Part 2 - Jangan Tanya Mengapa Aku Menikahinya?

1317 Words
Part 2 POV Aldo Jangan Tanya Mengapa Aku Menikahinya? Jangan bertanya padaku mengapa aku menikahinya? Suatu pertanyaan yang mungkin tidak bisa kujawab untuk kalian juga karena aku sendiri tak mengerti mengapa aku melakukan itu? Sebuah misteri terjadi padaku, seolah-olah ada kekuatan magis menguasaiku untuk menikahi Widya secara siri setelah aku mendengar kisahnya yang memprihatinkan. Pernikahannya tidak berjalan dengan mulus. Suaminya ternyata sering berlaku kejam padanya sampai ia harus kehilangan buah hati mereka akibat tindakan brutalnya. “Mengapa kau tidak melaporkan perbuatan suamimu pada pihak berwajib?” tanyaku penasaran saat ia baru selesai menceritakan kisahnya sambil menangis tersedu-sedu. Pria mana pun pasti menyimpan amarah saat wanita yang dicintainya diperlakukan buruk oleh orang lain. Eh, tunggu dulu! Tadi aku bilang apa? Cinta? Ya ampun, konyolnya aku yang ternyata masih menyimpan rasa untuk dirinya setelah apa yang pernah dia lakukan padaku dulu. Meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan. Membuat hidupku berantakan. Kemudian sekarang dia muncul begitu saja di hadapanku. Lalu ... abrakadabra ... seperti sihir ... hatiku yang pernah terluka olehnya dulu seolah sembuh begitu saja. Melihat tangisnya dan kerapuhannya, naluri lelakiku muncul kepermukaan untuk melindunginya. Entah bagaimana ceritanya, setelah peristiwa itu kami berbagi nomor pribadi kami dan kami sering sekali mengirimkan pesan receh. Bertanya apa dia sudah makan? Atau pesan singkat lainnya yang membuat hatiku kembali hidup. Bagiku Widya sudah seperti oase di tengah gersangnya padang pasir. Menyegarkan dan membuat semangat hidupku kembali. Aku tidak menceritakan ke Widya kalau aku sudah menikah dengan sahabatnya dulu Sara. Aku juga tidak mengatakan padanya kalau dulu dialah yang membantuku bangkit dari keterpurukan. Aku harus menjaga harga diriku. Tidak mungkin aku mengaku kalau kepergian Widya dulu sempat membuatku depresi. “Al, kamu ada waktu?” Melalui pesan singkat, Widya bertanya. “Memangnya kenapa?” Dengan sigap aku segera membalas pesannya sebelum istriku, Sara terbangun. “Ketemuan yuk,” ajaknya tak berselang lama dari balasanku. “Kemana?” “Ke mana kek, ke hotel gitu!” “Ngapain ke hotel?” Aku sungguh penasaran. Mengapa di antara semua tempat hanya hotel yang terpikirkan olehnya. Membuat naluri lelakiku berkelana ke mana-mana. Jujur, aku tidak pernah sekali pun pergi ke hotel, bahkan dengan istriku. Kehidupanku sangatlah monoton. Sara terlalu irit dan berhati-hati menjaga uangku. Bahkan untuk membeli pakaian baru untuknya saja, dia tak berani. Padahal aku sudah memberinya nafkah dua juta sebulan untuk biaya hidup. Sisanya yang delapan juta aku simpan untuk biaya transportasi dan makanku sehari-hari. Kurang baik apa aku memberinya dua juta sebulan secara cuma-cuma. Sedangkan kerjanya cuma duduk diam di rumah, menggemukkan diri. “Enak aja di hotel. Tenang. Cuma ada kita berdua Al,” “Tapi nanti suamimu bagaimana?” “Tenang aja, dia nggak bakalan tahu kok!” Widya membalas penuh keyakinan. “Aku cuma ingin curhat sama kamu, Al.” “Oh, begitu.” Entah mengapa aku merasa kecewa setelah mendengar balasannya. Buat apa dia check-in hotel kalau cuma untuk mendengar curhatnya saja. Aku pun mulai malas menanggapi. “Eh, sudah malam. Aku tidur dulu ya? Nanti kita sambung lagi besok. Oke?” “Oke, Sayang.” Deg, balasan Widya membuat hatiku bergemuruh. Kata ‘Sayang’ plus emotikon hati yang dikirimkannya membuat jantungku berdebar-debar. Dengan hati-hati, aku menyimpan ponselku dan mengganti passwordnya, sebelum Sara mengetahui kalau aku kembali berhubungan dengan sahabat baiknya dulu, Widya. *** Sebuah pesan bergambar terkirim ke aplikasi hijau milikku. Aku terkejut saat Widya mengirimkan bukti tangkapan layar pemesanan hotel yang dilakukannya untuk akhir pekan ini. Aku segera menghubunginya melalui panggilan aplikasi hijau tersebut, “Halo?” “Halo, Sayang. Apa kau sudah lihat bukti pemesanan hotel? Tanggal segitu apa kau punya waktu?” “Ng ... “ “Yeay, bisa ya? Nanti kita janjian aja dj lobi hotel. Nanti aku kirim lokasinya. Atau kau cari sendiri di Maps.” Widya tak memberiku kesempatan untuk menolak ajakannya. Aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya oleh sang pemilik. Tanpa pikir panjang, aku langsung menjawab, “Oke!” Begitulah yang terjadi. Akhirnya pukul sebelas siang, aku sudah berada di lobi hotel tempat Widya memesan kamar tiga hari sebelumnya. Aku tidak membawa banyak barang kala itu. Karena kupikir hanya menemani Widya bercerita. Walau pikiranku menjalar kemana-mana. Aku segera menghalaunya. Sara yang curiga langsung bertanya padaku pagi itu. Saat di Sabtu pagi yang cerah aku sudah berkemas untuk pergi. “Kau mau ke mana, Al?” tanyanya saat melihatku sudah mandi di akhir pekan. Ia tahu benar kebiasaanku yang setiap akhir pekan akan selalu bangun siang. Bahkan aku bisa bangun saat matahari sudah berada di tepat di atas alias siang hari. Mungkin dia merasa janggal karena pagi-pagi buta aku sudah bangun dan mandi. “Hari ini aku lembur. Ada pekerjaan mendadak di kantor.” “Oh,” Untungnya aku berhasil menghalau kecurigaannya. “Nginap?” “Nggak tahu?” “Ng ... besok pulang ‘kan?” Ia bertanya ragu. “Kenapa?” Aku melirik tajam ke arahnya melalui pantulan di cermin kamar. “Besok waktunya periksa kandungan,” jawabnya sambil mengusap perutnya yang besar. “Pergi sendiri bisa ‘kan?” “Tapi, besok ‘kan pemeriksaan sembilan bulan. Bidan bilang harus didampingi suami supaya bisa menjelaskan prosedur saat akan melahirkan.” “Catat aja! Nanti k****a! Atau nggak aku bisa cari di Google, gampang ‘kan? Aku nggak harus ikut ke bidan cuma buat dengerin ocehan dia yang sok memberi nasihat itu!” ujarku yang kesal saat dulu pertama kali di awal kehamilan aku terpaksa menemani Sara bertemu dengan ahli tersebut. Dia mencecarku dengan banyak sekali nasihat yang harus kulakukan untuk menunjang kesehatan istriku. Dulu saja, bapakku tidak pernah melakukan itu pada ibuku. Banyak sekali nasihat yang harus aku lakukan untuk memastikan istriku merasa nyaman di masa kehamilannya. Bidan juga mengatakan, agar jangan memberinya beban berat supaya istriku tidak stres. Dia juga bilang untuk memberikannya gizi yang seimbang supaya istri dan anakku mendapatkan nutrisi yang cukup. Padahal buat apa dia menyuruhku memberinya gizi seimbang, toh Sara yang memasak selama ini. Harusnya dia yang lebih tahu mana makanan yang bagus semasa kehamilan. Kenapa harus aku yang bertanggung jawab atas gizi yang ia makan? Memangnya aku ahli gizi pribadinya?. Semenjak itu aku tidak pernah ikut dengan Sara setiap dia menemui bidan untuk kontrol kandungan. Banyak sekali alasanku untuk menghindar dari tugas tersebut. Aku selalu menyuruhnya pergi sendiri naik kendaraan umum. Biar dia jangan manja! Apa-apa harus ditemani. Memangnya dia pikir aku tidak punya pekerjaan lain apa?. Oh iya beralih ke diriku yang menoleh ke sana ke mari, menyisir pandanganku ke segala sudut mencari keberadaan Widya di sana. Belum juga kutemukan. Akhirnya aku kembali duduk di sofa yang ada di lobi hotel. Tak berselang lama, kulihat Widya turun dari mobil dengan penampilan terbaiknya. Ia terlihat lebih cantik karena riasan wajah yang ia kenakan. Serta gaun bertali satu yang ia pakai membuatnya terlihat semakin anggun. Aku sampai terlena dibuatnya. “Hai, Sayang, kau sudah datang. Kupikir kau masih di jalan.” Widya terkejut melihatku. “Eh, iya. Aku juga baru sampai kok,” sergahku tak mau terlihat kalau aku sudah menunggunya tiga jam lalu. Widya lalu berjalan ke arah resepsionis dan seperti yang terlihat kami sudah berada di sebuah kamar hotel yang berdesain interior sangat menarik. Pemandangan luar jendela pun membuat penglihatan sedikit terhibur oleh cantiknya pemandangan laut yang menghampar. “Eh, apa yang kau lakukan?” Aku merasa gugup karen Widya membuka resleting gaunnya. Menyingkap dua gunung kembar yang ia miliki. Menggoda naluriku. Widya tersenyum penuh percaya diri, “Jangan bilang kau percaya kalau kita ke sini hanya untuk mendengar curhatku saja ‘kan, Al?” Seolah bisa membaca pikiranku, Widya tertawa kecil. Aku menegang saat dia mendekatiku. Aroma parfum mahal merasuki hidungku. Naluri lelakiku terlena oleh bisikan nakal di telingaku. Bulu kudukku berdiri, pikiran normalku melayang entah kemana. Hanya hasrat yang tersisa saat ini. Ketika kami saling mencumbu. Oh Tuhan, betapa nikmatnya godaan ini. Widya begitu mahir mempermainkan hasratku. Aku yang sudah seperti padang gurun yang kering, seolah mendapatkan anugrah hujan yang melimpah. Hingga tanpa kusadari aku pun melakukan hubungan terlarang itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD