sendiri tidak berani jika harus terlalu ikut campur dalam urusan kehidupan bosnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD